Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengembaraan seorang penakluk

Pengembaraan kepala suku tartar, timur-i-lenk untuk menaklukkan negeri, menjarah kota & kerajaan (500 th yang lalu). kerajaannya terbentang dari mongolia ke laut tengah, dan dari moskow ke delhi. (sel)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUASA tertinggi" - itulah panggilan rakyat kepadanya. Musuh-musuhnya menjuluki Sang Ular, atau Teror di Bumi. Tapi julukan-julukan masih banyak lagi: Penguasa Zaman, Penakluk Dunia, bahkan "Raja Bima Sakti di Masa Depan." Lebih lima ratus tahun yang lalu, ia nyaris menguasai separuh lengkungan bumi. Ketika ia meninggal, beberapa bulan sebelum hari ulang tahunnya ke-69, kerajaannya terbentang dari Mongolia ke Laut Tengah, dan dari Moskow ke Delhi. Tetapi untuk sebagian dunia, ia lebih banyak tampil dalam legenda ketimbang catatan sejarah. Dilahirkan di sebuah lembah subur di selatan Samarkand, Asia Tengah, 1336, ia putra tunggal seorang kepala suku Tartar yang tidak terlalu penting. Ketika ia berusia 25 tahun, sang ayah meninggal. Ia sendiri sementara itu sudah tumbuh menjadi anak muda yang gagah, keras, cerdik, berani, dan pintar berbicara. Syarat-syarat inilah yang mengangkat ia ke tahta kepemimpinan suku. Orangtuanya memberi ia nama Timur, yang berarti "besi". Tetapi, dalam suatu perang pada 1363, kaki kanannya cedera oleh anak panah musuh. Secara agak mengejek ia diberi julukan Timur-i-lenk, bahasa Persia untuk "Timur Si Pincang". Tiada dinyana, nama julukan itulah kelak yang ia bawa sepanjang pengembaraannya, menaklukkan negeri-negeri, menjarah kota dan kerajaan. Para penulis sejarah Barat melakukan salah kaprah dengan mengeja nama itu menjadi Tamerlane. Dalam perang yang sama, tangan kanan Timur juga sebetulnya beroleh cedera. Tetapi kenyataan itu sama sekali tidak mengurangi keberaniannya, ataupun ketangkasannya di atas pelana. Sangat sedikit yang diketahui tentang kehidupan pribadi Timur. Namun catatan-catatan yang tertinggal menyebutkan,ia mempunyai sembilan istri, dan beberapa selir. Kasihnya yang paling besar ia berikan kepada Aljai, istri pertamanya. Dalam usia 33 tahun, Timur sudah mengkonsolidasikan kawanannya yang tidak teratur menjadi angkatan bersenjata yang menakutkan. Dari provinsi kelahirannya di Transoksiana -- kini di sekitar Uzbekistan, Uni Soviet -- ia mendirikan ibu kota di Samarkand. Kemudian, selama hampir empat dekade, Timur malang melintang di seantero Benua Asia, menaklukkan negeri demi negeri. Rakyatnya mengikuti Timur dengan setia. Wanita, anak-anak, orang tua, berbaris berkafilah-kafilah di bawah bendera bulan sabit emas. Ia membangun tentara terbesar yang pernah berkelana di padang-padang steppe Siberia. Tentara itulah yang ia andalkan melawan Toktamish, pewaris sisa-sisa kerajaan tua Jenghis Khan, di selatan Kota Moskow. Sebagian besar prajurit Timur-i-lenk yang berdisiplin tinggi itu mengenakan baju zirah dari untaian rantai, dengan rambut terkepang di bawah topi besi. Mereka masing-masing menyandang dua busur, satu untuk sasaran jarak jauh, dan sebuah lagi untuk menembak cepat. Tiap prajurit dibekali dengan tiga puluh anak panah bermata dua, terbuat dari baja. Mereka juga membawa perisai kecil, dan sebilah kelewang Persia. Banyak di antara anggota pasukan Timur membawa tombak sepanjang tiga meter, dan tongkat pendek untuk pertempuran jarak dekat. Untuk setiap prajurit tersedia seekor kuda cadangan. Bahan makanan mereka terdiri dari gandum, jelai, dan buah-buahan kering. Ternak piliharaan dibawa ke mana saja mereka mengembara, sekaligus sebagai persediaan daging dan susu. Di tengah perjalanan, ada waktu-waktu tertentu untuk berburu. Di samping melatih ketangkasan, acara khusus ini juga untuk menambah persediaan makanan. Dalam kafilahnya Timur juga membawa para tukang pelana, pandai besi, bahkan para saudagar. Memandang kafilah itu melintasi padang senyap Siberia bagaikan menyaksikan adegan kolosal: prajurit-prajurit kavaleri dari zaman yang silam, dan di belakangnya kereta-kereta berkemah dengan suara kanak-kanak dan wanita, dendang seruling, atau petikan rebab di senja yang hampir tenggelam. Perlengkapan senjatanya membuat gentar negeri-negeri yang dihampiri Timur. Ia mempunyai mesin-mesin khusus untuk pengepungan tertentu, periuk berapi, dan pelontar jarak jauh yang mampu menyeberangi tembok kota yang digempurnya. Senjata berat itu diangkut oleh barisan unta yang dilatih khusus. Timur, tokoh yang sangat jarang tersenyum ini, selalu tampak pendiam, dan sungguh-sungguh. Otaknya tangkas dan cepat. Tetapi ia juga menganut keyakinan yang unik, bahwa Tuhan telah menciptakan dunia ini untuk menguji kekuatannya, dan bahwa negeri-negeri dibuat untuk bertekuk lutut di bawah kekuasaannya. Ia tak bisa menulis dan membaca, tetapi mahir dua bahasa, Turki dan Persia. Ia sangat menghargai kecerdasan, dan memagari dirinya dengan seperangkat ahli, sejarawan, dan penyair. Ia tak bisa menenggang kebodohan. Salah satu ucapannya yang sangat terkenal ialah, "seorang musuh yang bijaksana jauh lebih baik dari pada seorang sahabat yang pandir". Kelemahan hati tidak mendapat tempat di hadapan Timur-i-Lenk. Suatu ketika, misalnya, ia berhasil menemukan kepala suku yang dulu melukai kakinya. Orang yang malang itu diperintahkannya untuk dibunuh, dengan cara "dihujani dengan anak panah". Disiplinnya tidak mengenal iba kasihan. Di dalam pasukan Timur, hukuman untuk pembangkangan ialah kematian. Tetapi ada kalanya penguasa yang menakutkan itu mengambil keputusan yang sukar dimengerti. Beberapa kali, misalnya, prajuritnya yang ketahuan pengecut di medan perang lolos dari hukuman mati. Ia hanya mencukur kepala mereka sampai gundul, atau mengecat wajah mereka menjadi putih, lalu menyuruh mereka berjalan dengan kaki telanjang, dipermalukan. Pada saat yang lain, ia melucuti serdadunya yang penakut, menaikkan orang itu di atas punggung keledai dengan posisi mundur, lalu diarak berkeliling untuk diejek dan dihinakan. Ada pula saatnya si terhukum disuruh berjalan kaki berhari-hari. Sepatunya dikalungkan pada leher, setelah diisi pasir. Timur-i-Lenk menetapkan tiga hal dalam hukum perangnya. Pertama, dia tidak akan bertempur di tanah Transoksiana, bumi kelahirannya sendiri. Kedua, dia tidak pernah mengizinkan pasukannya berada dalam posisi bertahan. Dan ketiga, setiap serangan harus dilakukan dengan kecepatan burung rajawali. "Pukullah musuh sebelum ia sempat mengumpulkan kekuatannya," ujar Timur di depan kavalerinya yang gagah perkasa. Dia tak pernah mengucapkan perintah lebih dari satu kali. Orang lemah tidak mungkin mendapat tempat di sisinya. Sebaliknya, orang yang gagah berani selalu dilimpahi anugerah berlebihan. Kepada para prajuritnya yang tidak mengenal takut, Timur menyerahkan penghargaan pelana-pelana berukir, jubah-jubah bersulam, senjata, dan permata. Ia hanya bisa bermurah hati terhadap kota yang takluk tanpa memberikan perlawanan. Tampaknya, sepanjang catatan sejarah, ia lebih menghargai bangunan ketimbang penduduk negeri taklukan. Ada saatnya ia membunuh seluruh penduduk kota, tanpa sedikit pun merusakkan masjid, gedung sekolah, sistem distribusi air, bahkan makam. Ada cerita tentang isyarat bendera yang dikibarkan Timur-i-Lenk menghadapi musuh-musuhnya. "Bila cerita ini benar, ia sungguh-sungguh panglima yang sudah memanfaatkan perang urat saraf", ujar Dorothy Geary dalam tulisannya di majalah Smithsonian. Menurut cerita itu, Timur selalu membawa tiga macam bendera. Pada pengepungan hari pertama, ia mengibarkan bendera putih. Artinya, penduduk kota yang sedang dikepung akan dilindungi bila segera menyerah takluk. Pada hari kedua, ia menaikkan bendera merah. Artinya, rakyat jelata boleh menyerah, tapi para pemimpin mereka akan dihukum mati. Pada hari ketiga Timur menaikkan bendera hitam. Inilah warna yang paling menakutkan. Isyarat ini berarti seluruh penduduk kota, tanpa pandang bulu, akan dihabisi. Menghadapi pembangkangan dan pemberontakan, Timur-i-Lenk tidak pernah mengenal belas kasihan. Dalam kemenangannya di Sabzawar, Afghanistan, Timur merekatkan musuh-musuhnya di sebuah menara, kemudian menyemen mereka di situ dengan batu bata dan tanah liat. Di Sivas, Turki, ia mengubur hidup-hidup empat ribu pembangkang. Padahal ia sudah berjanji tidak akan menumpahkan darah mereka bila mereka sudi menyerah. Darah memang tidak tertumpah, tetapi orang-orang malang itu disuruh melompat ke dalam lubang, kemudian ditimbuni dengan tanah. Di Bagdad, Irak, Timur membunuh sembilan puluh ribu musuhnya. Kepala musuh itu ditumpuknya menjadi seratus dua puluh tiang. Monumen kemenangan ini menjadi peringatan yang mengerikan selama berabad-abad. Boleh dikatakan, Timur memerintah seorang diri. Bila ia menaklukkan sebuah kerajaan, ia mengangkat anak atau cucunya menjadi emir tertinggi untuk kawasan tersebut. Tetapi perintah yang sesungguhnya tetap langsung datang dari Timur sendiri. Timur juga membangun jaringan spionase yang luas, pelik. Terdiri dari para pekerja, fakir, fisikawan, peramal, pelaut, ahli perbintangan, para saudagar, pengemis, bahkan pelacur. Dari mereka Timur menjaring hampir semua keterangan yang dibutuhkannya. Ia tahu persis karavan siapa yang sedang melintas di suatu jalan. Tanpa meninggalkan kemahnya, Timur menyerap semua informasi dari para intel yang mendukung jaringan intelijennya. Ia tahu siapa yang baru menandatangani transaksi di bazaar Samarkand. Ia juga mengerti petugas pengutip pajak yang bermalas-malasan di perbatasan. Setiap intel yang memberikan laporan palsu akan dihadiahi hukuman mati. Tetapi, seperti manusia lainnya, Timur-i-Lenk juga mengalami hari-hari cerah dan kelabu. Ia tampak banyak berubah setelah putra sulungnya meninggal, dan putranya kedua tewas dalam sebuah peperangan. Ia mulai banyak bermenung, dan menghabiskan sebagian besar malam-malamnya di bawah tenda, tenggelam dalam permainan catur. Di bidang ini pun Timur tak bisa diremehkan. Ia pemain catur yang baik, bahkan sempat mengembangkan sejenis permainan catur hasil penemuannya sendiri, antara lain dengan cara melipatgandakan bidak. Namun, ia tetap bersemangat dalam membangun kembali Kota Samarkand. Kota oasis yang kuno itu pada mulanya menjadi tempat berhimpun para penenun, pembuat kertas, pedagang dan saudagar. Mereka boleh dikatakan hidup di tengah puing. Iskandar Yang Agung menjarah kota ini pada abad ke-4. Pada awal abad ke-8, Samarkand dikuasai pasukan Arab, kemudian Turki. Jenghis Khan membinasakan kota ini pada 1220, dan membunuh tiga perempat penduduknya. Timur-i-Lenk lah yang kemudian menghidupkan kembali kebesaran Samarkand, kembali ke dalam semangatnya seperti pada masa zaman keemasan. Timur membawa ke dalam kota ini para ilmuwan dan filosof, mendirikan perguruan tinggi dan perpustakaan. Ya, sebuah perpustakaan, yang dibangun oleh seorang penakluk yang buta huruf! Di kota ini ia menghimpun para pengrajin, seniman, arsitek, dan tukang, dari negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ia menyuruh mereka menegakkan tembok Samarkand, membangun jalan yang lapang dan bersih, dengan istana dan masjid gemerlapan di kedua sisinya. Samarkand dalam waktu singkat muncul kembali sebagai kota yang anggun. Taman-taman menyebarkan harum semerbak ratusan bunga. Para tukang yang termasyhur dari Herat menghiasi pelbagai bangunan dengan porselen biru dan sepuhan emas. Interior gedung dimeriahkan oleh alabaster berukir. Ketika menghancurkan Kota Damaskus, Timur-i-Lenk terkesan pada sebuah kubah yang tampak istimewa. Ia membawa disain kubah itu ke Samarkand, dan menggunakannya untuk banyak bangunan di kota tersebut. Kelak, model kubah yang sama itu jugalah yang terpilih untuk menghiasi Taj Mahal, dan dalam sepuhan emas berkilauan menudungi beberapa gereja di Rusia. Itulah bentuk kubah bawang, yang juga lazim terdapat dalam hampir seluruh masjid di Indonesia. Di antara masa perang dan pengembaraan, Timur tinggal di sebuah kemah yang mewah berbentuk kubah, dihiasi bendera-bendera sutera. Di lantainya terbentang karpet yang paling bermutu. Sebuah kemah lain menyertai Timur ke mana-mana. Kemah ini biasanya sudah terpasang, sebelum Timur memutuskan untuk beristirahat di senja hari. Ia bisa saja berkemah di sembarang tempat yang disenanginya, asal musim tidak terlalu mengganggu. Kalau Timur mengembara, semua staf dan aparat pemerintahannya ikut berkelana. Ia hanya mengambil "cuti" di Samarkand bila di antara para pembantunya ada yang perlu diganti karena sudah cukup lama mengabdi. Atau bila ia merasa perlu memberikan perintah-perintah baru kepada para tukang yang terus menerus mendandani Samarkand. Namun menjadi "kontraktor" atau "pemborong" untuk penguasa yang satu ini sama sekali bukan pekerjaan enak. Timur bisa saja menjatuhkan hukuman mati kepada seorang arsitek, bila kebetulan ia tak berkenan terhadap sebuah menara atau bangunan. Kemudian, reruntuhan itu harus dibangun kembali dengan disain lain, dalam waktu yang sangat singkat, kadang-kadang nyaris mustahil. Meskipun istananya bertebaran di seantero kota, Timur-iLenk selalu lebih suka berkemah di Kan-i-gil, padang rumput yang indah di seberang tembok Kota Samarkand. Pada usia 68, Timur mulai didera masa. Kemampuan matanya surut secara cepat, cacat kakinya juga kian mengganggu. Ia hampir-hampir tidak mampu lagi menunggang kuda. Namun, pada saat itu pulalah, ia memperlihatkan ambisi untuk menaklukkan Cina. Sebelum melancarkan serangan ke negeri yang sangat terkenal itu, Timur memutuskan untuk menyelenggarakan pesta dan perhelatan besar di padang rumput Kan-i-gil. Dalam kesempatan itu, ia sekaligus melangsungkan upacara pernikahan enam orang putranya. Utusan demi utusan berdatangan mengantarkan hadiah yang tiada tepermanai. Ambal permadani yang indah dari Kastilia, keping emas dari Byzantium, seekor jerapah dan sembilan ekor burung unta dari Raja Mesir. Jumlah sembilan ini sengaja dipilih, karena mempunyai arti khusus untuk bangsa Tartar. Sekitar 20 ribu kemah dibangun mengitari tahta kemaharajaan. Anjungan yang didirikan untuk tempat Timur menerima tamu-tamunya demikian tinggi, sehingga dari kejauhan tampak seperti istana. Dengan lebar "berapa ratus langkah", anjungan yang serba gemerlapan itu cukup lapang untuk menerima 10 ribu tamu. Di dalam kemah para istrinya, sebuah pohon emas berdiri, kira-kira sebesar kaki orang dewasa. Pohon itu digayuti pelbagai "buah". Ada mirah, zamrud, safir, dan mutiara. Burung-burungan dari emas tampak berusaha memetik buah bohong-bohongan itu. Pada hari keramaian, padang rumput itu penuh dengan suara sitar, rebab, serunai, dan harmonium. Para penyanyi memperagakan kebolehan masing-masing. Para pria gagah dan wanita jelita saling melepas pandang. Gajah kemaharajaan, yang dicat merah dan hijau, diarak menghibur para tamu. Ada pertandingan gulat, sandiwara boneka, permainan tanglong, dan pesta topeng. Ada akrobat, pertunjukan lawak, dan keahlian meniti tali. Para seniman dan pengrajin memamerkan karya terbaik mereka, mulai dari penata permata sampai penenun kain, bahkan pembakar roti. Perjamuan dimulai dengan perlombaan minum . Tidak jarang di antara peserta terdapat para wanita. Peserta yang minum paling banyak, mendapatkan penghargaan khusus sebagai "peminum yang berani". Ratusan jambangan batu, setinggi lima kaki, berjejer di anjungan perjamuan, penuh dengan anggur, madu, dan arak. Para pelayan dengan cekatan mengisi setiap gelas yang kosong. Setiap tamu menguras selokinya dalam satu atau dua kali tenggak. Kesempatan mencicipi minuman bermutu yang belum tentu datang setahun sekali. Ketika setiap orang mulai teler, mulailah pesta yang sesungguhnya. Talam dan piring mulai dibawa masuk. Di atasnya tampak buntut kuda yang dibakar, daging kambing yang dibentuk seperti pelana, punuk unta, bakso babat kuda, dan kepala domba. Mangkuk-mangkuk yang terbuat dari emas, perak, dan porselen, diedarkan, penuh dengan aneka gulai. Roti berlimpah ruah. Setiap tempat roti digotong masuk oleh dua atau tiga orang. Utusan Raja Spanyol yang menghadiri pesta ini sempat meninggalkan catatan. "Jika roti yang disediakan untuk pesta ini boleh kami bawa pulang," katanya, "jumlahnya cukup untuk persediaan makan setengah tahun." Sebagai makanan penutup dipersembahkan manisan daging, kue kering, roti bergula, dan kue yang terbuat dari kacang tanah dan buah-buahan kering. Menyusul kemudian buah semangka, delima, persik, dan anggur. Semua buah-buahan itu sebelumnya dibasuh dengan susu kuda, untuk mendapatkan aroma dan rasa yang khas. Setelah pesta besar usai, Timur-i-Lenk pun mulai "menggulung karpet", dan bersiap-siap memulai penyerbuan ke Negeri Cina. Suatu perjalanan yang bakal panjang dan penuh petualangan. Bulan Oktober sudah lewat, dan para jenderal pasukan Timur menyarankan supaya ekspedisi itu ditunda sampai musim semi. Tetapi Sang Penakluk sudah tak mungkin disabarkan. Soalnya, para astrolog mengatakan justru waktu itu memberi pertanda dan harapan baik. Maka berangkatlah Timur-i-Lenk, dengan delapan puluh ribu prajurit pilihan, meninggalkan Samarkand. Ketika itu salju pertama musim dingin mulai jatuh. Dalam perjalanan kali ini, boleh dikatakan seluruh puak itu berangkat bersama-sama, tidak terkecuali para wanita, anak-anak, bahkan cucu-cucu. Harta benda kemaharajaan juga diangkutdi bawah pengawalan khusus, diikuti pasukan berkuda, kemudian infantri, akhirnya kereta-kereta suplai dan bahan makanan, kambing, unta, dan sapi. Di barisan paling belakang berjalan kawanan gajah perang. Januari 1405, konvoi ini mencapai Otrar, kini di wilayah Kazakhstan, Uni Soviet. Sudah menempuh perjalanan sekitar 250 mil, kafilah itu kini menunggu datangnya musim semi. Mereka mendirikan perkemahan dan memulihkan tenaga untuk perjalanan selanjutnya. Memang tidak mungkin terus berjalan. Badai salju kadang-kadang turun sehingga sama sekali menutup pemandangan. Udara begitu dinginnya, sehingga dahak yang diludahkan langsung menjadi es begitu jatuh di atas tanah. Timur-i-Lenk, kendati sepanjang perjalanan berkurung di dalam tandu tertutup, menanggung penderitaan yang bukan kepalang. Kesempatan beristirahat ini digunakannya untuk memulihkan kekuatan. Tetapi ia diserang batuk yang gawat, hingga suaranya, menurut catatan yang tertinggal, "seperti pekik seekor unta". Meski barisan tabib dan para tetua kafilah berusaha dengan segala macam obat dan doa, ajal rupanya sudah tiba untuk penakluk yang luar biasa itu. Ia wafat tahun itu juga, 19 Januari 1405. Tetapi, menurut catatan lain, Timur mangkat pada 18 Februari 1405. Entah mana yang betul. Dengan kematian Timur, sebagian besar kemaharajaannya ikut padam. Untuk beberapa saat kemaharajaan itu masih berjaya, di bawah anaknya Shah Rukh, dan cucunya, Ulugh Beg. Mereka sempat memerintah kawasan yang terbentang antara India dan Irak. Sebagai orang yang terpelajar dan cinta damai, kedua tokoh ini memajukan daerah kekuasaannya. Mereka menjadikan Herat dan Samarkand Mekah para penyair, seniman, dan ilmuwam. Ulugh Beg mendirikan observatorium besar di Samarkand, dan mengkonstruksikan jadwal astronomi yang akurat. Tetapi waktu terus berlalu. Perjalanan masa dan gempa bumi menghancurkan sebagian Samarkand. Kini, berdesakan dengan pasar dan pusat perbelanjaan, masjid Bibi Khanumyang didirikan Timur-i-Lenk untuk salah seorang permaisurinya, masih tampak mengesankan. Kubahnya yang terbuat dari pualam Turki, sekali waktu dilapisi sepuhan ems yang menakjubkan. Gerbang-gerbangnya berukir, penuh dengan kaligrafi bermutu tinggi. Di dalam masjid itu terdapat sebuah makam. Tak seorang pun tahu pasti jenazah siapa terbaring di sana. Hanya cerita yang beredar dari mulut ke mulut menuturkan, itulah makam permaisuri kinasih Sang Penakluk. Di jantung Kota Samarkand masih bisa dilihat tiga madrasah, berhiaskan mosaik biru. Dibangun pada 1417-1420 oleh Ulugh Beg, di madrasah ini dulu diberikan kuliah mengenai astronomi, matematika, dan teologi. Observatorium Ulugh Beg kemudian dihancurkan kaum fanatik, tetapi sebuah museum yang meniru bentuk ,observatorium itu didirikan kemudian di tempat yang sama. Sisa lain dari zaman keemasan itu ialah Shah-Zinda, semacam mausoleum tempat bersemayam para sanak saudara, keturunan, dan teman-teman seperjuangan Timur-i-Lenk. Gur-i-Mir juga masih berdiri. Di bawah kubahnya yang terbuat dari pualam itu terdapat makam Timur-i-Lenk. Di sinilah, pengembara dan penakluk hampir separuh dunia itu menghentikan langkahnya dan berdamai dengan kematian. Makam itu ditutupi dengan pelbagai batu mulia. Menurut dongeng yang dikisahkan turun-temurun, jenazah Timur-i-Lenk tidak boleh diganggu. Kalau hal itu sampai terjadi, dunia akan dilanda oleh bencana yang parah. Paling tidak, sama parahnya dengan balatentara Timur di masa lampau. Pada 1941, paleontolog Uni Soviet Mihail Gerasimov, menggali makam itu, dan merekonstruksikan kembali tulang belulang Timur-i-Lenk. Menurut rekonstruksi ini, Timur adalah pria yang perkasa, dengan tinggi lima kaki delapan inci jangkung dalam ukuran masa itu. Tepat pada hari Gerasimov mengangkat tulang belulang Timur-i-Lenk dari dalam makam, Nazi Jerman menyerbu Rusia !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus