Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Usia Ke-28

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Ruang Flores Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis 4 Maret lalu, sebuah tradisi lama TEMPO bergulir kembali. Hari itu, Ben Anderson, ahli Indonesia dari Amerika Serikat, memaparkan pengamatannya tentang situasi politik mutakhir Indonesia. Sejumlah tokoh—ada Pramudya Ananta Toer, ada Emil Salim, ada Deliar Noer, ada Yulia Suryakusuma, ada Taufik Abdullah, ada Jakob Oetama—datang di antara 300 hadirin. Hari itu adalah awal kami merayakan usia TEMPO yang ke-28, sebuah ulang tahun tanpa pesta. Kenapa Ben Anderson? Ia nama terkenal, bukan saja sebagai pakar tentang Indonesia, tapi juga dalam perdebatan internasional, sebagai penelaah tentang nasionalisme. Dan persoalan nasionalisme ini, kini dan esok, dihadapi Indonesia ketika suara untuk melepaskan diri dari negara kesatuan terdengar di Irianjaya dan Aceh. Bagi Indonesia pasca-Soeharto, kedatangan Ben Anderson juga simbolik, seperti halnya terbitnya TEMPO kembali. Ben Anderson selama lebih dari 25 tahun tidak boleh masuk ke Indonesia karena pendapatnya tentang Orde Baru. Ben Anderson akan memberikan ceramah yang sama di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin pekan ini. Di Yogyakarta itu pula, usia TEMPO yang ke-28 dirayakan dengan pameran gambar sampul TEMPO (tentu setelah diperbesar) dari masa ke masa. Usia ini ibarat usia imbuhan. Kami terbit kembali dengan gaya hampir perang kilat. Hanya dengan berbekal impian dan sarana yang ada. Kantor TEMPO di Jalan Proklamasi 72, Jakarta, misalnya, adalah bekas tiga buah rumah toko (ruko), dengan halaman parkir yang sempit. Kantor ini tadinya hanyalah dimaksudkan untuk menampung koleksi perpustakaan TEMPO (resminya disebut Pusat Data dan Analisa TEMPO), setelah kami meninggalkan kantor yang besar di kawasan Kuningan, Jakarta. Kini, dalam suasana ekonomi yang sulit, kami cukup bersyukur dengan kantor ini: tanpa glamor, tapi justru itu yang pas. Juga bagi TEMPO tidak mengagetkan, seakan menjejaki kembali sejarahnya. Ketika TEMPO pertama kali terbit, 6 Maret 1971, kami menempati satu blok gedung yang lantai atasnya bergoyang, di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Tak ada lagi bekas gedung itu sekarang ini karena sudah menjadi pusat bisnis yang dikenal dengan Atrium Senen. Dulu, 28 tahun yang lalu, dari lantai atas, kami berteriak memesan makanan ke seberang jalan. Kini, dari lantai atas juga, kami berteriak yang hampir sama. Pendiri TEMPO adalah wartawan-wartawan muda yang berusia 20-an tahun. Di antaranya Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bur Rasuanto, Christianto Wibisono, Yusril Djalinus, dan Putu Wijaya. Jumlah redaksinya—dari pemimpin redaksi sampai reporter—tak lebih dari 30 orang. Keseluruhan karyawan TEMPO pada awal-awal berdirinya hanya 50 orang. Sekarang, Goenawan, Fikri, dan Yusril masih ada, dan tentunya sudah berusia 50-an tahun, kurang atau lebih sedikit. Tapi wartawan baru tetap saja masih 20-an tahun. Jumlah semua wartawan sekitar 50 orang dan tenaga yang mengelola TEMPO sekitar 150 orang. Cukup besar. Tapi ada tradisi TEMPO yang tak pernah hilang: sebuah tim yang diseleksi dalam kemampuannya bekerja sama, karyawan yang datang dari beraneka ragam suku ataupun agama. Semua agama yang ada di Indonesia terwakili di sini, termasuk Hindu dan Buddha. Ada orang Aceh, Minang, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Flores, Manado, Sasak, Cina, Arab. Keberagaman itu bukan direkayasa. Dalam merekrut karyawan ataupun wartawan, kami tak pernah mempertimbangkan—bahkan menanyakan—agama atau suku. Kami memilih karena kemampuannya. Terbukti kami memang tak salah pilih. Antara karyawan lama (sebelum bredel) dan karyawan yang baru masuk setelah "terbit kembali", ternyata terjadi proses "integrasi" yang berjalan baik. Alhamdulillah. TEMPO awalnya diterbitkan oleh Yayasan Jaya Raya. Tiga tahun setelah itu, penerbitnya beralih ke PT Grafiti Pers. Pemegang sahamnya pendiri TEMPO dan Yayasan Jaya Raya. Yayasan ini adalah usaha nirlaba. Penghasilan dari TEMPO digunakan untuk memajukan olahraga dan kebudayaan. Beberapa tahun kemudian, dibentuk pula Yayasan Karyawan TEMPO, untuk menampung karyawan yang bukan pendiri. Mereka juga memiliki saham. Dengan begitu, saham TEMPO dimiliki oleh setiap karyawan. Bahkan, pada TEMPO setelah era reformasi ini, porsi saham untuk karyawan menjadi berlebih dengan mulai surutnya peran Yayasan Jaya Raya. Kini, penerbit TEMPO—PT Arsa Raya Perdana—memberikan 50 persen sahamnya kepada karyawan, yang dikelola oleh Yayasan Alumni TEMPO dan Yayasan Karyawan TEMPO. Dengan demikian, karyawan TEMPO diharapkan tetap menjaga ide dasar majalah ini—sebuah jurnalisme yang meningkatkan mutu informasi dan pertukaran pikiran yang cerdas di masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus