Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di tanah warisan kamehameha

Biografi raja kamehameha, raja kepulauan hawai, sekitar abad 19. (sel)

4 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA sedang mengandung, Kekuiapoiwa mengidamkan sesuatu yang luar biasa. Perempuan itu ingin menyantap biji mata seorang kepala suku! Mustahil, tentu saja. Ia hanya diberi biji mata ikan hiu pemakan manusia. Kahuna (imam) setempat lalu menafsirkan keinginan itu sebagai pertanda istimewa. Bayi Kekuiapoiwa, katanya, bakal menjadi pemberontak atau pembunuh para kepala suku. Mendengar ramalan itu penguasa Hawaii, Alapainui, segera menyusun rencana rahasia: bayi itu akan dibunuh. Syahdan, kandungan Kekuiapoiwa mencapai hari genapnya pada suatu malam berbadai di Distrik Kohala, tatkala sebutir bintang aneh berekor putih menyala terang di langit barat. Menurut sebuah dongeng, bayi yang dilahirkan itu lantas diserahkan kepada seorang kepala puak - diselundupkan ke luar melalui dinding teratak ilalang sang ibu. Kemudian dibawa ke Awini, di pantai utara Hawaii. Pencarian yang dilakukan Alapainui, sang penguasa, terhadap bayi itu, konon menyamai usaha Raja Herodes mencari bayi Kristus di awal tarikh Masehi. Dan, laksana kisah Nabi Musa, bayi tadi disurukkan ke dalam sebuah keranjang, ditutupi dengan olona, yakni serat yang biasa digunakan membuat jala. "Tak lagi jelas di mana sejarah berhenti dan mitos mulai memegang peranan," ujar Louise E. Levathes, yang menulis karangan ini dalam majalah National Geographic November lalu. Bahkan bagai tanggal kelahiran Kristus, hari keiahiran Kamehameha sendiri, bayi luar biasa itu, sebenarnya tak terlalu jelas. Paling-paling, seperti banyak dipercayai orang, kelahiran itu terjadi pada 1758, ketika komet Halley terlihat di angkasa Hawaii. Yang penting, Kamehameha kemudian tercatat sebagai raja penakluk paling besar dalam sejarah kepulauan itu. Dan namanya hidup sampai kini. Untuk sebagian pribumi Hawaii, peristiwa-peristiwa ajaib dalam kehidupan Kamehameha diterima sebagai kenyataan. Berjalan di sepanjang pesisir Pulau Maui, Charles Keau suatu hari melihat sepotong tulang rahang muncul di pasir pantai. Ia berjongkok, mencabut rumput laut naupaka yang berakar di gigi rahang itu, dan mencoba membuka "kontak". "Jika kau bisa bicara," katanya kepada si rahang, "gerangan apa yang akan engkau ceritakan kepadaku?" Suaranya bergetar oleh kesedihan. Sebagai seorang bocah dulu, ia telah menjelajahi bukit berpasir di sekitar Wailuku ini, menemukan tumpukan atau serakan kerangka dan tengkorak manusia. Ia bahkan telah menguburkan kembali tulang-belulang itu. Tetapi kini, sebagai penjaga Taman Daerah Kepaniwai ia tak dapat berbuat banyak. Setiap sebuah badai selesai ratusan tulang bermunculan di pasir pantai. Tulang-belulang siapa? "Kami tak tahu," sahut Charles. "Bukit-bukit pasir ini tak pernah digali." Wailuku berarti "air yang menghancurkan". Nama ini, konon, mencerminkan betapa situs ini pada suatu masa menjadi medan perang yang sengit. Dalam kenyataannya, hampir 200 tahun lalu, ketika mata rantai pulau-pulau Pasifik dipisahkan oleh kerajaan yang berperang, para kepala suku yang penuh ambisi dari berbagai pulau tetangga Hawaii mendaratkan kano-kano mereka di dekat Wailuku. Perang segera berkobar antara mereka dan penguasa Maui. Begitu banyak orang terbunuh, sehingga arus air yang melintasi Lembah lao merah oleh darah. Para prajurit Hawaii menang, dan pemimpin mereka, Kamehameha, kemudian bergulat mempersatukan kepulauan itu di bawah kekuasaan tunggal. Mungkin kah tulang berserakan tadi peninggalan perang yang dahsyat itu? "Siapa pun mereka, mereka adalah ohana (sanak saudara) saya," kata Charles Keau. Nenek moyangnya sudah bertani di Lembah lao turun-temurun. "Saya ingin menguburkan semua tulang-belulang itu sehingga tidak rusak begitu saja. "Mengapa mereka harus menderita lagi oleh keganasan alam?" Di sepanjang kepulauan ini, pribumi Hawaii mempunyai ikatan emosional yang sangat dalam dengan masa lampau mereka. Bagi mereka hubngan itu nyata adanya, sebagaimana tulang-belulang di perbukitan pasir Wailuku dapat dilihat dan dijamah. Sejak kedatangan penjelajah Inggris, Kapten James Cook, 1778, dan dominasi bertahap kebudayaan Barat (berpuncak pada pembentukan pemerintahan modern pada 1959), jarang sekali pribumi Hawaii mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Dibunuh secara bertahap oleh berbagai penyakit yang dibawa orang kulit putih, para pribumi ini kemudian menjadi minoritas di tanah air mereka sendiri. "Kebanggaan kultural mereka menderita di bawah pengaruh para misionaris abad ke-19," tulis Louise E. Levathes. Mereka dikutuk karena beberapa tradisi mereka yang oleh orang Barat dianggap hina. Antara lain kebiasaan berpoligami dan bertelanjang bulat di depan umum. Tari-tarian mereka dicap "cabul" dan "jahat". "Bahkan pada masa remaja saya, pribumi Hawaii masih dipandang sebagai warga negara kelas dua," ujar Phil Kwiatkowski, 35, petugas keamanan yang bertanggung jawab atas separuh daerah Hawaii. Seperti halnya penduduk asli Eskimo di Alaska sekarang ini, "beberapa pribumi Hawaii tidak berani secara terus terang mengakui kelahiran mereka. Menjadi seorang Hawaii berarti menanggung beban tertentu - dituduh dungu, pemalas, primitif, kafir." Angin gerakan hak-hak asasi manusia, 1960-an, baru mencapai Hawaii sekitar satu dasawarsa lalu. Angin ini membawa kesadaran kultural, di samping politik. Para pribumi Hawaii dan setengah Hawaii, yang jumlahnya kini hanya 19% dari 994.000 penduduk, mulai bergairah menggali warisan kebudayaan sendiri. Mereka membuat perjalanan tiga ribu mil dengan kano, sama seperti nenek moyang Polynesia mereka, memugar pelbagai situs bersejarah, menghidupkan kembali hula purba, tarian, nyanyian, kerajinan tradisional, olah raga kuno, dan agama. Semua ini bangkit dalam satu arus yang dinamakan Reinesans Hawaii. Penakluk besar, yang dengan berani menyerbu Maui pada 1790, dan 20 tahun kemudian menguasai seluruh Kepulauan Hawaii, mendapat tempat khusus dalam sejarah dan kebangkitan kebudayaan ini. Penakluk ini, raja, negarawan, peletak hukum, adalah Kamehameha (1758-1819). Ia sering dijuluki "Napoleon dari Pasifik". Kamehameha dengan berani membawa Hawaii meninggalkan Zaman Batu, tanpa kehilangan kepercayaan nenek moyang sendiri. Ia memberi kesan yang khusus kepada Cook, kemudian Kapten George Vancouver, dengan ketajaman pikirannya, dan meninggalkan kenang-kenangan mendalam di kalangan rakyatnya. Ia dijuluki "ayah para yatim, penyelamat yang tua dan lemah, penolong orang melarat, petani, nelayan, dan pembuat pakaian untuk si papa". "Di tiap pulau dan di tiap zaman, ia tetap pemimpin," tulis Raja Kalakaua, monark Hawaii keenam yang meneruskan kepemimpinan Kamehameha. "Dia begitu kuat sehingga anak-anak dan orang dewasa merasa aman di bawah kekuasaannya. Di dalam majelis ia selalu tampil dengan keputusan yang bijaksana". "la memang pantas mendapat sebuah monumen," komentar penjelajah Rusia, Otto von Kotzebue, yang berjumpa dengan Kamehameha pada 1816. Dan, untunglah, kini nama Kamehameha hidup kembali. Dialah satu-satunya raja yang dihormati, bersama George Washington dan Robert E. Lee, dalam koleksi Balai Patung Nasional di Gedung Capitol Amerika Serikat. Juga namanya diabadikan pada sebuah kapal selam nuklir AS. Untuk masyarakat Hawaii sekarang, Kamehameha sekaligus bapak pendiri dan antihero, yang kejayaannya menandai awal masa kehancuran gaya hidup Hawaii. Setiap bulan Juni, kenangan terhadap pemimpin itu diungkapkan dalam hari libur yang ditetapkan untuk negara bagian itu, seperti juga dalam parade dan dansa-dansi. Pada saat seperti itu rakyat berkumpul di pinggiran Honolulu, menanti dengan sabar pembukaan upacara peringatan raja mereka. Matahari memancarkan cahaya keemasannya, memoles patung Kamehameha dengan warna jingga. Lei (karangan bunga) plastik, yang mudah ditemukan di berbagai kios di bandar udara, kehilangan pamornya. Orang lebih mantap mengalungkan lei yang asli. Rangkaian bunga sepanjang delapan belas kaki pun dipersiapkan untuk dipersembahkan dan dikalungkan ke leher patung Kamehameha. Pekerjaan itu melibatkan regu pemadam kebakaran Hawaii - saking tingginya si arca. Agak malu-malu, seorang gadis kecil mendekati patung, membawa lei dari kembang merah pohon ohi'a lehua yang khas Pulau Hawaii, tempat Kamehameha dilahirkan. Dalam bahasa Hawaii yang empuk, ia berbisik, "Dari kami, anak-anakmu. Terimalah cinta dan upacara ini. Tolonglah kami, pimpinlah kami untuk tetap bersatu ...." Kemudian malam menurunkan tudungnya. Muncul para penari dari studio hula Frank Hewett, dengan rambut tergerai hitam, berpencaran, menyerbu taman di depan patung. Derai hujan di Hamakua, Menyiram laut Opaeula, Pada mulanya ia bangkit, Lalu terjun ke bumi. Dan dengan mudah menghunjam ke permukaan daratan. Di mana? Di sini! Di mana? Tepat di sini. Dan yang seorang ini tak hanya mendengarkan, la bertindak. Kamehameha! Kaki-kaki telanjang menari di rumput dingin, dan kemeja-kemeja tidak berkerah membuat bayangan-bayangan berputar tiada hentinya. Seorang bernyanyi, mengutip mele, dan memeriahkan ritme tarian dengan gendang yang dibuat dari labu kering. Tangan dan jari-jemari para penari itu menggambarkan hujan yang turun dari langit, bagai tangan para penari Bali dalam pertunjukan kecak yang memesonakan. Hujan dan bumi. Menyiram dan menadah. Tarian, gerak tangan, gumam dan rintih, dendang, semuanya merupakan isyarat purba yang mengungkapkan persetubuhan alam dan kejantanan Kamehameha. Sebagaimana semua kepala suku yang besar, ia diminta menurunkan mana - kekuatan rohaninya - kepada generasi penerus. Tema-tema hula purba inilah yang mengejutkan para misionaris New England, ketika dulu mereka tiba di Hawaii dengan itikad menasranikan penduduk. Mereka, kemudian, mendesak para kepala suku melarang tarian tradisional ini. Bahkan sampai sekitar satu dasawarsa lampau masih terdapat pribumi Hawaii yang malu mempertontonkan kesenian nenek moyang itu di depan umum. Kini, lebih dari seratus sekolah hula berdiri di seluruh Kepulauan Hawaii. Karcis untuk menonton kompetisi tahunan Merri Monarch bahkan lebih sulit didapatkan ketimbang pesanan tempat duduk di pertandingan tinju dunia. Karena pribumi Hawaii purba tidak memiliki bahasa tertulis, hula dan nyanyian itulah kesusastraan dan sejarah mereka - sekaligus bagian dari berbagai upacara keagamaan. "Ada hula untuk orang hidup, ada hula untuk kematian," tutur Robert Cazimero, seorang masterhula. "Ada hula untuk para raja, ada hula untuk kawula jelata. Ada hula suka cita, ada hula derita. Ya, hula adalah detak jantung anak negeri ini." Robert Cazimero sendiri merupakan bagian terpenting kebangkitan hula untuk penari pria pada tahun-tahun belakangan ini. Menurut salah sebuah teori, tarian itu mempunyai pertalian dengan lua, seni bela diri purba Hawaii. Karenanya, konon, para penari hula pertama adalah lelaki. Dan perhatian akan hula memang merupakan salah satu aspek paling menonjol dalam Reinesans Hawaii. Tetapi, di balik kegembiraan lagu dan tarian itu, tersembunyi problem ini: kemiskinan dan kepapaan kaum pribumi. "Seperti halnya kebanyakan minoritas di Amerika, mereka sangat terbelakang dalam pekerjaan dan pendidikan," tulis Louise E. Levathes. Tidak sedikit yang bermukim di tempat-tempat penampungan sosial, bahkan di penjara. Problem ini masih jauh dari terselesaikan, tapi ada beberapa hal yang sudah dicapai. Seperti bisa dibaca pada salah satu tajuk terakhir Honolulu Advertiser, kaum itu telah mendapat perhatian lembaga-lembaga, seperti Dinas Urusan Hawaii yang baru dibentuk. Atau Komisi Studi Hawaii, yang Juni tahun silam menyerahkan kepada Kongres AS laporan mengenai kebutuhan penduduk Hawaii. Ketika bayi tersembunyi yang berada di bawah asuhan kepala puak itu mencapai usia lima tahun, Alapainui - si penguasa tertinggi - melupakan kekhawatirannya. Ia bahkan akhirnya menerima bocah itu di dalam rumah tangganya. Menurut cerita dari mulut ke mulut, anak itu konon tak pernah ketawa. Karena itulah ia diberi nama Kamehameha, yang berarti "Yang Paling Kesepian". Di lingkungan keraton Hawaii ia diperkenalkan dengan kerumitan sistem kapu. Itulah mata rantai pelbagai tabu, yang mengikat masyarakat Hawaii dan merambat ke seluruh aspek kehidupan. Sebelum mantra dan upacara tertentu, misalnya, tak sebuah kano pun boleh dibuat. Tak sebidang ladang pun boleh dibajak. Hukuman mati berlaku untuk lelaki dan wanita yang makan bersama. Juga untuk seorang kawula yang menjatuhkan bayangan tubuhnya ke sosok seorang kepala suku. Kamehameha ditempatkan di bawah pengawasan panglima perang, dan dilatih dalam pelbagai olah raga: menyelam, gulat, melempar tombak, dan bersilancar. Menurut kepercayaan Hawaii, cabang-cabang olah raga ini akan membentuk kekuatan dan keberanian seorang calon prajurit. Maka tumbuhlah ia dengan kekuatan yang menakjubkan. Menurut sebuah dongeng, suatu ketika ia memindahkan batu Naha di Hilo: cadas raksasa yang, konon beratnya lebih dari dua ton. Rakyat terkesima. Menurut kepercayaan, siapa yang bisa menggeser batu Naha bakal memerintah Hawaii. Dalam menempuh pembentukan diri menjadi seorang lelaki, Kamehameha mendapat "latihan" dari istri pamannya yang cantik jelita. Sang paman, Kalaniopuu, kemudian menggantikan Alapainui sebagai penguasa. Dan permainan Kamehameha dengan bibinya membuahkan seorang bayi - putra sulung Kamehameha. Sepanjang catatan yang bisa dipercaya, kelak Kamehameha memiliki 21 istri. Sembilan di antaranya memberinya dua lusin anak. Kenangan akan kehidupan masa muda Kamehameha masih hidup di masyarakat Kohala, distrik pertanian berpenduduk jarang dengan kota-kotanya yang senantiasa tersiksa gangguan cuaca. Lebuh kota ini berhenti pada sebuah tepi lembah pegunungan berwarna hijau zamrud, tempat Kamehameha mereguk hari-harinya yang pertama. Jalanan keledai yang berliku-liku berpasangan dengan jalur pejalan kaki yang curam, yang menurut kepercayaan penduduk setempat dibangun para prajurit Hawaii pada masa silam. Di Awani masih terdapat sebuah loji tua yang digunakan para pemburu celeng. Juga sebuah penyulingan yang sudah berkarat, tempat para petani Jepang pada 1920-an membuat arak lokal dari akar tanaman ti. Di dekat situ, keluarga-keluarga muda yang suka petualangan sedang menegakkan gaya hidup nenek moyang. Mereka bertanam taro, hasil utama Polynesia. Pisang, guava, alpukat, pepaya, dan aneka pakis yang bisa dimakan tumbuh liar di firdaus terpencil ini. Angin bertiup kencang di seluruh lembah. Awan bergerak cepat di atas kepala. Malam hari, pohonan kukui melenggang-lenggok tak kenal henti. Menurut cerita penduduk, di jalanan purba lembah terpencil ini masih sering terlihat "para pejalan malam" - arwah nenek moyang - dalam bentuk prosesi cahaya dan bayangan, berarak perlahan, takzim, dan dingin. Menurut mereka pula, bayangan Kamehameha yang menjulang bagaikan menara kadang-kadang muncul di tengah mereka. Setiap akan membangun rumah baru di Kohala, orang selalu meminta nasihat seorang kahuna. Soalnya, jangan sampai rumah itu ternyata ditegakkan di tengah jalan yang biasa dilalui arwah nenek moyang. 'Kan berabe. Kukuh, berotot, dengan tinggi lebih dari enam kaki, Kamehameha sudah membuktikan dirinya sebagai prajurit perkasa ketika Kapten Cook mendarat pada bulan Januari 1779. Ketika itu penduduk menyangka penjelajah Inggris itu - mungkin orang kulit putih pertama yang mereka lihat - Lono, dewa perdamaian dan pertanian. Karena itu mereka menghadiahi Cook taro yang paling bagus, babi yang paling gemuk, serta buah-buahan dan sayur yang paling segar. Laporan-laporan perjalanan mencatat penampilan seorang kepala suku muda yang menarik, dan yang ternyata kesayangan raja. "Kami segera menemukan dia di antara para anak buahnya .... Maiha-Maiha (Kamehameha), dengan rambut tercat pasta dan bubuk cokelat. Wajahnya bengis ...." Kapten Cook kemudian terbunuh dalam sebuah kerusuhan yang bermula dari kehilangan sebuah perahu. Para pelaut Inggris mengaku melihat Kamehameha dalam peristiwa maut itu. Kemudian dilaporkan, Kamehameha melakukan tindakan yang menaikkan pamornya: mengambil rambut kepala Kapten Cook. Pada 1782 Kalaniopuu mangkat. Tahta diwariskan kepada anaknya, Kiwalao. Tetapi Kamehameha diberi kepercayaan menjaga patung dewa perang yang dianggap sangat berkuasa. Dan kedua orang itu segera terlibat perselisihan dan persaingan. Kamehameha menyingkirkan Kiwalo dalam sebuah upacara korban manusia yang penting di sebuah kuil baru. Masalahnya, Kiwalo menghina saudara angkatnya itu pada upacara penyimpanan tulang-belulang Kalaniopuu di sebuah tempat suci. Perselisihan terbuka segera berkobar dan melibatkan pengikut kedua pihak. Pada upacara korban itu, Kiwalo jatuh terkena batu ketapel. Lehernya kemudian dipotong dengan taring ikan hiu. Dalam sebuah perjalanan di pesisir Puna, Kamehameha terperosok pada sebuah celah karang. Sementara kakinya terperangkap, seorang nelayan - yang ternyata dari pihak musuh - menghantam kepalanya dengan pendayung. Tak mati, tentu saja. Malah peristiwa itu membawa hikmah: setahun kemudian keluarlah peraturan Kamehameha yang sangat keras, yang melindungi para pejalan kaki dari serangan tak terduga di tengah jalan. Peraturan itu, Kanawai Mamalahoe namanya, tercantum dalam konstitusi modern 1978, di bagian yang menjamin keselamatan perorangan. Konstitusi itu juga menghargai gaya hidup tradisional Hawaii, berjanji memelihara keindahan Hawaii, dan menyerahkan "dengan segala kepercayaan" sumber-sumber alam pulau itu kepada pribumi. Kelak, pribumi Hawaii di utara Kohala menggunakan ayat-ayat konstitusi itu untuk perburuan tradisional mereka dan eksploitasi wilayah penangkapan ikan yang memang sudah ditetapkan di zaman Kamehameha. Inilah para dewa kita - sesembahanku Apakah aku benar atau salah Aku tak tahu Tapi kuikuti keyakinanku, yang tak pernah memperdaya, sebagaimana ia memerintahkanku tak pernah berbuat salah. - Kamehameha Selama sembilan tahun, antara 1782 dan 1791, Kamehameha tidak memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang. Ia terlibat peperangan dengan sejumlah kepala suku yang memusuhinya. Banyak darah tertumpah. Dan ketika hubungan dengan pedagang asing mulai terbuka, tiap-tiap kepala suku membeli senapan dan meriam. Tapi Kamehameha melangkah jauh lebih maju. Ia memaksa dua pelaut Inggris Isaac Davis dan John Young, bertempur di pihaknya. Kedua orang itu memegang peranan. penting dalam kemenangan Kamehameha di banyak pertempuran. Di masa ini pula Kamehameha menikahi dua istri. Yang pertama Kaahumanu, perempuan dengan tinggi 183 cm dan berat hampir 150 kg. Kaahumanu kemudian menjadi penasihat utamanya dan istri yang paling dikasihi. Yang kedua Keopuolani, gadis 11 tahun, dan lebih berperanan dalam percaturan "politik". Cewek ingusan ini berasal dari keluarga cabang atas. Karena itu pula anaknyalah yang berhak atas tahta, yaitu Kamehameha ll dan Kamehameha lll. Pada 1790, putus asa oleh jalan buntu menghadapi para kepala suku yang memusuhinya, Kamehameha meminta bantuan juru ramal terkemuka dari Pulau Kauai. Menurut peramal itu, untuk menjadi penguasa tunggal Hawaii, sang raja harus mempersembahkan kepada dewa perangnya sebuah kuil baru di dekat Kawaihae, di suatu tempat yang bernama Bukit Ikan Paus. Pembangunan kuil itu pun dimulai tepat sebelum Kamehameha secara sukses menangkis serangan saudara sepupunya, Keoua. Dalam perjalanan mundur ke kampung halamannya di Kau, Keoua kehilangan sepertiga prajuritnya. Bukan oleh pertempuran, melainkan oleh bencana gunung berapi Kilauea, tepat di lereng Mauna Loa. Mendadak terkepung oleh awan asap, abu, dan gas yang menyesakkan, ratusan pengikut Keoua hilang tak tentu rimba. Hujan kemudian mengubah abu menjadi lempung, sehingga jejak para prajurit itu tercetak sepanjang jalan. Sampai sekarang jejak itu masih bisa disaksikan di Taman Nasional Gunung Berapi Hawaii. Tapi Keoua sendiri selamat. Pada 1791 kuil baru itu dilengkapi. Berbaris-baris bangunan kayu dan teratak ilalang untuk para imam dan pemimpin suku didirikan di latar cadas lahar. Dua di antara penasihat Kamehameha berangkat mengunjungi Keoua, meminta tokoh itu datang ke tempat itu, karena Kamehameha menginginkan perdamaian. Meski dilarang para penasihatnya, Keoua berkeras berangkat. Sepanjang jalan ia berhenti di sana-sini untuk memilih moepuu - "teman sekematian". Mereka pergi dengan sebuah kano. Keoua sebenarnya sadar betul sedang menyongsong maut. Tiba di tempat itu, ia segera menyeru Kamehameha, "Aku datang!" Yang diseru menyahut, "Berdirilah, dan maju kemari, supaya kita bisa bersalaman." Begitu Keoua bangkit, salah seorang pemimpin bawahan Kamehameha melemparkan sebilah tombak Keoua mengelak. Luput. Tapi serangan berikutnya tak terelakkan: senapan ditembakkan dari pantai dan Keoua pun tamat. Menurut beberapa versi, Kamehameha sebetulnya ingin mengakhiri permusuhan dengan saudara sepupunya. Tapi niat ini dihalangi para pemimpin bawahannya yang ambisius. Sesuai dengan kebiasaan, jenazah Keoua dipanggang di perapian bawah tanah, sampai dagingnya terlepas meninggalkan tuIang. Tulang-belulang itu, menurut keper cayaan Hawaii, mengandung mana sang pemimpin. Tulang itu dipersembahkan kepada dewa perang Kamehameha, dalam suatu upacara doa pada suatu malam yang khidmat. Pada malam seperti itu tak satu makhluk pun diizinkan bersuara. Siapa saja, tidak terkecuali bayi yang baru lahir, atau seekor anjing, bisa dibunuh bila berani membuka mulut. "Tulang seorang pemimpin selalu dicari untuk dibuat mata kail, karena mana mereka mampu memanggil ikan," kata Ed Ladd, arkeolog pada Dinas Taman Nasional. "Tap karena penghormatan kepada Keoua tulang-belulangnya dikuburkan secara rahasia dan dikembalikan ke Kau." Kini tempat kuil itu dijadikan situs sejara nasional Hawaii. Yang tersisa hanya batu hitam berbentuk lingkaran yang dulu merupakan alas bangunan. Satu-satunya suara yang kini terdengar hanya angin yang berdesir di rumput kering. Gunung, laut, dan langit di sini seperti berangkulan, membentuk kaleidoskop raksasa. "Pada malam aku mengunjungi situs itu sedang terjadi gerhana bulan total," tulis Louise E. Levathes. Tak lama setelah bulan purnama mencapai puncaknya di atas Mau na Kea, warnanya berubah menjadi merah tomat. Warna itu semakin tua, sementara bulan bergerak makin dalam menuju bayangan bumi. "llmu pengetahuan memang dengan mudah menerangkan peristiwa alam ini," kata Louise. "Toh aku tetap diharu perasaan yang sulit ditafsirkan, duduk di hawah cahaya bulan yang berwarna darah." Bekas-bekas kepercayaan kepada dewa-dewa purha bukanlah sesuatu yang kini mudah diakui pribumi Hawaii. Maklum, mereka sudah Nasrani, dan "modern". Namun, sebelum mengayunkan langkah menuju festival hula yang penting, para penari selalu mempersembahkan bunga dan minuman keras ke gunung berapi Kilauea, demi menghormati dewi gunung itu. Nama dewi itu: Pele. Mereka juga mempersembahkan buah-buahan segar yang dirangkai dengan dedaunan ti kepada Laka, dewi seksi tarian. Banyak pribumi Hawai tahu siapa aumakua - dewa keluarga - mereka. Mereka juga bisa bercerita betapa perwujudan dewa ini, dalam bentuk kadal, burung hantu, ikan hiu, atau makhluk lain, mengambil peranan dalam kehidupan nyata. Dan para bromocorah masih bisa berlindung, seperti yang dilakukan rekan seprofesinya di masa lampau, di tempat yang bernama Pu'uhonua o Honaunau - Bumi Perlindungan. "Agama asli kami bergerak di bawah tanah - dan tidak pernah mati," ujar Edward lopa Kealanahele, seorang pendeta kongregasional. Ia juga seorang kahuna, dukun, dan mempunyai pertalian darah dengan kahuna yang menyembah di kuil Kamehameha yang tadi. Sang pendeta, lelaki yang berbicara setengah berbisik, pada usia 50-an itu mengunjungi Puukohola paling tidak sekali sebulan. Menurut ceritanya, ia memasuki heiau itu setelah tengah malam, dan duduk berjam-jam di batu dingin pondasi. Dengan mengetuk-ngetukkan batu, ia percaya sedang melakukan upacara bersama arwah para nenek moyangnya. Dengan terwujudnya kuil dewa perang itu, dan terbunuhnya Keoua, pada usia 30-an Kamehameha menjadi penguasa tunggal Pulau Hawaii. Empat tahun kemudian, 1795, ia memberangkatkan sekitar 1.200 kano dan lebih dari 10.000 prajurit untuk menaklukkan Maui, Molokai, Lanai, dan Oahu. Keistimewaan tentara Kamehameha dalam menggunakan senjata Eropa terlihat pada kekalahan para prajurit Oahu yang terkenal ampuh itu. Kamehameha menjebak pasukan mereka di Lembah Nuuanu. Dikepung dari segala jurusan, banyak prajurit Oahu dipaksa melompat dari atas ketinggian 400 meter, langsung menuju akhirat. Setelah rangkaian peperangan itu, Kamehameha menolehkan perhatiannya ke Kauai dan Niihau, sekitar 70 mil dari tahta nya. Cuma kedua pulau itu saja lagi yang belum dikuasainya. Di tengah jalan antara Oahu dan Kauai, pasukan kano Kamehameha diserang badai ino. Banyak kano tenggelam dan armada yang compang-camping itu tidak jadi meneruskan perjalanan. Strategi Kamehameha berikutnya ialah membangun sebuah angkatan laut kano yang sangat besar, stabil, dilengkapi layar model Barat demi menambah kecepatan, dan induknya dapat ditumpangi 50 sampai 100 prajurit. Sekitar 800 kano semacam ini dibangun di Hawaii, tapi hasilnya ternyata tidak sesuai dengan harapan. Dalam sebuah persinggahan di Oahu, menuju Kauai, 1804, penyakit menular mungkin kolera - membunuh banyak prajurit Kamehameha. Kamehameha sendiri jatuh sakit, tapi dapat disembuhkan. Dalam masa 26 tahun setelah kontak pertama dengan orang kulit putih, penduduk pribumi Hawaii melorot dari 300.000 menjadi 195.000. Terutama karena penyakit "impor" seperti pneumonia, cacar, campak, sifilis, dan kencing nanah. Dengan cara diplomatik, Kauai dan Niihau akhirnya bergabung ke dalam kerajaan Kamehameha pada 1810. Berkat desakan para saudagar Amerika dan Eropa, yang khawatir peperangan akan mengganggu perdagangan sandalwood mereka, penguasa Kauai bersedia mengakui kedaulatan Kamehameha, bahkan berjanji membayar upeti. Sebaliknya Kamehameha mengizinkan bekas lawannya memerintah Kauai sampai akhir hayat. Penaklukan seluruh kepulauan lengkap sudah. Kamehameha memerlukan 28 tahun untuk mencapai puncak. Menurut penduduk Kauaii, Kamehameha pernah mendarat di sebuah pulau dekat Koloa di pantai selatan, dan dikalahkan. Menurut cerita itu, para prajurit Kauai yang terampil menyerang pasukan Kamehameha pada malam hari dan memuati kano dengan batu, sehingga mudah tenggelam dalam perjalanan mundur. Ini sekadar tambahan. Adalah suatu ironi bahwa Pulau Kauai tempat Kapten Cook menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kepulauan Hawaii, merupakan satu dari sedikit tempat yang penduduknya memakai bahasa Pulau Hawaii sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahkan juga penduduk yang datang dari Niihau. Kauai juga habitat terakhir burung 'o'o yang sudah punah, yang bulu-bulunya kuning dan digunakan para kepala suku Hawaii menghiasi jubah kebesaran mereka. Termasyhur di medan perang, Kamehameha juga dikenang sebagai tokoh di tengah perdamaian. Ia menciptakan hukum melawan pembunuhan, pencurian, dan perampokan. Ia mendorong rakyatnya meningkatkan produksi bahan makanan. Ia membentuk beberapa daerah pertanian, dan ia sendiri bekerja di ladang. Secara bijaksana ia membagi-bagi wilayah kekuasaan dan mendudukkan orang-orangnya sebagai pembesar. Dengan cara ini, ia mencegah pemberontakan dan melestarikan tahta. Suatu ketika, dulu, seorang pelaut Inggris bercerita bahwa ia belum pernah melihat Raja George lll. Kamehameha terperanjat. "Tidakkah George menjenguk rakyat untuk mengetahui keinginan mereka, seperti yang saya lakukan?" ia bertanya. "Tidak," jawab si pelaut. "Baginda mempunyai orang-orang yang melakukan pekerjaan itu untuk dia." Kamehameha menggelengkan kepala. Di sini, "tak ada orang lain yang lebih mampu melakukan pekerjaan seperti itu kecuali saya." Pada 1812, Kamehameha mudik ke pulau kelahirannya, Hawaii, dan menghabiskan hari-harinya di Kailua, di pantai Kona - kini kota pinggiran yang hiruk-pikuk dan pusat olah raga memancing di perairan dalam. Kamehameha sendiri seorang pemancing. Tapi dari segala kebolehannya, tekniknya berhubungan dengan orang asinglah yang sampai sekarang dibanggakan generasi muda Hawaii. Ia menerima senjata dari Amerika dan Inggris. Ia memasukkan barang-barang "mewah" Barat. Buah hubungannya dengan pihak luar negeri tecermin dalam bendera kebangsaan Hawaii - kombinasi antara Union Jack Inggris dan Stars and Stripes AS. Tapi Kamehameha tidak memberikan hak dan perlakuan istimewa kepada para tamu asingnya. Kendati persahabatannya dengan Kapten George Vancouver dan Inggris terkenal akrab, Kamehameha tidak pernah menandatangani perjanjian yang mengikat dirinya. Tidak ada orang asing, di masa pemerintahannya, yang diizinkan memiliki tanah di Hawaii. Bila tidak oleh akal Kamehameha, Pulau Kauai mungkin sudah menjadi milik Rusia. Kamehameha mengusir George Schaffer, dokter Jerman yang ambisius, yang bekerja pada Russian-American Company. Tsar Rusia sebetulnya hanya ingin membuka hubungan dagang biasa dengan penduduk Hawaii. Tapi Dr. Schaffer membangun sebuah benteng di Kauai, bahkan mengibarkan bendera Rusia di sekitar Oahu. Karena itu ia disuruh minggat. Salah satu problem orang asing yang paling menusingkan Kamehameha di akhir masa jabatannya ialah peternakan. Kapten Vancouver, yang diperintahkan Raja George lll memeriksa kawasan pantai barat laut Amerika dan Hawaii, membawa sapi dan domba yang pertama ke kepulauan itu sebagai hadiah untuk Kamehameha, 1793 dan 1794. Pada pendaratan hewan-hewan itu, seorang anggota ekspedisi mencatat: "Sapi itu sangat menyenangkan hati Kamehameha, kendati sangat liar dan hampir saja menggigit tuannya yang baru. Kamehameha menyebut sapi itu "babi besar", dan sulit meyakinkan kepala suku ini betapa binatang itu bisa membahayakan. Untunglah, suatu saat sapi itu mengambil sikap mengancam, dengan kepala berputar ke kanan dan kiri. Yang Mulia Kamehameha rupanya gentar juga. Mula-mula ia hanya sekadar mundur. Tapi kemudian berlari menjauh". Vancouver, magang pada ekspedisi awal Kapten Cook, menemukan bahwa Kamehameha pada masa tuanya tidak lagi segalak dan sekeras seperti pada tahun-tahun awal memerintah. Kedua orang itu kemudian menjalin ikatan yang hangat. Vancouver malah pernah mengatur "rekonsiliasi" antara Kamehameha dan istri kecintaannya, Kaahumanu, setelah suami istri itu terancam perpisahan oleh suatu pertengkaran. Atas saran Vancouver pula, Kamehameha menetapkan sanksi kapu untuk pembunuhan ternak, sehingga jumlah hewan peliharaan terus bertambah. Kuda, yang dimasukkan ke Hawaii oleh pedagang Amerika, Richard Cleveland pada 1803, juga dibiarkan liar. Pada sekitar 1815, ribuan sapi liar lalu lalang di perbukitan utara Hawaii, menggasak tanaman dan meneror kaum tani. Kamehameha tidak kekurangan akal. Ia memberi izin kepada seorang pelaut muda asal Massachusetts, John Palmer Parker, untuk melakukan perburuan sapi liar dan mensuplai dendeng asin untuk kapal asing dan penduduk setempat. Parker menikah dengan seorang putri keluarga terkemuka Hawaii, dan mendirikan apa yang kini dikenal sebagai peternakan sapi swasta terbesar di seluruh Amerika Serikat. Namun, kesulitan pribumi Hawaii menghadapi haole (orang asing) tidak berakhir dengan pengusiran dokter Jerman yang ambisius tadi. Ataupun dengan pengembangan ternak sapi. Sejak abad ke-19, pekerja emigran mulai menyerbu Hawaii dalam gelombang-gelombang tak terbendung. Kini 26% penduduk Hawaii berasal dari Kaukasia, 23% Jepang, 11% Filipina, 5% Cina. Tambahan pula, dengan 42% kepulauan berada di bawah pemerintahan pusat dan federal, dan sebagian besar tanah swasta dikuasai tidak sampai dari 50 perorangan atau perusahaan, banyak orang muda Hawaii kecewa. Mereka tak lagi merasa ikut menentukan nasib kampung halaman. "Kami tidak pernah digabungkan dalam pengertian yang layak," ujar Hayden Burges, pengacara yang tidak pernah sudi menghormati bendera Amerika Serikat, dan ketua Komite untuk Kedaulatan Hawaii. "Kami diduduki!" katanya. Penduduk Hawaii kehilangan tanah dan kedaulatannya di bawah para penerus Kamehameha sendiri. Terbujuk menolong para pemilik perkebunan besar, Kamehameha lll menyerahkan semua tanah - kecuali perkebunan-perkebunan besar tertentu yang kemudian dijadikan dan dikenal sebagai tanah-tanah kemahkotaan. Masalahnya, konsep pemilikan tanah tidak dikenal dalam sebagian besar kehidupan Hawaii. Bumi, seperti halnya langit, adalah milik dewata. Maka, antara 1845 dan 1850, Kamehameha lll memberikan kemudahan luar biasa kepada para pendatang untuk memiliki tanah. Kekuasaan pun segera terlepas perlahan-lahan dari monarki Hawaii. Pada 14 Januari 1893, Ratu Liliuokalani mencoba membenahi keadaan ini melalui sebuah konstitusi baru. Tapi justru sekawanan pengusaha Amerika menggunakan kesempatan itu untuk merintis usaha bergabung dengan AS. Mereka didukung diplomat AS, John Stevens, yang segera mengundang campur tangan marinir dan pelaut AS atas nama "melindungi warga negara Amerika Serikat dan harta bendanya". Dan pada 17 Januari, sang ratu menyerah. Dibentuklah pemerintahan darurat, yang dikepalai Hakim Sanford Dole, putra seorang misionaris. Tetapi Presiden Grover Cleveland mencium persekongkolan di balik usaha ini - dan segera menarik persetujuan aneksasi yang akan diajukan Kongres AS. Toh lima tahun kemudian Kongres meluluskan sebuah resolusi aneksasi. Apa yang tadinya dinamakan "tanah-tanah kemahkotaan", dan dipergunakan oleh pemerintahan sementara, kini diserahkan kepada Amerika Serikat. Tanah-tanah itu kemudian diserahkan kembali kepada Negara Bagian Hawaii, ketika kepulauan ini secara resmi menggabungkan diri dengan Amerika Serikat, 1959. "Tanah yang diserahkan" inilah yang selalu diklaim para aktivis Hawaii untuk diserahkan kembali kepada "rakyat Hawaii". Tapi isu hukum mengenai masalah ini sangat kompleks. Tak satu pun perjanjian, yang menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat mengakui hak pribumi Hawaii atas tanah-tanah itu, pernah ditandatangani. "Sama saja dengan masalah yang dihadapi para Indian Amerika dan pribumi Alaska," tulis Louise E. Levathes. Tambahan lagi ada problem baru yaitu, setelah perkawinan antarsuku dan antarbangsa yang berlangsung selama belasan generasi, siapa lagi sesungguhnya yang dinamakan "orang Hawaii"? Juga, bertanggungjawabkah pemerintah AS atas penggusuran Ratu Liliuokalani dari tahta, 1893? Toh kemenangan kecil-kecilan ada juga. Sebuah kelompok yang menamakan dirinya "Lindungi Kahoolawe Ohana", misalnya, yang mendapat dukungan luas di seluruh negara bagian itu, berhasil menempatkan Kahoolawe, sebuah pulau tak berpenghuni dan yang terkecil di lingkungan Kepulauan Hawaii ke dalam Register Nasional Tempat-tempat Bersejarah. Dengan demikian pulau ini tidak jadi digunakan angkatan laut AS untuk tempat latihan dan sasaran roket percobaan. Juga, desakan masyarakat membawa sejumlah perubahan di dalam kebijaksanaan Komisi Perumahan Hawaii. Biarkan ia pergi dan bermain . . . Biarkan ia diterima di tempat ia dibaringkan untuk beristirahat, Biarkan ia pergi dalam damai, Biarkan ia pergi dalam sunyi Doa penguburan Kamehameha. Pada musim semi 1819, Kamehameha sakit berat. Ketika disadari bahwa penyakit itu tidak mungkin lagi disembuhkan dengan pengetahuan kedokteran, kahuna tertinggi menyarankan pengorbanan jiwa manusia untuk menyelamatkan sang raja. Kamehameha menolak. Dan waktu ia bertambah lemah, orang-orang yang berkumpul meminta Kamehameha mengucapkan sesuatu. "Untuk apa?" katanya. "Untuk kami jadikan pegangan," jawab mereka. Maka, ia pun berkata, "Abadilah kebaikan yang kuberikan kepada kalian, untuk kalian nikmati." Subuh 8 Mei 1819, Kamehameha menghembuskan napasnya yang terakhir. Seekor babi segera dimasak, dipersembahkan kepada para dewa, agar arwah sang raja diterima di amakua. Daging tubuh Kamehameha kemudian dilepaskan dari tulangnya, dan diturunkan ke laut untuk istirahat abadi. Semacam keranjang dianyamkan di sekitar tulang belulang itu, lalu semuanya dibawa ke Kaloko, di utara Kona. Setelah itu tak seorang pun tahu pasti di mana tulang belulang Sang Raja disimpan. "Mungkin benar kata legenda, hanya bintang-bintang di langit yang tahu," tulis Louise. Enam bulan setelah kematian Kamehameha, Liholiho (Kamehameha ll) dan Kaahumanu yang menjadi kuhina nui (wakil raja) mencabut kapu yang melarang pria dan wanita makan bersama. Kedua penguasa itu kemudian juga menghapuskan banyak tabu keagamaan dan kemasyarakatan. Tindakan ini amat mendadak dan membingungkan. Pribumi Hawaii tiba-tiba direnggutkan dari kepercayaan purba. Karena itu, tak mengherankan ketika para misionaris Kristen dari New England mendarat dan membawa "dewa baru", 1820, pribumi Hawaii tidak mengalami banyak kesulitan menerima kepercayaan baru itu. Di tengah kekuatan politik yang bertarung di sekitar mereka, dan yang tak dapat mereka kuasai, para pengganti Kamehameha berusaha memberikan sesuatu kepada rakyatnya. Putri Bernice Pauahi Bishop, turunan langsung terakhir Kamehameha Agung, mendirikan Sekolah Kamehameha yang ditunjang dana dari pemilikan tanahnya yang sangat luas, yang mungkin kini bernilai US$ 1,5 milyar. Untuk mengenang putri ini, suaminya mendirikan Museum Bishop, yang kini merupakan pusat penting untuk studi kebudayaan Hawaii dan Pasifik. Kini para anggota monarki itu telah beralih kepada kepercayaan Kristen - toh tetap berusaha menghidupkan kebudayaan asli. Hula kuno yang bertahan sampai sekarang, misalnya, merupakan peninggalan Raja Kalakaua yang terkenal senang menyelenggarakan festival hula dan menyanyi di keratonnya. "Dulu juga sebetulnya sudah ada kebangkitan kebudayaan, tapi baru sekarang kami terlibat dalam penghargaan yang sesungguhnya," ujar Abigail Kawananakoa, cucu-keponakan Ratu Kapiolani, permaisuri Raja Kalakaua. "Kami tidak lagi sekadar pemain ukulele gembira atau gadis manis dengan bunga terselit di telinga. Kami adalah manusia," katanya. Banyak yang sependapat, Kawananakoa dan para saudara sepupunya merupakan pewaris sah tahta Hawaii kalau saja monarki itu tetap tegak. Wanita langsing dan manis pada usia 50-an ini, menurut pengakuannya sendiri memainkan "peranan Putri Margaret" di Hawaii, dan memimpin restorasi Istana lolani Honolulu yang memakan biaya US$ 10 juta. Inilah satu-satunya istana kerajaan di bumi yang dikuasai Amerika. Reinesans Hawaii, seperti didengungkan belakangan ini, sebetulnya juga sudah dimulai beberapa tahun lalu. Sejumlah keluarga Hawai meninggalkan kehidupan kota yang mapan, untuk pindah ke pedalaman dan hidup di berbagai lembah dan pegunungan terpencil. Orang tua-tua diundang ke sekolah-sekolah untuk mengajarkan bahasa dan kebudayaan Hawaii. Lambat-laun pribumi Hawaii membangun basis politik, dan menyiapkan berbagai peristiwa di masa depan. "Isu Hawaii kini memainkan peranan penting dalam tiap pemilihan umum," ujar Kina'u Boyd Kamali'i, ketua Komisi Studi Pribumi Hawaii. "Masalah ini akan terus bertambah penting karena sepertiga dari jumlah penduduk kami berada di bawah usia 18." Tetapi kunci daya tahan anak cucu Kamehameha mungkin tidak berada di latar politik, menurut Louise E. Levathes, penulis karangan ini. Mungkin juga bukan pada basis ekonomi. Tetapi sesuatu yang lain. Dr. William H. Wilson dan istrinya, Kauanoe Kamana, dari Program Studi Hawaii. Universitas Hawaii di Hilo, sama-sama menganggap anak mereka orang Hawaii. Untuk mereka, bukan masalah darah yang terutama menentukan seorang Hawaii atau bukan. Melainkan seberapa banyak ia mengetahui bahasa sejarah, dan nilai-nilai yang diwariskan generasi sebelumnya. Ketika putra mereka, Hulilaukea Kepo'i'ula Kamana Wilson, lahir pada 1981, pasangan itu hanya berbahasa Hawaii kepada si bocah. Kata pertama yang diketahui anak itu ialah i'a, yang berarti "ikan". Bagi mereka mungkin berlaku peribahasa kuno Hawai, "I ka olelo no ke ola I ka oelo no ka make". Bahasa Melayunya, gampangnya saja, "bahasa menunjukkan bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus