Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK turut mengurusi tim kampanye calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akhir bulan lalu, waktu istirahat Amir Sambodo makin pendek. Sebagai anggota Dewan Pakar pasangan tersebut, hari-harinya dipenuhi seabrek kegiatan, dari kampanye sampai meladeni wawancara untuk menangkis "serangan" lawan.
Dia makin sibuk bila Komisi Pemilihan Umum akan menggelar debat calon presiden. Persiapan menghadapi ajang "perang kata" itu bisa hingga dinihari. "Sehari saya tidur hanya tiga jam," ucap Amir, Kamis dua pekan lalu.
Dalam tim ekonomi, dia salah satu yang diandalkan pihak Hatta. Gagasannya cukup diperhatikan, terutama menyangkut sektor riil, walau dia tak masuk struktur Partai Amanat Nasional. Maklum, Amir sudah terjun ke dunia industri semenjak lepas dari Institut Teknologi Bandung, awal 1980.
Pada pertengahan 1980-an, ketika dia bergabung dengan PT Kertas Kraft Aceh, Joko Widodo juga tengah bekerja di perusahaan tersebut. Ketika itu, Jokowi masih seorang insinyur muda yang belum lama lepas dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tapi Amir mengatakan ketika itu mereka belum saling kenal.
Amir pun pernah sejalan dengan Jusuf Kalla. Selama tujuh tahun pada 1990-an, dia bekerja di PT Bukaka Kujang Prima, anak usaha Bukaka milik Kalla. Di perusahaan ini, kariernya kinclong-mencapai jabatan presiden direktur.
Tapi pada Hatta dia terpaut. Kembali ke Jakarta menjelang reformasi, Amir bersatu dengan Hatta di PT Maruta Bumi Prima, sebagai direktur dan komisaris. Kedua alumnus ITB itu makin dekat satu sama lain di perusahaan energi tersebut. Mereka sering mengikuti tender di perusahaan-perusahaan negara, seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara.
Ketika Hatta menjabat Menteri Riset dan Teknologi pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama, Amir staf khususnya. Amir juga diangkat sebagai staf ahli manakala seniornya itu menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. "Kalau staf khusus dari partai nanti dikira hanya mencari proyek," ujarnya.
Tak aneh, ketika Hatta, Kalla, dan Jokowi sama-sama maju dalam pemilihan presiden, Amir memutuskan membela Hatta. Bersama tim ekonomi PAN, seperti Didik J. Rachbini dan Dradjad Wibowo, dia sering menggelar pertemuan untuk membahas visi ekonomi Hatta. Awalnya diskusi tak terjadwal. Setelah Hatta berkoalisi dengan Prabowo pertengahan bulan lalu, diskusi ekonomi berlangsung lebih teratur dan intens. Salah satu tempat favorit mereka untuk rapat adalah ruang pertemuan di Hotel Four Seasons, Jakarta.
Sebenarnya tim kampanye mereka memiliki markas pemenangan, yakni Rumah Polonia di Jalan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Namun, kata Amir, rumah yang sebelumnya merupakan basis Majelis Dzikir Nurussalam itu kini terlalu banyak diisi orang partai. Dia bersama timnya memilih "menyingkir" dari rumah milik Harris Thahir itu.
Harris adalah sosok yang berjasa bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1. Ketua Majelis Dzikir itu "menghibahkan" bangunan 80 x 150 meter tersebut untuk dijadikan markas tim. Menurut Hatta Rajasa, pemilihan Rumah Polonia karena mereka terpepet waktu dan tempat deklarasi pada pertengahan Mei lalu. Awalnya, Prabowo-Hatta akan mengumumkan pencalonan mereka di Tugu Proklamasi, namun ada aturan tak boleh merusak peringatan sejarah. "Haji Harris menawarkan rumahnya, jadi kami berbondong ke sana," kata Hatta.
Bagi Hatta, Rumah Polonia bukan tempat baru. Demikian pula pemiliknya. Sebagai pembina Majelis Dzikir, Hatta kerap singgah di sana. Pada salah satu foto yang terpajang di dinding rumah itu, Hatta tampak berdampingan dengan Harris. Kini Harris menjadi direktur penggalangan tim kampanye nasional Prabowo-Hatta.
Rumah Polonia dibeli Harris dari bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Mulanya rumah itu milik Yurike Sanger, istri Presiden Sukarno. Pada 1970-an, rumah itu jatuh ke tangan mertua Hayono, yang lalu menjualnya kepada Hayono seharga Rp 3 miliar pada tahun 2000. "Sepertinya oleh Haji Harris dihibahkan kepada Majelis," kata Hayono, yang juga penasihat Majelis Dzikir, Ahad dua pekan lalu.
Hayono berpendapat rumah tersebut memang layak dijadikan pos tim pemenangan Prabowo-Hatta karena luas, pas sebagai pusat komunikasi. Dia tidak setuju kalau ada yang mengatakan Polonia dipilih karena latar belakang sejarahnya. "Saya kira tak ada hubungannya," ucapnya.
Di antara tokoh yang disebut kerap datang ke Rumah Polonia adalah Mohamad Riza Chalid. Dalam dunia perdagangan minyak dan gas, namanya berkibar tinggi.
Riza pernah terseret dalam kasus impor minyak jenis Zatapi, yang dijual Gold Manor International Ltd kepada Pertamina. Investigasi majalah Tempo edisi 30 Maret 2008 mengungkap kualitas Zatapi, yang merupakan minyak mentah campuran dengan bahan utama Dar Blend asal Sudan, kurang bagus. Harganya pun diduga terlalu mahal, US$ 11,72 per barel, sehingga membuat pertamina tekor sekitar Rp 65,5 miliar. Kasus ini sempat masuk Kejaksaan Agung dan menggegerkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Seorang mantan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bisnis Riza sudah masuk ke semua lini energi hingga ke hulu di ladang-ladang migas dan transportasi laut.
Riza dan Harris tak bisa ditemui ataupun ditelepon untuk dimintai konfirmasi. Ditunggu di Rumah Polonia-terakhir dua hari berturut-turut-mereka tidak datang. Sekretaris Riza, Dina Soraya, yang mula-mula berjanji akan menghubungkan Tempo dengan bosnya, belakangan sulit dihubungi.
Hatta mengakui ia berteman dengan Riza karena peratutannya di Majelis Dzikir. Menurut dia, mereka beberapa kali bertemu di Majelis Dzikir. Tapi ia membantah jika Riza disebut turut menyumbang untuk dana kampanyenya, hingga Rp 1 triliun. "Kalau Riza menjadi donatur, pasti kami tidak akan kesulitan mencari dana untuk saksi," katanya.
Hatta mengatakan tidak masuk akal ada orang yang mau menyumbang hingga triliunan rupiah. "Apa ada orang yang segila itu untuk sesuatu yang tak jelas? Kalau ada yang mau, saya larang. Buat apa? Bangun saja masjid dan gereja," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo