Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUBAHAN nama Makassar menjadi Ujung Pandang dibicarakan lagi.
Ini bermula dengan lahirnya sebuah Petisi dari 3 orang tokoh
cerdik pandai di kota itu perengahan Juli tahun lahl. Ketiganya
adalah Prof. Andi Zainal Abidin Faried SH, DR. Mattulada dan
drs. H.D. Mangemba. Petisi yang ditujukan kepada Walikota Daeng
Pattompo dan DPRD Kotamadya Ujung Pandang itu meminta agar
dalamwaktu singkat nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi
Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.
Petisi itu sendiri berbunyi: Berdasar penemuan, keyakinan dan
tanggungjawab kami, baik secara bersama-sama maupun
masing-masing, kota kita ini bernama Makassar. Demi ketulusan
dan hasrat kita semua untuk menegakkan kejujuran dan keluhuran
sejarah Tanah Air Indonesia pada umumnya, maka kami usulkan kota
ini dikembalikan kepada namanya Makassar.
Sebenarnya sejak 1958 perubahan nama itu sudah dibicarakan di
kalangan anggota DPRD Kotamadya Makasar. Tapi suara-suara yang
ada ketika itu lebih banyak menampik. Dan gagal. Baru pada 1
September 1971 melalui Peraturan Pemerintah no. 51/1971 usaha
itu berhasil. Alasan yang terdengar waktu itu adalah karena
selain Makassar kota ini juga banyak dikenal dengan nama Ujung
Pandang, bahkan benteng yang masih ada di tengah kota ini
bernama Benteng Ujung Pandang. Bahkan sejak tahun 1920
orang-orang Bugis lebih merasa kena menyebutnya Jumpandang yang
diperkirakan singkatan dari Ujung Pandang.
Namun sekian ramai orang mendukung perubahan itu, tak kalah
kerasnya pula suara yang menantang. "Dari segi historis nama
Makassar lebih tepat, ' ucap Hamzah Daeng Mangemba, sarjana
sejarah. Bahkan sebagai Direktur Lembaga Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin kala itu melalui lembaga tadi ia
menerbitkan sebuah risalah untuk menjawab pernyataannya: bahwa
nama Makassar lebih tepat. Benten Ujung Pandang diberi nama
begitu karena dibuat di desa yang bernama Ujung Pandang. Bahkan
katanya 2 pekan lalu kepada TEMPO, dari segi ekonomis perubahan
nama itu juga merugikan daerah Sulawesi Selatan. Sebab sejak
berabad-abad lampau tiap barang ekspor dari daerah ini (dan
kawasan Indonesia Timur) selalu melalui pelabuhan Makassar dan
memakai cap Makassar. Karena itu sampai sekarang pelabuhan itu
tetap bernama Pelabuhan Makassar dan tidak Pelabuhan Ujung
Pandang, untuk menjaga agar bahan-bahan ekspor propinsi ini
tetap mendapat pasaran di luar negeri.
Pemilu
Menurut Mangemba penggantian nama itu berbeda dengan perubahan
misalnya dari Betawi menjadi Jakarta atau dari Kotaraja menjadi
Banda Aceh. Ini dikaitkannya dengan peranan Makassar sebagai
bandar utama yang sudah menyebarkan rempah-rempah dari kawasan
Indonesia Timur ke seluruh pelosok dunia sejak abad ke-17.
Sehubungan dengan itulah, lanjut Mangemba, beberapa organisasi
seperti PSM (Persatuan Sepakbola Makassar) dan DKM (Dewan
Kesenian Makassar) tak mau merubah namanya.
Berbeda dengan Mangemba, bagi DR. Mattulada memang baru
akhir-akhir ini saja memperdengarkan suara tak setuju nya atas
perubahan nama itu. Waktu itu saya sedang berada di Negeri
Belanda, kata doktor antropologi itu. Kata Mattulada petisi itu
sebenarnya sudah cukup lama disiapkan. Tapi ketika disodorkan
kepada Daeng Pattompo, Walikota Ujung Pandang ini menyarankan
agar sesudah pemilu saja hal itu dibicarakan dengan DPRD
Kotamadya Ujung Pandang. Tentu dengan embel-embel, "demi menjaga
stabilitas keamanan."
Karena hingga sekarang belum juga mendapat tanggapan, maka
ketiga orang embuat petisi tadi sejak beberapa pekan lewat
mencoba memperingatkan berbagai pihak akan pentingnya
pengembalian nama kota itu. Sekaligus dengan menyebarluaskan
petisi bertulisan tangan itu. Apalagi karena diketahui masa
jabatan Daeng Pattompo -- yang secara pribadi menyetujui nama
Makassar dan berjanji akan turut memperjuangkan petisi itu di
forum DPRD - hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namun bagi 3
orang pembuat petisi itu agaknya perjuangan akan tetap
diteruskan, siapapun yang menjadi walikota di sana kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo