Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peran Diam Murid Bang Imad

Terlibat pembentukan ICMI. Gara-gara belum doktor, Hatta tak disebut sebagai pendiri.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU, setiap Ahad, Hatta Rajasa selalu meluangkan waktu untuk berguru ke Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Bertempat di Masjid Salman, kompleks Institut Teknologi Bandung, sekitar 1978, mahasiswa teknik perminyakan itu tekun berburu ilmu agama dan politik ke seorang guru, yaitu Bang Imad-sapaan Imaduddin.

Tak hanya ilmu yang dicari, Hatta muda juga terjun sebagai aktivitas kampus. Bersama sejawatnya, dia menggelorakan yel menolak Soeharto kembali menjadi presiden. Di Masjid Salman, Hatta bergabung dalam program kaderisasi Latihan Mujahid Dakwah besutan Imaduddin (almarhum). "Dia itu gurunya, guru agama juga guru politik," kata Nasruddin Achmad Madjid, mantan legislator Partai Amanat Nasional.

Risiko sebagai aktivis, terutama saat unjuk rasa anti-Soeharto, Hatta dan kawan-kawannya jadi incaran aparat keamanan. Suasana kampus menjadi tidak kondusif. Jadwal kuliah terganggu. Tindakan represif militer datang sewaktu-waktu. Sedikitnya dua kali tentara menyerang Kampus Ganesha. Ujung dari hiruk-pikuk ini, pembubaran Dewan Mahasiswa ITB pimpinan Heri Akhmadi ketika itu.

Mahasiswa kalang-kabut menghadapi serangan pasukan bersenjata. Sejawat Hatta berhamburan melarikan diri. Tak sedikit yang ditangkap. Termasuk Rizal Ramli, Bambang Sukarsono, dan Al Hilal Hamdi. Ketiganya sempat jadi buron. "Hatta itu yang nyumputin (menyembunyikan) saya," ujar Hilal saat ditemui di rumahnya di Tegal Parang, Jakarta Selatan.

Hatta memang tidak begitu menonjol dalam demonstrasi. Meski begitu, menurut Hilal, peran Hatta itu menguntungkan bagi rekan-rekannya. Hatta menjadi tempat berlindung mahasiswa dari kejaran militer. Salah satu tempat persembunyian yang menjadi "favorit" Hatta adalah rumah Oktiniwati Ulfa Dariah alias Okke Rajasa di Jakarta. "Sekarang jadi istrinya," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Aksi diam-diam itu memaksa Hatta bolak-balik Bandung-Jakarta. Namun, sebagai Wakil Ketua Himpunan Teknik Perminyakan sekaligus anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa ITB, gerak-gerik Hatta tak bisa lepas dari incaran aparat.

n n n

Nasruddin Achmad Madjid, senior Hatta lima tahun di ITB, mengaku sama-sama sebagai aktivis Masjid Salman. Di masjid ini Nasruddin sering mendatangkan pembicara top dari kalangan kampus. Salah satunya Amien Rais. "Yang membawa Amien ke Salman saya, dan yang memperkenalkan ke Hatta saya juga," kata Nasruddin.

Keakraban Amien dan Nasruddin bukan kebetulan. Keduanya punya hubungan kerabat, Nasruddin sebagai kakak ipar. Amien Rais menikahi adik Nasruddin bernama Kusnasriyati Sri Rahayu pada 1969. Sepulang kuliah dari Universitas Chicago pada 1981, Amien makin giat keliling kampus, temasuk ITB. "Lebih dari tujuh kali saya memberi kuliah Ramadan di Salman," kata Amien.

Hubungan Amien dan Hatta terus tersambung hingga Hatta lulus dari ITB pada 1980 dan mendirikan perusahaan pengeboran minyak. Perusahaan ini dirintis bersama Hilal Hamdi dan Faisal Effendi Yazid, salah satu dosen ITB.

Tak mudah mengelola perusahaan yang baru berdiri. Selain modal cekak, Hatta dkk masih susah mencari pinjaman. Saat mendapat banyak proyek, misalnya, mereka kesulitan duit. Pernah mengalami proyek macet hampir satu tahun. Akibatnya, pekerjaan terbengkalai karena alat bor tidak beroperasi.

Sebenarnya, menurut Hilal, perusahaan pengeboran minyak yang dikelola bersama Hatta tergolong besar. Ketika itu terbesar kedua setelah Medco, perusahaan minyak milik Arifin Panigoro. Pada awal 1980-an, bisnis minyak sedang berjaya. Harga per barelnya ketika itu US$ 35.

Soal dana, Nasruddin mengatakan, Hatta pernah meminta bantuan Amien Rais. Bentuk bantuannya, Hatta ingin Amien yang dekat dengan Direktur Bank Exim periode 1973-1988, Moeljoto Djojomartono, mengenalkannya. Upaya Hatta rupanya terkabul. Moeljoto membuka kesempatan untuk kucuran dana bagi perusahaan minyak lokal yang berpotensi. "Hatta ini orang pintar, jadi saya yang bantu ke Amien," ujar Nasruddin.

Dari koneksi itulah interaksi Hatta-Amien semakin akrab. Relasi politik keduanya pun kian kuat memasuki 1995, sewaktu Amien terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dan anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. "Aktivis Salman hampir semua bergabung di ICMI. Ketuanya Pak Habibie, yang alumnus ITB," ujar Amien merujuk nama Baharuddin Jusuf Habibie.

Dalam proses pembentukan ICMI, Hatta turut membidani bersama Imaduddin. "Waktu pendirian itu digodok di kantor saya," kata Hatta. Kantor yang dimaksud adalah PT Arthindo Utama, perusahaan pengeboran minyak di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun nama dia tak tercantum sebagai pendiri organisasi itu karena tak punya gelar doktor. "Saya agak marah," ujar Hatta.

Hatta sempat menempuh pendidikan pascasarjana tapi gagal lulus karena hanya dijalani satu semester. Kegagalan itu kemudian ditebus Hatta dengan mencari aktivitas lain, yaitu terjun ke dunia politik. Pilihan itu diambil setelah mendapat kepastian dari Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional pada 23 Agustus 1998. Dalam Pemilu 1999, melalui partai itu Hatta terpilih menjadi Ketua Fraksi Reformasi DPR.

Status politikus di Senayan diakhiri setelah Hatta mendapat jatah jabatan Menteri Perhubungan di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Karier di kabinet tak putus meski presiden sudah berganti. Hatta pernah menjadi Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Sekretaris Negara, dan terakhir Menteri Koordinator Perekonomian.

Hatta mengawali debutnya di partai sebagai Ketua Departemen Sumber Daya Alam dan Energi. Ini sesuai dengan latar belakangnya sebagai insinyur teknik perminyakan. Hasil kongres pertama PAN, Hatta dipilih menjadi sekretaris jenderal partai, yang ketuanya dipegang Amien Rais.

Dalam kongres kedua di Semarang, Hatta bersama Fuad Bawazier mencoba merebut posisi puncak di PAN. Namun upayanya itu kandas. Posisi ketua umum partai diambil pengusaha asal Pekalongan, Jawa Tengah, yaitu Soetrisno Bachir. "Tunggu lima tahun lagi," kata Nasruddin menenangkan Hatta yang gagal menduduki posisi puncak PAN.

Abdillah Toha, salah satu pendiri PAN, mengisahkan keputusan dalam kongres di Semarang menyisakan hubungan Hatta-Soetrisno renggang. "Kalau dia bertemu dengan Soetrisno kaku," kata Abdillah saat ditemui di kantor staf khusus Wakil Presiden Boediono.

Belum lama mengendalikan PAN, Soetrisno Bachir mulai tak disukai elite partai. Koleganya banyak yang sewot, terutama soal kedekatan dia dengan sejumlah artis. Kondisi ini juga dinilai oleh Amien Rais melenceng dari kebijakan partai. Hubungan Soetrisno Bachir dengan Amien yang semakin renggang berujung pada tampilnya Hatta. "Pada Pemilu 2009, Hatta mengambil alih semua tugas berisiko tinggi," ujar Amien sembari mencontohkan penentuan nomor urut calon legislator Senayan.

Kedekatan tersebut, menurut Abdillah Thoha, melapangkan Hatta menduduki kursi Ketua Umum PAN dalam kongres di Batam pada Januari 2010. Amien sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PAN memiliki kekuasaan penuh terhadap terpilihnya Hatta. " Hatta itu tokoh yang loyal terhadap pimpinannya," kata Amien memuji kadernya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus