Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Try Sutrisno pagi-pagi sekali sudah berdiri di depan ruang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia memang sengaja datang lebih dulu daripada anggota majelis lain karena ada yang ditunggunya. Di pengujung Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1988 itu, Try menanti Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny, yang baru dua pekan ia gantikan sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Ia ingin berbicara dengan seniornya itu.
Yang ditunggu pun kemudian muncul. Try langsung menggandeng Benny, mengajaknya nongkrong di ruangan lain. "Wis, kita di sini saja dulu. Biar enggak ada kejadian aneh-aneh lagi," kata Try kepada Benny. Tapi, seperti biasa, Benny-yang memang tidak banyak berbicara-tak menjawab pancingan Try. "Akhirnya kami ngobrol soal lain," ujar Try kepada Tempo, 19 September lalu.
Sehari sebelumnya, Sidang Umum MPR dihebohkan oleh interupsi Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, anggota Fraksi ABRI. Di atas mimbar, dia mewacanakan calon wakil presiden alternatif. Ibrahim dikenal termasuk tentara di barisan Benny.
Sebelumnya, pada awal sidang, semua anggota majelis sepakat mencalonkan Soeharto kembali menjadi presiden periode 1988-1993. Namun, untuk urusan pendamping Soeharto, sidang belum bulat mengusung satu nama. Fraksi Persatuan Pembangunan ngotot mencalonkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Jailani Naro guna menyaingi Sudharmono, yang dicalonkan Golkar. Fraksi ABRI saat itu belum bersuara. Kala masih menjadi Panglima ABRI, Benny-yang juga menjabat Ketua Fraksi ABRI-belum menyatakan dukungannya kepada Sudharmono. Gosip di luar ruangan berembus kencang: Benny berhasrat masuk bursa.
Try, kini 78 tahun, tak membantah isu itu. "Kabarnya memang begitu," katanya. Itu sebabnya ia mencegat Benny sebelum masuk ruang sidang. Sebagai Panglima dan Ketua Fraksi ABRI, ia tak ingin Sidang Umum MPR kisruh lagi. Cara Try ternyata ampuh. Pada hari itu sidang berjalan lancar. Secara aklamasi, peserta sidang memilih Sudharmono mendampingi Soeharto hingga 1993.
Soeharto mencopot Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI sepekan sebelum Sidang Umum MPR. Ini pertama kalinya Soeharto mengganti Panglima ABRI di tengah jalan. Benny pun saat itu belum masuk masa pensiun. Biasanya panglima akan diganti bersamaan pelantikan kabinet karena kedudukannya setara dengan menteri dan menjabat selama lima tahun.
Perlahan Benny kian tersingkir dari percaturan kekuasaan. Setelah Soeharto dan Sudharmono dilantik, Benny memang tetap masuk jajaran kabinet. Namun dia hanya ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, menggantikan Letnan Jenderal Purnawirawan Poniman. Saat itu Menteri Pertahanan dan Keamanan bukan jabatan mentereng. Kementerian ini hanya dianggap sebagai pelengkap kursi kabinet.
Bukan hanya Benny, para loyalisnya pun ikut dipinggirkan. Wacana de-Benny-isasi gencar terdengar saat itu. Teddy Rusdy, 75 tahun, yang dikenal sebagai loyalis Benny, merasakan dampaknya. Karena tekanan itu, dia memilih pensiun dini dengan pangkat marsekal muda. Jabatan terakhirnya asisten perencanaan umum. Ini jabatan mentereng di kalangan intel yang ia emban selama enam tahun sejak 1986. "Pak Harto sampai tiga kali meminta Pak Try mengganti saya karena kedekatan saya dengan Pak Benny," ucap Teddy kepada Tempo, pertengahan September lalu.
Sahabat Benny lainnya, seperti Dading Kalbuadi, yang dikenal saat memimpin Operasi Seroja di Timor Timur, ikut tersingkir. Benny lalu menarik Dading menjadi Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan. Nama-nama tenar di kalangan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) kala itu, seperti Luhut Binsar Panjaitan dan Sintong Panjaitan, juga kerap "diparkir", tak lagi mendapat jabatan strategis. Mereka dianggap binaan Benny. Meski sadar terkena dampaknya, Luhut menghiraukan gerakan de-Benny-isasi itu. "Saya tidak menyesal telah berpegang kepada ajaran Pak Benny," ujarnya.
Bukan cuma urusan militer, Soeharto juga meninggalkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang dibangun Ali Moertopo dan Benny sebagai think tank politik Orde Baru. Awal 1990, Soeharto mulai melirik kelompok Islam sebagai sekutu. Pada masa itu, hubungan Soeharto dan Baharuddin Jusuf Habibie, yang dianggap representasi intelektual muslim, kian mesra. Berbekal restu Soeharto, Habibie membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Universitas Brawijaya, Malang, pada Desember 1990.
Soeharto kerap melibatkan ICMI di berbagai kebijakan pemerintah, seperti pembahasan Garis-garis Besar Haluan Negara dan penyelesaian konflik, juga mengutus kader-kadernya ke kancah politik. ICMI dan Habibie makin mendapat dukungan luas karena Benny dan CSIS dianggap representasi kepentingan Kristen. Di dalam buku Detik-detik yang Menentukan, Habibie terang-terangan mengakui perangnya dengan Benny. "...ketimbang saat pucuk pimpinan ABRI dipegang Benny Moerdani dan kawan-kawannya yang sangat anti Islam-agama mayoritas bangsa Indonesia," kata Habibie di buku itu.
Dalam sebuah kesempatan, Benny sempat mencurahkan perasaannya kepada pengusaha muda kala itu, Setiawan Djody. Benny mengaku jengah karena selalu diadu domba dengan ICMI. Dia mengatakan kerap difitnah memusuhi ICMI dan Habibie. "Padahal saya tidak pernah menolak ICMI," tutur Djody, menirukan ucapan Benny, kepada Tempo pada September lalu.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 1993, Benny menyatakan lebih suka mendekati kelompok Islam yang hidup di pesantren-pesantren. Islam di kalangan pesantren, kata dia, merasa cukup apabila bisa salat lima kali, melaksanakan rukun Islam, dan naik haji. "Orang yang menjadi politikus di Jakarta hanya menggunakan Islam untuk (kepentingan) politiknya," ujar Benny.
Dalam wawancara itu pula Benny pertama kali melontarkan istilah de-Benny-isasi. Ia berkisah punya sepuluh tentara terbaik. Tapi, karena tak diberi tempat, hanya lima orang yang kariernya melaju di ABRI. "Lima orang lain yang dianggap tidak baik dide-Benny-isasi," katanya.
Padahal, saat masih menjadi tentara aktif, kepada juniornya Benny selalu menanamkan kecintaan kepada Soeharto.
Try Sutrisno mengingatkan kembali kecintaan ini kepada anak-anak Soeharto. Saat Soeharto sedang kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada Januari 2008, ia mengumpulkan anak-anak Soeharto di ruang perawatan. Di sana ia mengingatkan mereka soal jasa-jasa para loyalis bapaknya. "Kalian mesti ingat, siapa yang paling baik dan paling loyal kepada Bapak?" kata Try kepada mereka. Try langsung menyambung kalimatnya, "Benny!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo