Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di lembah nan rimbun

Kuala lumpur, dikelilingi bukit dan pepohonan masih rindang. lalu lintas tertib, sudah ada fly-over. peru mahan rakyat diatasi dengan rumah pangsa. pada pelita iii dibangun 13.700 unit. (kt)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKELILING di Kuala Lumpur bagaikan menyusuri lembah dan bukit-bukit. Kota ini memang mendekam di sebuah lembah bernama Lembah Kelang, dikelilingi jejeran bukit berketinggian sekitar 1500 - 1700 kaki di atas permukaan laut. Tapi kesegaran mata dan kenyamanan perasaan itu bukan cuma karena alam memberi berkah pemandangan indah dan hawa alamiah. Atau karena bas (sebutan orang sana buat bis) yang disediakan Musi/Tina Travel berekon (AC dalam lidah Melayu jadi ekon). Namun tampaknya karena tumpukan bangunan flat dan gedung pencakar langit bagaikan makin hendak mempertinggi bukit-bukit itu, berimbang dengan gundukan pepohonan kecil dan besar yang rimbun nyaman. Di kawasan Jalan Pekeliling (di mana juga gedung KBRI berada) misalnya, banyak terlihat deretan pohon besar dan rimbun di daratan cukup luas tak ubahnya di Kebun Raya Bogor Mungkin itu sisa-sisa semasa kawasan yang kini jadi ibu kota Malaysia masih belantara. Tapi yang sampai kini masih tetap dibina dan dipelihara Pemerintah Kota KL. Tapi gedung-gedung pencakar langit itu sendiri, banyak yang merupakan buah tangan nan elok. Tak cuma berbentuk kotak-kotak beton. Apalagi bangunan-bangunan megah yang bergaya timur meskipun arsitektur gaya Inggeris atau Eropa Barat masih membekas. Hingga meskipun pencakar-pencakar langit itu dibangun mencuat ke langit tak mengganggu keindahan kota. Tentu saja harus dikecualikan flat-flat dan beberapa bangunan di kawasan penduduk Cina yang tak begitu mempedulikan keindahan arsitektur. Beban kota besar mungkin belum jadi masalah bagi Kuala Lumpur. Tapi yang pasti luas kawasan kota yang cuma 94 mil persegi dengan penduduk hampir 1 juta itu tak mungkin diperluas lagi. Kuala Lumpur dibangun tahun 1895 di tahun-tahun 1903, 1912, 1934, 1950, 1957 dan 1974 diadakan pemekaran Sekitar 40, luas tanah di KL dimiliki Kerajaan Negeri (Selangor). Sedang 60% sisanya dikuasai tuan-tuan tanah atau tanah-tanah simpanan. Hingga seperti juga dihadapi kota-kota besar dunia yang sedang berkembang KL yang sejak 1 Pebruari 1972 resmi sebagai Bandaraya, tentu saja tak mudah mengelakkan beban masalah perkotaan. Yang dalam rumusan Dato' Bandar (semacam walikota bagi KL) dan pentadbir (pejabat teras) anggota Organisasi Pentadbiran Bandaraya (semacam Dewan Kota), " suatu rencana yang akan dipraktekkan melihatkan usaha-usaha yang mengenyampingkan keadaan yang lama. Dan mewujudkan keadaan baru melibatkan anggaran yang besar". Meski begitu sebagai kota yang sejak 1880 sudah jadi Ibu Negeri Selangor dan di tahun 1948 jadi ibukota Persekutuan Tanah Melayu dan kini Ibukota Kerajaan Malaysia KL menurut Dato' Bandarnya, "telah berubah dengan pesatnya dalam alitu sepuluh tahun belakangan ini" Sementara itu KL bergelut dengan jumlah pertambahan penduduk yang 7% setahun (3% tiap tahun seluruh Malaysia). Karena kelahiran atau urbanisasi. Tak berarti para Pentadbir Bandaraya tak dicekam kecemasan. "Tanggungjawab kami besar tanpa had (batas) " kata Pemangku Dato' Bandar Enchik Zainol Mahmood di depan para wartawan Jakarta yang berkunjung ke KL akhir tahun lalu dari masalah-masalah besar seperti perumahan, lalu-lintas dan banjir, dengan rendah hati Enchik Zainol menyatakan belum ada masalah yang sukses dengan baik padahal dalam masalah lalu-lintas misalnya, KL, seperti diakui Dubes RI di sana Moh. Hasan, "lebih baik". Ini agaknya erat hubungannya dengan disiplin warga kota, yang dalam hal pemakaian topi penyelamat (safety helm) saja misalnya tak ada ribut-ribut. Meskipun kaum wanita yang membonceng harus mengangkangkan kaki. Dan yang meruwetkan, menurut Enchik Zainol, "banyak kereta privat (mobil pribadi - Red.) masuk ke kota --sekitar 1 juta - tapi bukan bertujuan ke pusat kota". Hingga pemecahannya harus membuat ringroad dan area road pricing, yakni daerah bagi pemilik mobil yang kosong Sedang fly-over yang masih jadi impian Jakarta, di KL sudah lama ada antara lain dari Petaling Jaya - KL dan KL Ipoh. Tapi barangkali yang paling menarik dan menonjol ialah pemecahan masalah perumahan rakyat Pemerintah Malaysia menyebunya rumah pangsa. Bermula tahun 1958 dengan anggaran MS 18 juta satu blok rumah pangsa bertingkat 9 terdiri 220 unit masing-masing 2 kamar dilengkapi 12 toko di tingkat bawah dibangunan kompleks perumahan murah di Jalan Shaw/Loke Yew. Meski semula dimaksudkan untuk menampung korban kebakaran besar di Lorong Gombak yang padat, akhirnya jadi kebijaksanaan Pemerintah yang utama. Hal ini sesuai dengan Dasar Ekonomi Baru(DEB) yang dicetuskan almarhum PM Tun Razak tahun 1972 setelah kerusuhan 1969. DEB ini bertujuan memberantas kemiskinan dan meningkatkan tingkat sosial kaum Melayu. Sekitar 13.700 unit rumah pangsa dengan anggran M$ 103.100.00 masuk pelita III Malaysia. Di antaranya untuk tahun 1977 Dewan Bandaraya menyediakan M$ 28.521.100 untuk membangun 7.868 unit. Rumah-rumah ini bisa disewa $ 35/bulan (2 kamar) atau diangsur $ 35 sebulan selama 15 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus