Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG tujuh lantai di Jalan Warung Buncit Raya 17, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, itu sudah berganti penghuni. Di papan nama terpampang: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka. Padahal bangunan berselimut kaca biru itu dulu dikenal sebagai "Rumah PAN".
"Sudah empat-lima bulan digunakan sebagai gedung pascasarjana Uhamka," kata Ramli, sopir Rektor Uhamka, yang kebetulan berada di sana ketika Tempo berkunjung, Senin pekan lalu. "Sebelumnya sempat kosong sekitar dua tahun." Menurut Ramli, pemilik telah menghibahkan gedung tersebut kepada Uhamka.
Adalah Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional 2005-2010, pemilik semula bangunan itu. Pada 2007, pengusaha batik asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu membeli gedung yang dulu bernama Wisma Bakrie tersebut Rp 17 miliar. Soetrisno kemudian menjadikannya kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional.
Pada 2012, setelah menyatakan mundur dari partai, Soetrisno mengumumkan mewakafkan gedung tersebut kepada Muhammadiyah. Artinya, PAN tak bisa lagi "berumah" di situ. Keputusan ini semakin mempertajam ketegangan antara Soetrisno dan petinggi partai yang kini dipimpin Hatta Rajasa itu.
Perang dingin di antara mereka sebetulnya sudah tersirat lama. Pada sekitar April 2009, misalnya, ketika Partai Demokrat berhasil menang pemilihan umum legislatif berdasarkan hitung cepat, PAN merapat ke partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono itu. Diam-diam Amien Rais-pendiri PAN-menyorongkan Hatta sebagai calon RI-2. Hatta digadang-gadang mendampingi Yudhoyono di periode kedua kepemimpinannya, menggantikan Jusuf Kalla.
Langkah itu memicu ketegangan di tubuh PAN. Sebab, pada saat yang sama, Ketua Umum PAN Soetrisno juga berniat maju sebagai calon wakil presiden. Rencananya, ia akan berpasangan dengan Prabowo Subianto, calon presiden yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya.
Cerita tentang perpecahan di tubuh PAN karena tarik-menarik pencalonan wapres itu diungkapkan Totok Daryanto-saat itu Ketua Badan Pemenangan Pemilu-dalam diskusi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, pada 8 Mei 2009. "Konflik di PAN itu sudah berlebihan," katanya.
Kepada Tempo, ketika itu, Amien membenarkan kabar pertemuannya dengan Yudhoyono. Tapi ia menyatakan tema pembicaraan bukan mengenai koalisi. Petinggi partai yang mengetahui pertemuan itu memastikan Amien sempat memberi sinyal menyorongkan Hatta sebagai calon wakil presiden.
Di tengah percakapan, misalnya, Amien menunjuk Hatta yang duduk di seberangnya seraya mengatakan, "Saya titip Mr Silver Hair ini." Mendengar itu, Yudhoyono tersenyum. Ketika Amien berpamitan, Yudhoyono menyela. "Tadi apa, Pak Amien? Grey hair?" Amien menjawab, "Bukan, bukan. Silver hair."
Hatta menyangkal adanya urusan titip-menitip ini. Menurut dia, yang benar adalah Amien mengatakan, jika ingin menyampaikan pesan kepada Amien, Yudhoyono bisa menitipkannya melalui Hatta. Dan sebaliknya. Ditemui Selasa pekan lalu, Hatta kembali membantah. "Saya kira tidak seperti itu," katanya. "Pak Amien mengatakan sebaiknya pemimpin mencerminkan keindonesiaan. Tidak harus Jawa."
Rivalitas Soetrisno-Hatta juga muncul pada 2005, ketika Kongres II PAN diselenggarakan di Semarang. Saat itu Soetrisno mencalonkan diri sebagai ketua umum. Kandidat lain adalah Hatta dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Posisi Soetrisno di atas angin karena didukung Amien.
Secara terbuka Amien menyanjung Soetrisno. "Kalau saya memberi nilai, nilai dia (Soetrisno) adalah 7,9. Angka itu kalau ditulis di komputer akan menjadi 8," katanya saat itu. Amien pun melibatkan anak sulungnya, Hanafi Rais-dosen Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM-menjadi koordinator tim sukses Soetrisno.
Hatta mundur dari pencalonan. Seorang pejabat partai itu bercerita Hatta "dibuat" sadar bahwa jabatan menteri yang didudukinya pun berkat jasa Amien. Menurut pejabat itu, dukungan penuh Amien tak lepas dari jasa Soetrisno yang telah menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk kampanye Amien sebagai calon presiden pada Pemilu 2004.
Hatta menyatakan pengunduran dirinya untuk memberi kesempatan Soetrisno menjadi ketua umum. Amien mengakui jasa Soetrisno. Kepada Tempo, Amien pernah menyanjung Soetrisno sebagai tokoh yang banyak menyumbang partai. Misalnya membeli gedung untuk kantor belasan dewan pimpinan daerah PAN. "Bukan kantor mewah, tapi yang semula mengontrak menjadi milik sendiri," katanya.
Amien juga memuji kepemimpinan Soetrisno, yang dinilai sukses mempertahankan perolehan suara partai pada pemilu, sehingga PAN tetap menjadi pemenang pemilu nomor lima. Tapi, tentang perang dingin Soetrisno-Hatta, Amien membenarkan. "Mungkin ada masalah pribadi yang saya tidak tahu," katanya. "Ketidaksukaan kepada Hatta cukup tinggi, sehingga kemudian Soetrisno selalu mengambil opini yang berbeda."
Ia mencontohkan kondisi terakhir, ketika PAN secara resmi mengusung pasangan Prabowo-Hatta. "Dia punya keputusan sendiri," katanya. Saat ini Soetrisno terdaftar sebagai anggota tim sukses pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Amien menambahkan, "Kemungkinan hanya ijtihad politiknya berbeda."
Ditemui di kediamannya di kawasan Simprug Golf, Jakarta, 4 Juni 2014, Soetrisno Bachir menolak membicarakan masa lalu. "Saya masuk dan keluar partai baik-baik, berpamitan," katanya. "Saya memilih berdamai dengan elite partai, sehingga bila pilihan politik sekarang berbeda, juga terjadi dengan baik-baik."
Hatta menyayangkan hubungannya dengan Soetrisno yang tak berakhir harmonis. Ia meyakinkan tidak menyimpan dendam atas pengusiran pengurus DPP PAN dari "rumah biru". Apalagi hal itu terjadi menjelang Komisi Pemilihan Umum memverifikasi partai calon peserta pemilu. "Saya cuma minta tolong diberi waktu untuk pindah ke kantor baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo