Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menyongsong satelit siaran langsung

Seminar "Indonesia menjelang era siaran langsung melalui satelit (dbs)". dengan sistem dbs (ssl) acara televisi akan dipancarkan dari satelit langsung ke rumah. (ilt)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Irian Jaya, insya Allah, tahun depan sudah ikut menikmati siaran televisi Australia. Selang beberapa tahun kemudian, kalau tidak ada aral melintang, mata penduduk Sulawesi dan sebagian Kalimantan terbuka pula untuk menonton siaran televisi Filipina. Namun semua itu masih angan-angan. Pelaksanaannya baru menjadi kenyataan bila kedua negara tadi memulai program DBS (Direct Broadcasting Satellite), atau SSL (Satelit Siaran Langsung), yang belakangan ini makin ramai dibicarakan. Di Jakarta, seminar sehari tentang "Indonesia Menjelang Era Siaran Langsung Melalui Satelit DBS)" diselenggarakan 22 Agustus lalu di Studio Pusat Produksi TVRI. Dalam seminar yang dikaitkan dengan ulang tahun TVRI itu, sebelas orang angkat bicara, dengan moderator Drs. Willy Karamoy. DBS sebetulnya bukan barang baru. Paling tidak, "ia mulai diperdebatkan pada sidang luar biasa konperensi administrasi radio internasional (WRAC) di Jenewa, 1963," ujar D.H. Assegaff, salah seorang pembicara dalam seminar. Justru belakangan ini masalahnya makin menarik, karena beberapa negara sudah sampai pada langkah yang menentukan. Dengan sistem ini, siaran radio dan televisi melalui satelit langsung dipancarkan ke rumah-rumah. Stasiun bumi tak lagi diperlukan. Satelit yang didisain khusus itu mempunyai daya pancaran tinggi, sehingga antena kecil -- dengan diameter sekitar satu meter di rumah pemakai bisa menangkapnya. "Itulah perbedaan utamanya dengan satelit telekomunikasi biasa," kata Benny S. Nasution, Kepala Bagian Operasi Teknik Transmisi Satelit Perumtel. Selain antena parabolik, DBS juga membutuhkan converter. Alat ini berfungsi mengubah frekuensi gelombang pancaran satelit, menjadi frekuensi gelombang yang bisa ditangkap pesawat televisi. Bila satelit menggunakan frekuensi dengan orde gigahertz, frekuensi yang bisa ditangkap pesawat televisi hanya berorde megahertz (106). Pada satelit konvensional, converter itu dimiliki stasiun bumi. Stasiun inilah yang menangkap gelombang dari satelit, mengubahnya menjadi gelombang televisi (ultra high frequency atau very high frequency), kemudian memancarkannya. Pada DBS, converter pada antena parabolik langsung mengubah frekuensi, dan melalui kabel menghubungkannya dengan pesawat televisi. Sistem DBS tertentu dilengkapi dengan komputer. Alat ini melakukan kontrol terhadap langganan yang alpa membayar. Sampai batas waktu yang sudah ditetapkan, komputer ini secara otomatis menghapus pulsa sinkronisasi, yang menampilkan dan mengatur gambar di layar televisi. Untuk pemilik siaran, DBS lebih menguntungkan. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun stasiun bumi (SB), tak lagi diperlukan. Jangkauan juga akan semakin luas, sebab tidak lagi tergantung pada SB. Kini, "dengan sekitar 150 SB, TVRI baru menjangkau 20% sampai 25% wilayah Indonesia," ujar Ir. E. Jamin, Kepala Bagian Teledefusi Antariksa LAPAN, yang memberikan makalah dalam seminar. Untuk menjangkau seluruh wilayah RI diperlukan sekitar 1.500 SB plus pemancar. Bila harga per unit Rp 150 juta, maka biaya untuk 1.500 unit menjadi Rp 225 milyar. Jumlah ini masih ditambah dengan biaya perawatan (5% dari investasi) dan pembulatan, sehingga seluruhnya akan menjadi Rp 240 milyar. Dengan DBS, stasiun bumi dan stasiun-stasiun pemancar akan hilang, biaya perawatan juga tidak diperlukan. Yang harus menguras kocek lebih banyak adalah pemirsa. Terutama untuk membeli antena parabolik mini berikut converternya. Untuk antena piringan berdiameter kurang dari satu meter, diperlukan sekitar Rp 500 ribu Jepang konon sedang merancang produksi massal antena parabolik ini, sehingga harganya bisa ditekan antara Rp 100 ribu dan Rp 200 ribu. Potensi DBS makin menarik perhatian ketika Kanada mengorbitkan Anik-C melalui pesawat ulang-alik Challenger, bersamaan dengan peluncuran Palapa B-1 kita. Inilah "satelit pertama yang benar-benar mempunyai kemampuan untuk siaran langsung ke rumah-rumah," tulis Dr. M. Alwi Dahlan dalam makalahnya di depan seminar. Dosen komunikasi UI yang menjadi asisten Menteri KLH itu kemudian meminta kesadaran kita, "bahwa teknologi tersebut baru saja mulai diterapkan secara operasional." Negara lain yang berambisi menggunakan DBS ialah Jepang, Luksemburg, Swiss, Amerika Serikat, Australia, dan India. Dua tahun lagi, Luksemburg dan Swiss akan meluncurkan Luxsa dan Telsat. Di kawasan Asia, Jepang paling galak mengembangkan teknologi DBS. Sejak 1972 negeri ini melakukan percobaan Broadcasting Satellite for Experimental Purpose (BSE). April 1978, dengan roket Delta 2914 NASA dari Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Badan Pengembangan Ruang Angkasa Nasional Jepang (NASDA) meluncurkan BS-I yan dinilai sangat berhasil. Sukses ini mendorong Jepang memastikan penerapan sistem DBS tahun depan. Di negeri kita, DBS tampaknya lebih banyak disoroti dari dampaknya yang tidak sedikit. "Penyiaran melalui DBS dapat menimbulkan peleburan atau spill over di kawasan negara lain," kata Direktur Jenderal RTF, Drs. H. Subrata. "Hal ini dapat menyulitkan hubungan antarbangsa, khususnya dikhawatirkan dapat berakibat negatif bagi negara-negara berkembang." Seminar 22 Agustus itu bahkan menyebut-nyebut peranan DBS dan hubungannya dengan "Wawasan Nusantara."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus