KERIBUTAN dalam hal pembebasan tanah terjadi lagi di Jakarta.
Sekali ini berlangsung di kampung-kampung Poncol, Bulak dan
Sumur. Semuanya di wilayah Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung
Jakarta Timur. Pangkal mulanya karena daerah itu hendak
dibebaskan P.T. Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (PT Jiep).
Keributan beranjak dari 3 hal: cara pembebasan yang menurut
penduduk dilakukan pihak PT Jiep secara bertahap, memakai sistem
calo dan jumlah ganti rugi. Maunya penduduk pembebasan hendaknya
dilakukan serentak, tidak setapak-setapak seperti selama ini dan
langsung mereka dapat berhadapan dengan pihak perusahaan, tidak
melalui perantara, seperti mereka alami selama ini. .Lalu soal
ganti rugi, warga di ketiga kampung itu merasa nilai tanah
mereka terlalu rendah dihargai pihak PT Jiep. Sehingga, menurut
mereka, ganti rugi itu tak mungkin cukup bagi mereka untuk
mendapatkan tempat kediaman baru. Apalagi pihak perusahaan tadi
tak menyediakan tempat penampungan.
Wartawan
Pihak PT Jiep menampik tuduhan penduduk. Tidak ada calo, bantah
Warsito Wahono, Humas PT Jiep. "Kalau toh ada calo, itu
permainan di bawah tangan kami tetap bekerja berdasarkan SK
Gubernur DKI tahun 1973" kata Warsito. Dalam SK ini di samping
tercantum soal cara pembebasan yang harus langsung dengan
penduduk (pemilik) juga ditetapkan harga taksiran tanah di
kawasan itu. Yaitu Rp 1.500 per meter persegi untuk tanah kosong
dan Rp 750 per meter persegi untuk tanah yang ada bangunannya.
Mengenai cara pembebasan yang bertahap, Dirut PT Jiep
Surihandono mengakui kepada Kompas bahwa hal itu memang
dilakukan tidak secara sekaligus. Karena biaya terbatas, kata
Surihandon-).
Pihak pemilik tanah tetap bertahan. Haji Achmadi misalnya
mengungkapkan tanahnya seluas 6.500 meter sudah dibebaskan PT
Jiep dengan diperantarai seorang wartawan. "Saya hanya
menandatangani kwitansi kosong dan mendapat uang Rp 6 juta,
cukup untuk pembeli mobil yang memang sedang saya butuhkan"
ungkapnya kepada TEMPO pekan lalu. Jadi ia tak tahu berapa
persisnya si wartawan menjualkan tanahnya kepada perusahaan
tadi.
Tapi sekitar bulan September lalu beberapa orang warga pernah
mendapat penggantian Rp 3.500 per MÿFD untuk bangunan dan Rp 900
per MÿFD untuk tanahnya. Lalu, berapa yang mereka tuntut
sekarang? "Ya, kami minta dihargai sekitar Rp 5.000 per MÿFD"
kata Sa~ali salah seorang pengurus LKPDK (Lembaga Kerja
Pembangunan Daerah Kota) di ketiga kampung tadi. Menurut
Sazali, "sekarang saja harga tanah yang ada proyek MHT-nya
sudah Rp 10.000 per MÿFD, sedang yang belum Rp 8.000 per MÿFD."
Sementara itu pihak PT Jiep yang kemudian selalu menjual
tanah-tanah itu untuk mereka yang hendak mendirikan industri
di kawasan Pulo Gadung telah mempunyai tarif sendiri. Yaitu
Rp 11.000 per MÿFD untuk tanah sekender jika dibayar kontan
dan Rp 13.000 jika dicicil. Untuk tanah primer Rp 1~.000 per MÿFD
kontan, dicicil Rp 14.500. Jika tanah itu terletak di bilangan
pojok, untuk tanah sekender Rp 12.000 per MÿFD kontan, dan
Rp 14.500 bila dicicil tanah primer Rp 13.000 per MÿFD kontan,
Rp 15.000 per MÿFD bila dicicil.
Melihat angka-angka itu tentu saja penduduk menjadi silau. Dan
tetap menuntut, paling tidak ganti rugi itu dapat mereka gunakan
untuk membuat kediaman baru. Sebab berdasar pengalaman mereka
yang sudah dibebaskan, umumnya ganti rugi hanya cukup untuk
mengontrak rumah selama beberapa tahun. Di samping itupun mereka
meminta agar SK Gubernur tahun 1973 itu ditinjau kembali. Karena
harga taksiran yang ada di dalamnya dianggap tak cocok lagi.
Tapi Harahap, Kepala Humas DKT cepat menanggapi. "Pokoknya SK
Gubernur itu tentu tidak akan merugikan masyarakat" ucap
Harahap, sambil ia juga mengakui bahwa ketentuan khusus tentang
pembebasan tanah memang belum jelas. Namun, tambahnya, "semua
sudah diatur oleh panitia penaksir yang terdiri dari PT Jiep dan
pihak Agraria." Dan memang, keributan soal pembebasan tanah di
Jakarta, selalu berpangkal pada angka-angka yang dibuat Panitja
dan cara-cara penterapannya di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini