BARU saja orang dibikin lega oleh pidato Presiden Soeharto
tanggal 16 Agustus 1983, ternyata segera dibuat heran oleh yang
terjadi setelah itu.
Sunawar Sukowati menyatakan, kepada anak buahnya di lingkungan
Fraksi Demokrasi Pembangunan di DPR, bahwa negara Indonesia
adalah "negara sekuler". Ini, katanya, karena Indonesia bukanlah
negara agama, dan karena kekuasaan agama dibedakan dari
kekuasaan negara. Selama ini orang memang bisa bingung dengan
status negara kita. Dan nampaknya enggan membicarakannya.
Keengganan untuk membicarakan status tidak jelas dari negara
kita, tentu ada sebabnya. Takut menimbulkan kerawanan politik.
Atau tidak diperkenankan atasan, kalau yang bicara pegawai
negeri. Takut dituduh menghasut dan menimbulkan kegelisahan,
kalau yang ngomong pemimpin Islam. Walhasil, akibatnya sudah
ketahuan: kita cenderung merumuskan status negara hanya dari
sudut menegasikan apa yang tidak selayaknya diletakkan pada
negara itu.
Negara agama? Bukan, karena kita menolak teokrasi. Negara
sekuler? Yang mau berbicara, selalu mengatakan bukan juga.
Karena Pancasila memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila.
Apalagi sila yang pertama.
Tapi soal ini sebenarnya tidak membingungkan bagi yang
memahaminya 'secara tersirat': negara kita mengakui legitimasi
peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui
jalur pemerintahan.
Landasan formal kehidupan bernegara memang tidak menetapkan
agama sebagai salah satu 'unsur ramuan' dalam kegiatan
pemerintahan. Namun, ia harus dilakukan dalam peranan kongkret
yang dilaksanakan pemerintah. Dengan kata lain, secara eksplisit
Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan
bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang
menunjang kehidupan beragama.
Sudah tentu tidak semua orang mampu memahami hakikat status
negara itu dari sudut yang 'samar tetapi jelas' itu. Banyak yang
melihat dari sudut mekanisme pembagian kekuasaan di dalamnya
saja: Yang negara diurus oleh negara, yang agama diurus oleh
lembaga keagamaan. Kalau ada pembagian wewenang antara mana yang
dibidangi negara dan mana yang dibidangi lembaga keagamaan
sendiri, berarti itu negara sekuler.
Pihak lain, mendengar kesimpulan begitu, naik pitam. Bagaimana
mungkin Indonesia bisa menjadi negara sekuler? Lihat betapa
rakyatnya taat beragama, bagaimana pemerintah berkiprah di
banyak bidang kegiatan keagamaan. Banyak pejabat pergi haji,
anak-anak mereka mengaji di luar jam sekolah, dan istri-istri
mereka rajin mengikuti 'majelis taklim'. Beribu-ribu gedung
sekolah agama dan tempat peribadatan dibangun pemerintah, kok
masih juga dianggap sekuler. Keterlaluan itu orang.
Padahal kedua-duanya berbicara dari titik pandangan yang
berlainan. Yang satu dengan melihat landasan bagi mekanisme
pemerintahan, sedang yang lain dari sudut pandangan peranan
pemerintah dalam kehidupan nyata. Yang satu takut, kalau tidak
dinyatakan "sekuler". Indonesia akan dianggap dan diperlakukan
sebagai negara agama. Yang lain takut, negara akan kehilangan
kaitannya dengan agama, kalau dinyatakan "sekuler".
Masalahnya sederhana saja, tetapi ia menunjukkan masih rapuhnya
kehidupan konstitusional kita. Pengertian-pengertian yang
dikandung ideologi negara dan Undang-Undang Dasar, belum
diperjelas. Dan belum sama pendapat orang tentang batas-batas
kegiatan pemerintah di bidang keagamaan.
Yang diperlukan sudah tentu adalah upaya untuk terus-menerus
mengamati perkembangan keadaan, sambil mencoba mendorong diskusi
yang akan memperielas permasalahan dan pengertian. Sudah tentu
dalam lingkup terbatas, yang akan diperluas dengan semakin
besarnya kemampuan masyarakat untuk mempermasalahkannya tanpa
mengakibatkan keributan.
Apakah beda antara pembedaan wewenang kenegaraan dan wewenang
keagamaan disatu pihak dan sekularisme di pihak lain? Kalau
dikatakan kata sifat 'sekuler' untuk Indonesia tidak berarti
penerimaan filsafat politik sekularisme, di mana letak titik
pisah antara keduanya?
Secara berangsur-angsur, permasalahannya akan menjadi semakin
bertambah jelas, hingga pada akhirnya ada kesatuan pengertian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini