GOLKAR, FUNCTIONAL GROUP POLITICS IN INDONESIA
Oleh: Julian M. Boileau
Penerbit: CSIS, Jakarta, 1983, 142 balaman
BACAAN tentang politik kita telah bertambah satu lagi dengan
diterbitkannya buku Golkar, Functional Grop Politics in
Indonesia oleh CSIS pada bulan April yang baru lewat. Buku yang
ditulis oleh Julian M. Boileau itu diangkat dari sebuah tesis MA
yang telah diuji oleh Jurusan Ilmu Politik Universitas Auckland
(New Zealand) tiga tahun berselang. Sebagai karya tulis ilmiah,
buku ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Boileau
selama sepuluh bulan di Indonesia. Dalam masa di mana tidak
banyak ditemui buku-buku tentang kekuatan-kekuatan sosial
politik kita, munculnya buku ini patut disambut baik, sekecil
apa pun sumbangannya bagi pemahaman kehidupan politik bangsa
ini.
Dalam buku in Bileau tidak hanya berbicara tentang Golkar
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Ia melihat Golkar
sebagai suatu gagasan yang telah berkembang jauh sebelum
Indonesia merdeka. Ia mempelajari seluk beluk Golkar, dan
menyelusuri masalah partisipasi politik di negeri ini dengan
pendekatan sejarah. Boileau telah bersusah payah membuka-buka
khasanah politik kita dan menghubungkan Golkar dengan gagasan
yang berkembang sejak 1918. Dengan ancang-ancang yang begitu
jauh, si penulis ingin menitipkan pesan bahwa Golkar bukanlah
suatu kekuatan politik yang muncul mendadak sontak pada masa
Orde Baru, melainkan suatu hasil godokan pemikiran yang jauh
lebih tua usianya dari Republik ini (halaman 25).
Boileau mengaitkan Golkar dengan modernisasi dan masalah
partisipasi politik. Ia bertolak dari pendapat yang sudah lazim
bahwa proses modernisasi pada akhirnya akan mendorong
berkembangnya partisipasi politik. Gejala yang sangat umum di
negara-negara yang sedang berkembang adalah meskipun partisipasi
politik itu merupakan hasil proses modernisasi, akan tetapi
dalam perkembangannya tuntutan-tuntutan yang menyertai
partisipasi sering muncul sebagai ancaman bagi usaha-usaha
modernisasi. Hal ini tidak lain karena aspirasi masyarakat
melaju pada tingkat yang lebih cepat dibanding kemampuan sistem
untuk memuaskannya. Akibatnya, agar pembangunan tidak terhambat,
pemimpin-pemimpin di negara-negara berkembang memandang
partisipasi sebagai barang mewah, sehingga cenderung untuk
membatasinya.
Dan dengan latar belakang seperti itu lahir dan berkembanglah
pemikiran tentang "golongan karya yang dulu pernah dikenal
dengan sebutan golongan fungsional." Golkar dilihatnya sebagai
sebuah jawaban bagi masalah-masalah politik yang dihadapi
Indonesia dan dapat mewakili golongan-golongan masyarakat yang
belum terjamah oleh partai politik. Karena itu tidak
mengherankan Boileau bahwa Golkar tidak bertujuan untuk
menyalurkan tuntutan-tuntutan partisipasi, melainkan untuk
"mendorong dan memberikan dukungan bagi usaha-usaha pembangunan"
(halaman 22).
Tentu saja jalan yang telah ditempuh Golkar, hingga berbentuk
seperti apa adanya sekarang ini, bukanlah sebuah jalan lurus
yang singkat. Ia lahir dari suatu kancah percaturan politlk
antara tiga kekuatan menentukan pada masa sebelumnya: Soekarno,
ABRI, dan PKI. Soekarno yang bercita-cita untuk menciptakan
sosialisme Indonesia, melihat golongan karya sebagai suatu
komponen utama Demokrasi Terpimpin, sebagai basis pembentukan
partai tunggal.
Sementara itu pula organisasi-organisasi nonpartai-politik ini
pun telah menjadi rebutan ABRI dan PKI yang sama-sama melihatnya
sebagai kekuatan pendukung yang ampuh. Di lain pihak, untuk
menghindarkan diri dari ancaman kaum komunis,
organisasi-organisasi nonpartai-politik yang kemudian pada 1964
bergabung dalam Sekber Golkar, menemukan sekutu alamiah dalam
diri ABRI yang antikomunis. Ketergantungannya kepada ABRI
menjadikan Sekber Golkar tidak lebih dari "organisasi kertas",
kendati di dalamnya telah bergabung 146 organisasi massa dan
tersebar di 24 provinsi (halaman 46).
Ketika rezim Soekarno tumbanQ. "organisasi kertas" ini harus
bersiap-siap menghadapi sejumlah tantangan baru, terutama Pemilu
1971 dan 1977. Sejumlah "operasi" telah dilakukan pada tubuh
Golkar menjelang dan sesudah kedua Pemilu itu.
Walaupun demikian, Golkar tetap berada di bawah pengaruh ABRI.
Dalam hal ini ABRI menyalurkan keinginan-keinginannya melalui
Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) yang berafiliasi dengan
Golkar, di samping kenyataan bahwa keputusan-keputusan penting
Golkar dibuat oleh Presiden dan Hankam (halaman 98 dan 102).
Dalam keadaan demikian kekuatan-kekuatan intern yang ingin
melihat Golkar dapat berdikari, seperti SOKSI dan Kosgoro, boleh
merasa tidak puas.
Secara keseluruhan, Boileau telah berhasil membuat sebuah
lukisan tentang Golkar. Namun, sayang, lukisan itu terasa
gersang, miskin akan detil-detil yang bisa mengasyikkan
pembacanya. Sebagai contoh, misalnya, pembentukan Sekber Golkar
pada 1964 ditulisnya dalam beberapa baris saja, seakan-akan ia
bukan sesuatu hal yang penting bagi kehidupan Golkar seterusnya.
Mengingat pada waktu itu PKI sedang galak-galaknya, pembaca
tentu akan bertanya: apakah PKI diam saja menonton pembentukan
Sekber Golkar yang justru akan menelannya?
Kegersangan lain juga terasa pada analisanya tentang
berkurangnya kursi Golkar di DPR akibat Pemilu 1977 (halaman
79). Alasan yang diberikannya, saya kira, tidak esensial dan
sumir: Sejak 1971 ingatan tentang G30S/PKI telah memudar dan
telah timbul serangkaian perhatian dan masalah baru yang
menyebabkan perubahan pandangan orang terhadap Golkar.
Padahal, ketika Boileau berbicara mengenai kritik hadap Golkar,
tercetus sejumlah kekurangan organisatoris. Kekurangan itu
misalnya, berupa kelemahan dalam hal kepemimpinan dan
motivasinya, serta kenyataan bahwa organisasi ini kurang berakar
dalam masyarakat, dan sebagainya.
Sebuah studi yang lebih mendalam tentu akan bisa memberikan
jawaban.
Nazaruddin Sjamsuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini