Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Di Poncol, Bulak Dan Sumur

Pembebasan tanah oleh pt jakarta industrial estate pulo gadung di cakung, menimbulkan keributan. penduduk meminta ganti rugi & pembebasan serentak. dirut pt jiep mengakui adanya biaya yang terbatas.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERIBUTAN dalam hal pembebasan tanah terjadi lagi di Jakarta. Sekali ini berlangsung di kampung-kampung Poncol, Bulak dan Sumur. Semuanya di wilayah Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Pangkal mulanya karena daerah itu hendak dibebaskan P.T. Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (PT Jiep). Keributan beranjak dari 3 hal: cara pembebasan yang menurut penduduk dilakukan pihak PT Jiep secara bertahap, memakai sistem calo dan jumlah ganti rugi. Maunya penduduk pembebasan hendaknya dilakukan serentak, tidak setapak-setapak seperti selama ini dan langsung mereka dapat berhadapan dengan pihak perusahaan, tidak melalui perantara, seperti mereka alami selama ini. .Lalu soal ganti rugi, warga di ketiga kampung itu merasa nilai tanah mereka terlalu rendah dihargai pihak PT Jiep. Sehingga, menurut mereka, ganti rugi itu tak mungkin cukup bagi mereka untuk mendapatkan tempat kediaman baru. Apalagi pihak perusahaan tadi tak menyediakan tempat penampungan. Wartawan Pihak PT Jiep menampik tuduhan penduduk. Tidak ada calo, bantah Warsito Wahono, Humas PT Jiep. "Kalau toh ada calo, itu permainan di bawah tangan kami tetap bekerja berdasarkan SK Gubernur DKI tahun 1973" kata Warsito. Dalam SK ini di samping tercantum soal cara pembebasan yang harus langsung dengan penduduk (pemilik) juga ditetapkan harga taksiran tanah di kawasan itu. Yaitu Rp 1.500 per meter persegi untuk tanah kosong dan Rp 750 per meter persegi untuk tanah yang ada bangunannya. Mengenai cara pembebasan yang bertahap, Dirut PT Jiep Surihandono mengakui kepada Kompas bahwa hal itu memang dilakukan tidak secara sekaligus. Karena biaya terbatas, kata Surihandon-). Pihak pemilik tanah tetap bertahan. Haji Achmadi misalnya mengungkapkan tanahnya seluas 6.500 meter sudah dibebaskan PT Jiep dengan diperantarai seorang wartawan. "Saya hanya menandatangani kwitansi kosong dan mendapat uang Rp 6 juta, cukup untuk pembeli mobil yang memang sedang saya butuhkan" ungkapnya kepada TEMPO pekan lalu. Jadi ia tak tahu berapa persisnya si wartawan menjualkan tanahnya kepada perusahaan tadi. Tapi sekitar bulan September lalu beberapa orang warga pernah mendapat penggantian Rp 3.500 per MÿFD untuk bangunan dan Rp 900 per MÿFD untuk tanahnya. Lalu, berapa yang mereka tuntut sekarang? "Ya, kami minta dihargai sekitar Rp 5.000 per MÿFD" kata Sa~ali salah seorang pengurus LKPDK (Lembaga Kerja Pembangunan Daerah Kota) di ketiga kampung tadi. Menurut Sazali, "sekarang saja harga tanah yang ada proyek MHT-nya sudah Rp 10.000 per MÿFD, sedang yang belum Rp 8.000 per MÿFD." Sementara itu pihak PT Jiep yang kemudian selalu menjual tanah-tanah itu untuk mereka yang hendak mendirikan industri di kawasan Pulo Gadung telah mempunyai tarif sendiri. Yaitu Rp 11.000 per MÿFD untuk tanah sekender jika dibayar kontan dan Rp 13.000 jika dicicil. Untuk tanah primer Rp 1~.000 per MÿFD kontan, dicicil Rp 14.500. Jika tanah itu terletak di bilangan pojok, untuk tanah sekender Rp 12.000 per MÿFD kontan, dan Rp 14.500 bila dicicil tanah primer Rp 13.000 per MÿFD kontan, Rp 15.000 per MÿFD bila dicicil. Melihat angka-angka itu tentu saja penduduk menjadi silau. Dan tetap menuntut, paling tidak ganti rugi itu dapat mereka gunakan untuk membuat kediaman baru. Sebab berdasar pengalaman mereka yang sudah dibebaskan, umumnya ganti rugi hanya cukup untuk mengontrak rumah selama beberapa tahun. Di samping itupun mereka meminta agar SK Gubernur tahun 1973 itu ditinjau kembali. Karena harga taksiran yang ada di dalamnya dianggap tak cocok lagi. Tapi Harahap, Kepala Humas DKT cepat menanggapi. "Pokoknya SK Gubernur itu tentu tidak akan merugikan masyarakat" ucap Harahap, sambil ia juga mengakui bahwa ketentuan khusus tentang pembebasan tanah memang belum jelas. Namun, tambahnya, "semua sudah diatur oleh panitia penaksir yang terdiri dari PT Jiep dan pihak Agraria." Dan memang, keributan soal pembebasan tanah di Jakarta, selalu berpangkal pada angka-angka yang dibuat Panitja dan cara-cara penterapannya di lapangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus