Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI laiknya seorang intel, Yoga Soegomo adalah sosok yang tergolong misterius. Tak banyak orang yangtahu benar bagaimana kehidupan pribadinya, baik dulu maupun sekarang, walaupun sudah ada dua buku yang ditulis orang mengenai dirinya, Memori Jenderal Yoga dan Operasi Woyla.
Maklum, ia bekas Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)—pada dua kali periode, 1968-1969 dan 1974-1989—jabatan yang memang mengharuskannya tutup mulut. Apalagi, ''Saya tidak senang publikasi dan dulu takut sama wartawan," kata Yoga.
Setelah pensiun pun, lulusan Sekolah Dinas Rahasia Kerajaan Inggris MI-6 itu, yang menggenggam diploma berkualifikasi very good, jarang bersosialisasi, misalnya dengan para purnawirawan lain, dan tak masuk ke organisasi veteran semacam Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri). ''Untuk apa? Kalau (ikut) Pepabri itu, untung apa?" katanya.
Untuk seorang pensiunan, rumahnya yang terletak di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, juga terasa terlalu ketat dijaga. Penjaga pintu depannya saja sampai merasa perlu mencatat nama dan nomor telepon rombongan TEMPO yang bertandang.
Kenyataannya, jenderal purnawirawan ini enak diajak bicara. Orangnya hangat, terbuka, dan ceplas-ceplos. Penampilannya tak mengesankan seorang mantan kepala badan intelijen nasional. Badannya gemuk, kepalanya plontos.
Yoga terlibat dalam banyak urusan penting di Tanah Air, di antaranya operasi membongkar jaringan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada pertengahan 1960-an, penuntasan kasus Malapetaka 15 Januari 1974, persiapan integrasi Timor Timur, serta penyelamatan sandera korban pembajakan Woyla, pesawat Garuda, di Don Muang, Thailand, pada 1981.
Bapak dari sepuluh anak ini lahir di lingkungan keluarga santri di Kampung Kauman, Tegal, Jawa Tengah, Selasa Wage, 12 Mei 1925. Setelah pensiun, Yoga kini menikmati hari tuanya dengan nyaman. Tubuhnya tampak sehat meski ia pernah menjalani dua kali operasi: jantung dan ginjal. Sebagai presiden komisaris di PT SMART Corporation dan PT Surya Mas Duta Makmur (dua perusahaan yang dekat dengan Sinar Mas Group milik taipan Eka Tjipta Widjaja), kehidupan Yoga tergolong mapan.
Luas rumahnya sekitar 1.600 meter persegi dan jauh dari kesan sederhana. Di dalam garasinya terpajang beberapa mobil mewah, di antaranya satu jip Mercedes-Benz dan Range Rover.
Kini ia melewatkan hari-harinya bersama istri keduanya, Rianny, 55 tahun, yang dinikahinya pada 1975, serta cucu-cucunya yang suka bertandang bergantian. Yoga tergolong taat beribadah. Ia rajin melakukan salat malam. Wirid dan zikir tak pernah dilewatkannya.
Ia juga akrab dengan Abah Anom, tokoh keagamaan serta pengelola tempat rehabilitasi anak-anak korban narkotik dan Pesantren Suralaya, Jawa Barat. Ada cerita, keakraban mereka terjalin karena dua orang anak hasil perkawinannya dengan istri pertamanya kecanduan narkotik. Yoga lalu mengirimkan mereka ke sana. Setelah kedua anak itu berhasil sembuh, salah satunya malah menikah dengan putri Abah Anom.
Berikut ini sebagian percakapan Yoga dengan Arief A. Kuswardono, Arief Zulkifli, dan Wicaksono dari TEMPO, yang menemuinya dua pekan silam.
Bekas Kepala Bakin, Sutopo Yuwono, baru saja meninggal. Anda punya kesan terhadap dia?
Ya, kita punya profil yang sama: tidak senang publikasi, tidak banyak omong. Kita dulu takut sama wartawan karena jiwa intel kami sudah mendarah daging. Dedikasi kita satu: cinta sama pekerjaan, tidak boleh ambisius. Kita ambisius, tapi untuk how to serve bangsa dan negara. Karena itu, saya katakan, walaupun hampir 20 tahun lebih bersama Soeharto, saya tidak pernah terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.
Maksudnya?
Hubungan saya is pure businesslike. Saya tidak pernah minta apa-apa sama Pak Harto. Sebaliknya, saya juga tidak pernah memberikan apa-apa kepada Pak Harto.
Maksudnya memberikan apa?
Materi atau apa. Ora ngatok misalnya kasih duit, kasih cincin. Saya enggak pernah.
Tapi bukankah laporan intelijen diberikan ke Soeharto?
Iya. Sebagai Kepala Bakin, saya bertanggung jawab hanya kepada presiden. Kalau saya melapor, hanya kepada Pak Harto, malam, di rumah. Saya bisa ngomong seenaknya, the truth. Misalnya dulu saya pernah laporan begini, ''Pak, ini ada tanda-tanda Liem Sioe Liong itu menyelundupkan barang ke Hong Kong." Walau muka Soeharto merengut, mecucu (cemberut), ya saya teruskan.
Pernah melapor seperti itu?
Kalau ada apa-apa, saya memang ngomong terus terang. Apalagi ketika saya pulang dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).…
Anda pernah menjadi duta di PBB. Bagaimana ceritanya?
Saya dulu dibuang ke PBB karena ada fitnah macam-macam. Saya disalahkan karena menghilangkan sebuah dokumen. Itu sebetulnya bukan dokumen penting, melainkan dokumen yang baru saya konsep. Tapi yang bikin saya sakit hati adalah diisukan seakan-akan saya kehilangan dokumen gara-gara main perempuan. Padahal dokumen itu hilang di pesawat, di Singapura, sewaktu transit.
Apa isi dokumen itu?
Analisis situasi yang rencananya akan saya brifingkan kepada semua atase pertahanan Indonesia yang berkumpul di Jerman. Saya selalu mengadakan evaluasi terhadap perkembangan dunia dilihat dari sudut strategi pertahanan. Tapi itu kan baru gagasan saya, belum menjadi dokumen matang. Maksud saya, itu draft untuk diperdebatkan, untuk dimatangkan, dengan memperoleh masukan dari para pejabat intel di luar negeri.
Lalu Anda difitnah seolah-olah menghilangkan dokumen penting?
Ya, begitulah.
Siapa pelakunya?
Saya enggak mau ngomong… (Yoga menggelengkan kepala). Enggak enak. Enggak bisa itu. Itu masalah etik.
Ali Moertopo bukan?
Itu kata orang, boleh saja. Saya enggak ngerti. Tapi I don't want to judge orang yang sudah meninggal. Apalagi saya... saya menganggap... sudahlah (Yoga berhenti bicara).
Apa motifnya kira-kira? Apakah karena peran Anda waktu itu terlalu menonjol?
Ya, mungkin. Pada saat itu, peran saya memang menonjol, dianggap dekat dengan Pak Harto. Padahal, waktu itu, sebagai Ketua G-1 Hankam (badan intelijen Hankam), saya kan memang harus melapor ke presiden. Waktu itu, orang memang sedang berlomba-lomba dekat dengan Pak Harto. Sarwo Edhie (bekas Komandan RPKAD), menurut saya, juga korban fitnah. Kenapa dia jatuh? Itu kan gara-gara dia diisukan mau menjadi calon presiden. Orang lalu mencari kelemahannya.
Ketika dipindahkan ke PBB, Anda merasa dibuang?
Ya, saya merasa dibuang. Pada waktu itu, saya kan bintang dua. Belum pernah ada seorang tentara menjadi wakil duta besar di PBB. Kan belum pernah. Tentara, lo.... Saya tidak terima. I accepted this sebagai tentara, tapi saya tidak ikhlas.
Anda sakit hati kepada Soeharto?
Sakit hati sih tidak.
Kabarnya, gara-gara itu, ada tulisan jorok di kantor Anda, misalnya ''Soeharto tai". Benarkah?
Oh, enggak pernah saya menulis seperti itu. Kalau bikin jokes, ya memang. He-he-he....
Misalnya?
Ah, macam-macam itu. Enggak tahulah. He-he-he....
Terus, mengapa setelah Malari meletus, 1974, Soeharto memanggil Anda? Bukankah waktu itu banyak pilihan, misalnya Sudomo?
Ada dua versi yang belum bisa saya buktikan karena waktu itu saya tidak di sini. Menurut versi Jenderal Soemitro, beliaulah yang mengusulkan saya kepada Pak Harto. Bakin itu, katanya, hanya bisa dipimpin oleh orang intel. Yang disebut orang intel di Indonesia cuma dua, Sutopo Yuwono dan Yoga.
Kalau versi Ali Moertopo kepada saya, sebagai asisten pribadi presiden, dia yang mengusulkan. Saya tidak tahu mana yang benar karena saya tidak bisa mengumpulkan fakta. Lagi pula saat itu tidak ada masalah bagi saya. Pokoknya, saya pulang.
Mengapa Anda menerimanya?
Soalnya ada syaratnya, yaitu enggak pakai fitnah-fitnahan lagi.
Anda melihat pemanggilan itu sebagai bentuk maaf dari Pak Harto?
Ya, ada. Cuma, pada waktu itu saya tak tahu.
Tapi bukankah fitnah-fitnahan masih terjadi, meski bukan Anda korbannya? Misalnya dalam kasus Malari itu?
Itu sangat rumit. Ada permainan yang saling menunggang dalam kasus itu. Pada saat itu, saya kan mempelajari dokumen-dokumen dari Jenderal Sutopo Yuwono dan Ali Moertopo. Saya baca dan membuat kesimpulan, membuat analisis sendiri, dan saya cari penyelesaian sendiri.
Kesimpulan Anda apa?
Kalau sekarang, namanya perang politik elite. Ada pendomplengan-pendomplengan, ambisi-ambisi perorangan di antara beberapa pejabat.
Apa targetnya?
Mencari posisi paling dekat dengan Soeharto.
Jadi, bukan gerakan untuk menggantikan Soeharto, seperti yang tertulis di buku Soemitro?
Bukan. Itu hanya isu.
Tapi buku Anda menyebut adanya Dokumen Rahmadi—pensiunan jaksa tentara yang menggalang gerakan bersama orang-orang Masyumi. Mana yang benar?
Ya, dokumennya banyak versi. I have my own version. Tapi pada saat itu, yang saya sarankan kepada presiden adalah mengurangi pejabat yang terlibat dalam friksi. Soalnya, di mata saya sebagai seorang intel, Soeharto is still acceptable. Saya kan lama mengikuti Soeharto. Sejak dia komandan resimen, komandan brigade, kepala staf, saya rasa Soeharto itu masih baik. Baru pada 1983 saya mulai melihat ada penyimpangan-penyimpangan.
Kenapa itu?
Karena anak-anaknya mulai berbisnis. Soeharto melihat kepentingan anak dan keluarganya lebih penting daripada kepentingan negara. Itu awal malapetaka. Maka, pada saat itu, saya secara bergurau pernah ngomong kepada beliau, ''Pak, mundur tahun 1983 adalah yang paling baik." Mungkin karena saya bergurau, itu tidak didengar. Dia cuma menjawab, ''Masa, anak presiden tidak boleh usaha?" Saya jawab, ''Ya, boleh."
Boleh?
Seharusnya saya juga ngomong waktu itu, ''Begini, Pak. Anak presiden boleh saja punya usaha. Tapi panggil satu per satu. `Kamu mau proyek apa?' Satu saja, satu masing-masing anak." Kenyataannya kan tidak? Semuanya diambil. Tidak cuma bisnis tukang pungut sampah. Seandainya dulu diberi satu-satu, tidak akan begini negara ini.
Kenapa tidak bilang begitu?
Pada waktu krismon (krisis moneter), menjelang pemilu yang terakhir, saya sedang sakit dan akan berangkat operasi cangkok ginjal di Cina. Waktu itu, saya sempat berbicara dengan Sabam Siagian (mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia), ''Saya harus bikin surat kepada Soeharto." Saya sudah niat itu. Yang ingin saya tulis waktu itu, ''Pak, kalau saya jadi Bapak, akan terima itu jabatan presiden, tapi terus segera dikembalikan lagi (ke MPR) dengan alasan tua dan capek."
Kalau itu dilakukan, nama Soeharto masih bagus dan negara ini bisa tertolong. Ini kan gara-gara Harmoko dkk. yang ngasih gambaran semua rakyat masih cinta dan menghendakinya jadi presiden. Geblek!
Kenapa surat itu tak jadi dibuat?
Istri saya melarang.
Semenjak Anda pensiun sampai sekarang, apa pernah ketemu dengan Soeharto?
Enggak pernah ketemu, enggak pernah ngomong, karena saya sudah tidak hormat sama dia. Untuk apa saya datang? Wong saya dari dulu juga enggak pernah medayoh (bertamu), kok. Saya datang cuma laporan. Saya enggak pernah seperti para menteri, cium tangan. Masya Allah, ada menteri cium tangan. Tapi, kalau saya disuruh berontak sama dia, saya juga tidak mau, karena saya pernah berjanji tidak akan berontak.
Sekarang mengenai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Anda kan orang yang banyak terlibat juga saat itu. Bagaimana surat penting itu bisa hilang?
Orang yang berkepentinganlah yang semestinya menghilangkan Supersemar itu. Tapi, yang lebih parah, keputusan MPR yang mengangkat Soeharto menjadi pejabat presiden itu cuma didasarkan pada fotokopi (Supersemar). Apa itu legal? Jika itu tidak legal, Soeharto juga presiden (yang) tidak legal, presiden fotokopi... (tertawa).
Berarti surat itu langsung hilang segera setelah diterima?
Ya, iya dong. Menurut pengetahuan kita, surat itu sudah diterima dan dibawa Soeharto. Habis itu hilang. Jawabannya tentu siapa yang berkepentingan kalau itu hilang. Saya sendiri tidak bisa membuktikan. Tapi siapa yang paling berkepentingan jika itu hilang?
Menurut Anda, apakah Supersemar yang asli masih ada?
Wah, saya tidak tahu. Apa sudah dibakar sama Soeharto, terus abunya diminum, enggak ngerti saya. Tapi jawabannya satu saja, siapa yang paling berkepentingan jika itu hilang. Dulu kan sesneg (sekretaris negara)-nya itu si Sudharmono.
Sekarang cerita soal Tim-Tim. Apa yang Anda tahu?
Itu one big blunder kita. Itu saya akui. Barangkali juga diakui Ali Moertopo dan Sutopo Yuwono. Kami mengambil pengalaman pribadi, pengalaman sewaktu kami menjadi tentara Angkatan '45. Sewaktu melihat kondisi daerah, keadaan alam, dan masyarakatnya, kami berpikir dengan ukuran batalion kita waktu revolusi dulu, dengan semangat revolusi, hanya dengan satu operasi militer besar, tiga empat bulan Tim-Tim selesai. Advis itulah yang kita berikan. Nah, ternyata that is our blunder.
Apa sebabnya?
Tentara yang masuk ke Tim-Tim itu sudah lain. Itu tentara tahun 1974. Tentaranya sudah bleketir-bleketir, yang tidak pernah latihan menembak. Masa, tiap orang cuma dibekali peluru maksimal 50 butir karena tidak ada duit. Saya tanya sama Benny (Moerdani), ''Gimana ini?" Dijawab, ''Ya, tentara sekarang memang begitu, Pak!" Wah, ya repot. Itu masih ditambah macam-macam, misalnya pasukan di sana banyak tidak jujur.
Deklarasi Balibo, deklarasi pro-integrasi, juga dicurigai sebagai hasil kerja intel. Apa betul?
Iya. Itu yang menyebabkan kita keliru menganalisis lapangan. Begitulah. Kalau intel keliru, keputusan yang diambil pun pasti keliru.
Sebagai intel, apakah Anda membatasi diri pada operasi intelijen yang clean saja?
Yang dirty juga ada. Kebanyakan di luar negeri.
Misalnya?
Ketika membongkar operasi intelijen Uni Soviet di Jakarta. Ada bukti-buktinya. Akhirnya, saya minta kepada presiden agar jangan memperpanjang tugas konsuler Uni Soviet yang terlibat. Tapi tidak pernah diumumkan. Orang tahunya cuma itu, tidak tahu bagaimana proses di dalamnya.
Apa dalam dunia intel kita pernah ada intel membelot atau menjadi agen ganda?
Kalau di kita, sih, enggak pernah. Tapi, kalau membantu pelarian intel asing, ada.
Siapa?
Intel Prancis yang menenggelamkan kapal Rainbow Warrior milik aktivis lingkungan Greenpeace di perairan Selandia Baru. Dia lari ke sini dari kejaran aparat keamanan setempat. Dia minta tolong dilepas ke Prancis. Saya lepas. Tapi Selandia Baru tidak tahu kalau saya menolong intel itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo