PENGUASA tertinggi" - itulah panggilan rakyat kepadanya.
Musuh-musuhnya menjuluki Sang Ular, atau Teror di Bumi. Tapi
julukan-julukan masih banyak lagi: Penguasa Zaman, Penakluk
Dunia, bahkan "Raja Bima Sakti di Masa Depan."
Lebih lima ratus tahun yang lalu, ia nyaris menguasai separuh
lengkungan bumi. Ketika ia meninggal, beberapa bulan sebelum
hari ulang tahunnya ke-69, kerajaannya terbentang dari Mongolia
ke Laut Tengah, dan dari Moskow ke Delhi. Tetapi untuk sebagian
dunia, ia lebih banyak tampil dalam legenda ketimbang catatan
sejarah.
Dilahirkan di sebuah lembah subur di selatan Samarkand, Asia
Tengah, 1336, ia putra tunggal seorang kepala suku Tartar yang
tidak terlalu penting. Ketika ia berusia 25 tahun, sang ayah
meninggal. Ia sendiri sementara itu sudah tumbuh menjadi anak
muda yang gagah, keras, cerdik, berani, dan pintar berbicara.
Syarat-syarat inilah yang mengangkat ia ke tahta kepemimpinan
suku.
Orangtuanya memberi ia nama Timur, yang berarti "besi". Tetapi,
dalam suatu perang pada 1363, kaki kanannya cedera oleh anak
panah musuh. Secara agak mengejek ia diberi julukan
Timur-i-lenk, bahasa Persia untuk "Timur Si Pincang". Tiada
dinyana, nama julukan itulah kelak yang ia bawa sepanjang
pengembaraannya, menaklukkan negeri-negeri, menjarah kota dan
kerajaan. Para penulis sejarah Barat melakukan salah kaprah
dengan mengeja nama itu menjadi Tamerlane. Dalam perang yang
sama, tangan kanan Timur juga sebetulnya beroleh cedera. Tetapi
kenyataan itu sama sekali tidak mengurangi keberaniannya,
ataupun ketangkasannya di atas pelana.
Sangat sedikit yang diketahui tentang kehidupan pribadi Timur.
Namun catatan-catatan yang tertinggal menyebutkan,ia mempunyai
sembilan istri, dan beberapa selir. Kasihnya yang paling besar
ia berikan kepada Aljai, istri pertamanya.
Dalam usia 33 tahun, Timur sudah mengkonsolidasikan kawanannya
yang tidak teratur menjadi angkatan bersenjata yang menakutkan.
Dari provinsi kelahirannya di Transoksiana -- kini di sekitar
Uzbekistan, Uni Soviet -- ia mendirikan ibu kota di Samarkand.
Kemudian, selama hampir empat dekade, Timur malang melintang di
seantero Benua Asia, menaklukkan negeri demi negeri.
Rakyatnya mengikuti Timur dengan setia. Wanita, anak-anak, orang
tua, berbaris berkafilah-kafilah di bawah bendera bulan sabit
emas. Ia membangun tentara terbesar yang pernah berkelana di
padang-padang steppe Siberia. Tentara itulah yang ia andalkan
melawan Toktamish, pewaris sisa-sisa kerajaan tua Jenghis Khan,
di selatan Kota Moskow.
Sebagian besar prajurit Timur-i-lenk yang berdisiplin tinggi itu
mengenakan baju zirah dari untaian rantai, dengan rambut
terkepang di bawah topi besi. Mereka masing-masing menyandang
dua busur, satu untuk sasaran jarak jauh, dan sebuah lagi untuk
menembak cepat. Tiap prajurit dibekali dengan tiga puluh anak
panah bermata dua, terbuat dari baja. Mereka juga membawa
perisai kecil, dan sebilah kelewang Persia.
Banyak di antara anggota pasukan Timur membawa tombak sepanjang
tiga meter, dan tongkat pendek untuk pertempuran jarak dekat.
Untuk setiap prajurit tersedia seekor kuda cadangan.
Bahan makanan mereka terdiri dari gandum, jelai, dan buah-buahan
kering. Ternak piliharaan dibawa ke mana saja mereka mengembara,
sekaligus sebagai persediaan daging dan susu. Di tengah
perjalanan, ada waktu-waktu tertentu untuk berburu. Di samping
melatih ketangkasan, acara khusus ini juga untuk menambah
persediaan makanan.
Dalam kafilahnya Timur juga membawa para tukang pelana, pandai
besi, bahkan para saudagar. Memandang kafilah itu melintasi
padang senyap Siberia bagaikan menyaksikan adegan kolosal:
prajurit-prajurit kavaleri dari zaman yang silam, dan di
belakangnya kereta-kereta berkemah dengan suara kanak-kanak dan
wanita, dendang seruling, atau petikan rebab di senja yang
hampir tenggelam.
Perlengkapan senjatanya membuat gentar negeri-negeri yang
dihampiri Timur. Ia mempunyai mesin-mesin khusus untuk
pengepungan tertentu, periuk berapi, dan pelontar jarak jauh
yang mampu menyeberangi tembok kota yang digempurnya. Senjata
berat itu diangkut oleh barisan unta yang dilatih khusus.
Timur, tokoh yang sangat jarang tersenyum ini, selalu tampak
pendiam, dan sungguh-sungguh. Otaknya tangkas dan cepat. Tetapi
ia juga menganut keyakinan yang unik, bahwa Tuhan telah
menciptakan dunia ini untuk menguji kekuatannya, dan bahwa
negeri-negeri dibuat untuk bertekuk lutut di bawah kekuasaannya.
Ia tak bisa menulis dan membaca, tetapi mahir dua bahasa, Turki
dan Persia. Ia sangat menghargai kecerdasan, dan memagari
dirinya dengan seperangkat ahli, sejarawan, dan penyair. Ia tak
bisa menenggang kebodohan. Salah satu ucapannya yang sangat
terkenal ialah, "seorang musuh yang bijaksana jauh lebih baik
dari pada seorang sahabat yang pandir".
Kelemahan hati tidak mendapat tempat di hadapan Timur-i-Lenk.
Suatu ketika, misalnya, ia berhasil menemukan kepala suku yang
dulu melukai kakinya. Orang yang malang itu diperintahkannya
untuk dibunuh, dengan cara "dihujani dengan anak panah".
Disiplinnya tidak mengenal iba kasihan. Di dalam pasukan Timur,
hukuman untuk pembangkangan ialah kematian. Tetapi ada kalanya
penguasa yang menakutkan itu mengambil keputusan yang sukar
dimengerti. Beberapa kali, misalnya, prajuritnya yang ketahuan
pengecut di medan perang lolos dari hukuman mati. Ia hanya
mencukur kepala mereka sampai gundul, atau mengecat wajah mereka
menjadi putih, lalu menyuruh mereka berjalan dengan kaki
telanjang, dipermalukan.
Pada saat yang lain, ia melucuti serdadunya yang penakut,
menaikkan orang itu di atas punggung keledai dengan posisi
mundur, lalu diarak berkeliling untuk diejek dan dihinakan. Ada
pula saatnya si terhukum disuruh berjalan kaki berhari-hari.
Sepatunya dikalungkan pada leher, setelah diisi pasir.
Timur-i-Lenk menetapkan tiga hal dalam hukum perangnya. Pertama,
dia tidak akan bertempur di tanah Transoksiana, bumi
kelahirannya sendiri. Kedua, dia tidak pernah mengizinkan
pasukannya berada dalam posisi bertahan. Dan ketiga, setiap
serangan harus dilakukan dengan kecepatan burung rajawali.
"Pukullah musuh sebelum ia sempat mengumpulkan kekuatannya,"
ujar Timur di depan kavalerinya yang gagah perkasa.
Dia tak pernah mengucapkan perintah lebih dari satu kali. Orang
lemah tidak mungkin mendapat tempat di sisinya. Sebaliknya,
orang yang gagah berani selalu dilimpahi anugerah berlebihan.
Kepada para prajuritnya yang tidak mengenal takut, Timur
menyerahkan penghargaan pelana-pelana berukir, jubah-jubah
bersulam, senjata, dan permata.
Ia hanya bisa bermurah hati terhadap kota yang takluk tanpa
memberikan perlawanan. Tampaknya, sepanjang catatan sejarah, ia
lebih menghargai bangunan ketimbang penduduk negeri taklukan.
Ada saatnya ia membunuh seluruh penduduk kota, tanpa sedikit pun
merusakkan masjid, gedung sekolah, sistem distribusi air, bahkan
makam.
Ada cerita tentang isyarat bendera yang dikibarkan Timur-i-Lenk
menghadapi musuh-musuhnya. "Bila cerita ini benar, ia
sungguh-sungguh panglima yang sudah memanfaatkan perang urat
saraf", ujar Dorothy Geary dalam tulisannya di majalah
Smithsonian.
Menurut cerita itu, Timur selalu membawa tiga macam bendera.
Pada pengepungan hari pertama, ia mengibarkan bendera putih.
Artinya, penduduk kota yang sedang dikepung akan dilindungi bila
segera menyerah takluk. Pada hari kedua, ia menaikkan bendera
merah. Artinya, rakyat jelata boleh menyerah, tapi para pemimpin
mereka akan dihukum mati. Pada hari ketiga Timur menaikkan
bendera hitam. Inilah warna yang paling menakutkan. Isyarat ini
berarti seluruh penduduk kota, tanpa pandang bulu, akan
dihabisi.
Menghadapi pembangkangan dan pemberontakan, Timur-i-Lenk tidak
pernah mengenal belas kasihan. Dalam kemenangannya di Sabzawar,
Afghanistan, Timur merekatkan musuh-musuhnya di sebuah menara,
kemudian menyemen mereka di situ dengan batu bata dan tanah
liat. Di Sivas, Turki, ia mengubur hidup-hidup empat ribu
pembangkang.
Padahal ia sudah berjanji tidak akan menumpahkan darah mereka
bila mereka sudi menyerah. Darah memang tidak tertumpah, tetapi
orang-orang malang itu disuruh melompat ke dalam lubang,
kemudian ditimbuni dengan tanah.
Di Bagdad, Irak, Timur membunuh sembilan puluh ribu musuhnya.
Kepala musuh itu ditumpuknya menjadi seratus dua puluh tiang.
Monumen kemenangan ini menjadi peringatan yang mengerikan selama
berabad-abad.
Boleh dikatakan, Timur memerintah seorang diri. Bila ia
menaklukkan sebuah kerajaan, ia mengangkat anak atau cucunya
menjadi emir tertinggi untuk kawasan tersebut. Tetapi perintah
yang sesungguhnya tetap langsung datang dari Timur sendiri.
Timur juga membangun jaringan spionase yang luas, pelik. Terdiri
dari para pekerja, fakir, fisikawan, peramal, pelaut, ahli
perbintangan, para saudagar, pengemis, bahkan pelacur. Dari
mereka Timur menjaring hampir semua keterangan yang
dibutuhkannya. Ia tahu persis karavan siapa yang sedang melintas
di suatu jalan. Tanpa meninggalkan kemahnya, Timur menyerap
semua informasi dari para intel yang mendukung jaringan
intelijennya. Ia tahu siapa yang baru menandatangani transaksi
di bazaar Samarkand. Ia juga mengerti petugas pengutip pajak
yang bermalas-malasan di perbatasan. Setiap intel yang
memberikan laporan palsu akan dihadiahi hukuman mati.
Tetapi, seperti manusia lainnya, Timur-i-Lenk juga mengalami
hari-hari cerah dan kelabu. Ia tampak banyak berubah setelah
putra sulungnya meninggal, dan putranya kedua tewas dalam sebuah
peperangan. Ia mulai banyak bermenung, dan menghabiskan sebagian
besar malam-malamnya di bawah tenda, tenggelam dalam permainan
catur. Di bidang ini pun Timur tak bisa diremehkan. Ia pemain
catur yang baik, bahkan sempat mengembangkan sejenis permainan
catur hasil penemuannya sendiri, antara lain dengan cara
melipatgandakan bidak.
Namun, ia tetap bersemangat dalam membangun kembali Kota
Samarkand. Kota oasis yang kuno itu pada mulanya menjadi tempat
berhimpun para penenun, pembuat kertas, pedagang dan saudagar.
Mereka boleh dikatakan hidup di tengah puing. Iskandar Yang
Agung menjarah kota ini pada abad ke-4. Pada awal abad ke-8,
Samarkand dikuasai pasukan Arab, kemudian Turki. Jenghis Khan
membinasakan kota ini pada 1220, dan membunuh tiga perempat
penduduknya.
Timur-i-Lenk lah yang kemudian menghidupkan kembali kebesaran
Samarkand, kembali ke dalam semangatnya seperti pada masa zaman
keemasan. Timur membawa ke dalam kota ini para ilmuwan dan
filosof, mendirikan perguruan tinggi dan perpustakaan. Ya,
sebuah perpustakaan, yang dibangun oleh seorang penakluk yang
buta huruf!
Di kota ini ia menghimpun para pengrajin, seniman, arsitek, dan
tukang, dari negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ia menyuruh
mereka menegakkan tembok Samarkand, membangun jalan yang lapang
dan bersih, dengan istana dan masjid gemerlapan di kedua
sisinya.
Samarkand dalam waktu singkat muncul kembali sebagai kota yang
anggun. Taman-taman menyebarkan harum semerbak ratusan bunga.
Para tukang yang termasyhur dari Herat menghiasi pelbagai
bangunan dengan porselen biru dan sepuhan emas. Interior gedung
dimeriahkan oleh alabaster berukir.
Ketika menghancurkan Kota Damaskus, Timur-i-Lenk terkesan pada
sebuah kubah yang tampak istimewa. Ia membawa disain kubah itu
ke Samarkand, dan menggunakannya untuk banyak bangunan di kota
tersebut. Kelak, model kubah yang sama itu jugalah yang terpilih
untuk menghiasi Taj Mahal, dan dalam sepuhan emas berkilauan
menudungi beberapa gereja di Rusia. Itulah bentuk kubah bawang,
yang juga lazim terdapat dalam hampir seluruh masjid di
Indonesia.
Di antara masa perang dan pengembaraan, Timur tinggal di sebuah
kemah yang mewah berbentuk kubah, dihiasi bendera-bendera
sutera. Di lantainya terbentang karpet yang paling bermutu.
Sebuah kemah lain menyertai Timur ke mana-mana. Kemah ini
biasanya sudah terpasang, sebelum Timur memutuskan untuk
beristirahat di senja hari.
Ia bisa saja berkemah di sembarang tempat yang disenanginya,
asal musim tidak terlalu mengganggu. Kalau Timur mengembara,
semua staf dan aparat pemerintahannya ikut berkelana. Ia hanya
mengambil "cuti" di Samarkand bila di antara para pembantunya
ada yang perlu diganti karena sudah cukup lama mengabdi. Atau
bila ia merasa perlu memberikan perintah-perintah baru kepada
para tukang yang terus menerus mendandani Samarkand.
Namun menjadi "kontraktor" atau "pemborong" untuk penguasa yang
satu ini sama sekali bukan pekerjaan enak. Timur bisa saja
menjatuhkan hukuman mati kepada seorang arsitek, bila kebetulan
ia tak berkenan terhadap sebuah menara atau bangunan. Kemudian,
reruntuhan itu harus dibangun kembali dengan disain lain, dalam
waktu yang sangat singkat, kadang-kadang nyaris mustahil.
Meskipun istananya bertebaran di seantero kota, Timur-iLenk
selalu lebih suka berkemah di Kan-i-gil, padang rumput yang
indah di seberang tembok Kota Samarkand.
Pada usia 68, Timur mulai didera masa. Kemampuan matanya surut
secara cepat, cacat kakinya juga kian mengganggu. Ia
hampir-hampir tidak mampu lagi menunggang kuda. Namun, pada saat
itu pulalah, ia memperlihatkan ambisi untuk menaklukkan Cina.
Sebelum melancarkan serangan ke negeri yang sangat terkenal itu,
Timur memutuskan untuk menyelenggarakan pesta dan perhelatan
besar di padang rumput Kan-i-gil. Dalam kesempatan itu, ia
sekaligus melangsungkan upacara pernikahan enam orang putranya.
Utusan demi utusan berdatangan mengantarkan hadiah yang tiada
tepermanai. Ambal permadani yang indah dari Kastilia, keping
emas dari Byzantium, seekor jerapah dan sembilan ekor burung
unta dari Raja Mesir. Jumlah sembilan ini sengaja dipilih,
karena mempunyai arti khusus untuk bangsa Tartar.
Sekitar 20 ribu kemah dibangun mengitari tahta kemaharajaan.
Anjungan yang didirikan untuk tempat Timur menerima tamu-tamunya
demikian tinggi, sehingga dari kejauhan tampak seperti istana.
Dengan lebar "berapa ratus langkah", anjungan yang serba
gemerlapan itu cukup lapang untuk menerima 10 ribu tamu.
Di dalam kemah para istrinya, sebuah pohon emas berdiri,
kira-kira sebesar kaki orang dewasa. Pohon itu digayuti pelbagai
"buah". Ada mirah, zamrud, safir, dan mutiara. Burung-burungan
dari emas tampak berusaha memetik buah bohong-bohongan itu.
Pada hari keramaian, padang rumput itu penuh dengan suara sitar,
rebab, serunai, dan harmonium. Para penyanyi memperagakan
kebolehan masing-masing. Para pria gagah dan wanita jelita
saling melepas pandang. Gajah kemaharajaan, yang dicat merah dan
hijau, diarak menghibur para tamu. Ada pertandingan gulat,
sandiwara boneka, permainan tanglong, dan pesta topeng. Ada
akrobat, pertunjukan lawak, dan keahlian meniti tali. Para
seniman dan pengrajin memamerkan karya terbaik mereka, mulai
dari penata permata sampai penenun kain, bahkan pembakar roti.
Perjamuan dimulai dengan perlombaan minum . Tidak jarang di
antara peserta terdapat para wanita. Peserta yang minum paling
banyak, mendapatkan penghargaan khusus sebagai "peminum yang
berani". Ratusan jambangan batu, setinggi lima kaki, berjejer di
anjungan perjamuan, penuh dengan anggur, madu, dan arak. Para
pelayan dengan cekatan mengisi setiap gelas yang kosong. Setiap
tamu menguras selokinya dalam satu atau dua kali tenggak.
Kesempatan mencicipi minuman bermutu yang belum tentu datang
setahun sekali.
Ketika setiap orang mulai teler, mulailah pesta yang
sesungguhnya. Talam dan piring mulai dibawa masuk. Di atasnya
tampak buntut kuda yang dibakar, daging kambing yang dibentuk
seperti pelana, punuk unta, bakso babat kuda, dan kepala domba.
Mangkuk-mangkuk yang terbuat dari emas, perak, dan porselen,
diedarkan, penuh dengan aneka gulai.
Roti berlimpah ruah. Setiap tempat roti digotong masuk oleh dua
atau tiga orang. Utusan Raja Spanyol yang menghadiri pesta ini
sempat meninggalkan catatan. "Jika roti yang disediakan untuk
pesta ini boleh kami bawa pulang," katanya, "jumlahnya cukup
untuk persediaan makan setengah tahun."
Sebagai makanan penutup dipersembahkan manisan daging, kue
kering, roti bergula, dan kue yang terbuat dari kacang tanah dan
buah-buahan kering. Menyusul kemudian buah semangka, delima,
persik, dan anggur. Semua buah-buahan itu sebelumnya dibasuh
dengan susu kuda, untuk mendapatkan aroma dan rasa yang khas.
Setelah pesta besar usai, Timur-i-Lenk pun mulai "menggulung
karpet", dan bersiap-siap memulai penyerbuan ke Negeri Cina.
Suatu perjalanan yang bakal panjang dan penuh petualangan. Bulan
Oktober sudah lewat, dan para jenderal pasukan Timur menyarankan
supaya ekspedisi itu ditunda sampai musim semi. Tetapi Sang
Penakluk sudah tak mungkin disabarkan.
Soalnya, para astrolog mengatakan justru waktu itu memberi
pertanda dan harapan baik. Maka berangkatlah Timur-i-Lenk,
dengan delapan puluh ribu prajurit pilihan, meninggalkan
Samarkand. Ketika itu salju pertama musim dingin mulai jatuh.
Dalam perjalanan kali ini, boleh dikatakan seluruh puak itu
berangkat bersama-sama, tidak terkecuali para wanita, anak-anak,
bahkan cucu-cucu. Harta benda kemaharajaan juga diangkutdi bawah
pengawalan khusus, diikuti pasukan berkuda, kemudian infantri,
akhirnya kereta-kereta suplai dan bahan makanan, kambing, unta,
dan sapi. Di barisan paling belakang berjalan kawanan gajah
perang.
Januari 1405, konvoi ini mencapai Otrar, kini di wilayah
Kazakhstan, Uni Soviet. Sudah menempuh perjalanan sekitar 250
mil, kafilah itu kini menunggu datangnya musim semi.
Mereka mendirikan perkemahan dan memulihkan tenaga untuk
perjalanan selanjutnya. Memang tidak mungkin terus berjalan.
Badai salju kadang-kadang turun sehingga sama sekali menutup
pemandangan. Udara begitu dinginnya, sehingga dahak yang
diludahkan langsung menjadi es begitu jatuh di atas tanah.
Timur-i-Lenk, kendati sepanjang perjalanan berkurung di dalam
tandu tertutup, menanggung penderitaan yang bukan kepalang.
Kesempatan beristirahat ini digunakannya untuk memulihkan
kekuatan. Tetapi ia diserang batuk yang gawat, hingga suaranya,
menurut catatan yang tertinggal, "seperti pekik seekor unta".
Meski barisan tabib dan para tetua kafilah berusaha dengan
segala macam obat dan doa, ajal rupanya sudah tiba untuk
penakluk yang luar biasa itu. Ia wafat tahun itu juga, 19
Januari 1405. Tetapi, menurut catatan lain, Timur mangkat pada
18 Februari 1405. Entah mana yang betul.
Dengan kematian Timur, sebagian besar kemaharajaannya ikut
padam. Untuk beberapa saat kemaharajaan itu masih berjaya, di
bawah anaknya Shah Rukh, dan cucunya, Ulugh Beg.
Mereka sempat memerintah kawasan yang terbentang antara India
dan Irak. Sebagai orang yang terpelajar dan cinta damai, kedua
tokoh ini memajukan daerah kekuasaannya. Mereka menjadikan Herat
dan Samarkand Mekah para penyair, seniman, dan ilmuwam. Ulugh
Beg mendirikan observatorium besar di Samarkand, dan
mengkonstruksikan jadwal astronomi yang akurat. Tetapi waktu
terus berlalu. Perjalanan masa dan gempa bumi menghancurkan
sebagian Samarkand. Kini, berdesakan dengan pasar dan pusat
perbelanjaan, masjid Bibi Khanumyang didirikan Timur-i-Lenk
untuk salah seorang permaisurinya, masih tampak mengesankan.
Kubahnya yang terbuat dari pualam Turki, sekali waktu dilapisi
sepuhan ems yang menakjubkan. Gerbang-gerbangnya berukir, penuh
dengan kaligrafi bermutu tinggi. Di dalam masjid itu terdapat
sebuah makam. Tak seorang pun tahu pasti jenazah siapa terbaring
di sana. Hanya cerita yang beredar dari mulut ke mulut
menuturkan, itulah makam permaisuri kinasih Sang Penakluk.
Di jantung Kota Samarkand masih bisa dilihat tiga madrasah,
berhiaskan mosaik biru. Dibangun pada 1417-1420 oleh Ulugh Beg,
di madrasah ini dulu diberikan kuliah mengenai astronomi,
matematika, dan teologi. Observatorium Ulugh Beg kemudian
dihancurkan kaum fanatik, tetapi sebuah museum yang meniru
bentuk ,observatorium itu didirikan kemudian di tempat yang
sama. Sisa lain dari zaman keemasan itu ialah Shah-Zinda,
semacam mausoleum tempat bersemayam para sanak saudara,
keturunan, dan teman-teman seperjuangan Timur-i-Lenk.
Gur-i-Mir juga masih berdiri. Di bawah kubahnya yang terbuat
dari pualam itu terdapat makam Timur-i-Lenk. Di sinilah,
pengembara dan penakluk hampir separuh dunia itu menghentikan
langkahnya dan berdamai dengan kematian. Makam itu ditutupi
dengan pelbagai batu mulia.
Menurut dongeng yang dikisahkan turun-temurun, jenazah
Timur-i-Lenk tidak boleh diganggu. Kalau hal itu sampai terjadi,
dunia akan dilanda oleh bencana yang parah. Paling tidak, sama
parahnya dengan balatentara Timur di masa lampau.
Pada 1941, paleontolog Uni Soviet Mihail Gerasimov, menggali
makam itu, dan merekonstruksikan kembali tulang belulang
Timur-i-Lenk. Menurut rekonstruksi ini, Timur adalah pria yang
perkasa, dengan tinggi lima kaki delapan inci jangkung dalam
ukuran masa itu.
Tepat pada hari Gerasimov mengangkat tulang belulang
Timur-i-Lenk dari dalam makam, Nazi Jerman menyerbu Rusia !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini