Ini percakapan yang sering terjadi pada saat-saat tenggat. Tapi itu dulu. Dulu, ketika TEMPO belum dibredel, ketika apa yang kemudian disebut, anehnya, sebagai "budaya telepon" kerap mengganggu media masa. Isi telepon dari "atas" itu tentu berupa imbauan—yang sebenarnya berarti larangan—agar tidak memuat suatu berita. Sensor ini biasanya datang dari Departemen Penerangan dan Mabes ABRI, dalam hal ini Pusat Penerangan ABRI. Nah, Mayor Panggih, petugas di instansi militer itu, yang menjalankan tugas "mengimbau".
Tentu saja, kami tak bisa mendebat Mayor Panggih. Bukan saja dia seorang tentara yang sangat baik, sopan, kurus, seorang Jawa pesisir yang halus tutur katanya, tapi dia hanya menjalankan tugas. "Halo, di sini Mayor Panggih, mau menyampaikan pesan, Mas...," dan kami pun hanya bisa mencatat.
Sensor lewat telepon itu biasanya jatuh di ruangan koordinator reportase (KR). Jika KR tidak ada, salah seorang redaktur pelaksana menerimanya. Setiap "imbauan" hanya didistribusikan ke jajaran redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, pemimpin redaksi, dan wakilnya. Reporter? Tidak. Menjadi kebijakan TEMPO bahwa reporter tidak boleh disensor dalam mengumpulkan berita. Mereka bisa terganggu menjalankan tugasnya jika kami menularkan ketakutan-ketakutan kepada mereka yang bekerja di lapangan. Para redaktur pelaksana yang kemudian memutuskan, apakah laporan itu dimuat dengan "memperhalus" di sana-sini atau tidak mengindahkan sama sekali. Ada saatnya kami patuh. Tapi, sering pula kami mengabaikannya. Biasanya, beberapa hari setelah majalah terbit, ada surat peringatan, datangnya dari Departemen Penerangan.
Masalahnya, isi "imbauan" itu macam-macam, dari yang serius sampai yang tak masuk akal. Yang serius misalnya keterlibatan ABRI dalam represi di Aceh, tentara membacok tukang becak, bantuan senjata dari AS. Yang remeh-temeh: tak boleh memberitakan Jenderal Edi Sudradjat (waktu itu KSAD) berobat ke Jepang, tak boleh menyebut nama "Petisi 50", tidak boleh memuat komentar tentang Perang Teluk. Betul-betul pembungkaman.
Memang, sekali-sekali ada juga "imbauan" yang justru sebuah informasi yang kami tidak tahu sebelumnya, sehingga ada yang menjuluki Mayor Panggih "reporter kita dari Mabes ABRI". Misalnya, perkelahian masal anggota Batalyon 613 dengan polisi Tarakan, 11 Maret 1991. Kami tak mendapat informasi, koran pun belum memuatnya. Dalam kasus ini biasanya kami malah bertanya terus. "Delapan anggota polisi tewas, satu penduduk tewas, banyak yang luka. Tapi diimbau untuk tidak dimuat, lo, Mas...," suara Mayor Panggih di seberang.
Ada kalanya imbauan itu datang terlambat, ketika majalah sudah siap diedarkan. Itu terjadi pada penerbitan 28 Februari 1981, saat kami memberitakan terbunuhnya banyak dukun santet di Jember, Jawa Timur. Yusril Djalinus, saat itu koordinator reportase, mendadak menerima telepon. Apa akal? Diputuskan: kami menutup tulisan itu dengan tinta hitam. Tujuan kami: justru dengan itu tampak ada berita yang disensor. Biasanya pemerintah menyensor tetapi tidak mau kelihatan tangannya kotor.
Yang bikin kami kesal, tiga hari setelah TEMPO "ternoda" itu beredar, kasus santet ini sudah boleh disiarkan.
Sensor dari Departemen Penerangan tidak kalah banyaknya. Cuma, petugas pengimbau sering berganti-ganti. Yang kami takutkan dari Departemen Penerangan, awal-awalnya, adalah surat peringatan, baik yang berembel-embel keras maupun tanpa embel-embel. Namun, lama-kelamaan surat seperti itu tidak menakutkan lagi, sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Soalnya, selain tak jelas kriteria keras dan tidak keras, persoalannya kadang "tak meresahkan". Misalnya, reportase pementasan drama Suksesi sutradara Riantiarno tergolong peringatan keras, sementara berita buku Primadosa tergolong peringatan biasa.
Barangkali karena sulit menerjemahkan peringatan itulah, kami tersandung. TEMPO terbitan 27 Maret 1982 memuat kerusuhan kampanye Golkar di Jakarta. Kami memasang beberapa gambar kerusuhan. Tanggal 2 April 1982 kami menerima surat peringatan (tanpa embel-embel keras). Yang dipersoalkan foto Apotek Titi Murni yang rusak diserang perusuh. Kami tak tahu kalau ada soal lain, karena tak disebut. Mendadak, 12 April 1982, kami malah menerima SK Pembekuan Surat Izin Terbit TEMPO. Di situ disebutkan apa saja yang telah kami langgar, padahal semuanya mengacu kepada TEMPO terbitan 27 Maret 1982. Selama dua bulan majalah tak boleh terbit, apa boleh buat.
Pengalaman dibredel dua bulan itu membuat kami sering ketakutan kalau tak memenuhi imbauan. Antara tekad untuk bersuara bebas dan membayangkan sekian orang kehilangan nafkah (pembredelan tak cuma urusan wartawan dan karyawan pers, juga agen, loper) membuat kami harus pandai-pandai meniti buih, terutama kalau berurusan dengan orang kuat Orde Baru, Presiden Soeharto, tentu termasuk anak cucunya. Dalam edisi 7 September 1991, dua kolom TEMPO terpaksa tak ada hurufnya, putih bersih. Berita apa yang kami cabut? Tentang sejumlah pemuda Timor Timur yang dibawa Siti Hardiyanti Rukmana—putri Soeharto—ke Jakarta, dan kondisinya telantar. Waktu itu ada dua tentara datang ke kantor TEMPO dan meminta agar peristiwa itu tidak ditulis. Kami memutuskan untuk melakukan apa yang pernah kami lakukan dengan sensor tahun 1981: membuat pembaca tahu bahwa ada penyensoran, sehingga pemerintah tidak bisa menyatakan bahwa yang terjadi adalah "sensor-diri" dari pers sendiri.
Syukurlah, semua yang ditulis ini berupa cerita masa lalu. Suara Mayor Panggih (ia masih setia di Pusat Penerangan ABRI, dan kini berpangkat letkol) tak terdengar lagi. Kalau dia menelepon nanti, mudah-mudahan itu salam kangen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini