Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Empat Tahun Menunggu TEMPO Kembali

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO dibredel, 21 Juni 1994, dan waktu itu tak ada harapan untuk hidup kembali. Tetapi untuk menyerah begitu saja tak terpikirkan. Ternyata, pada saat seperti itu persoalan harga diri—untuk tidak membungkuk-bungkuk kepada yang membredel, yaitu pemerintah—menjadi soal penting. Apalagi mahasiswa, cendekiawan, aktivis gerakan perempuan, buruh, wartawan sudah turun ke jalan, memprotes pembredelan. Betapapun, pesimisme lebih besar ketimbang optimisme untuk menunggu terbitnya kembali majalah ini. Itu dasar pikiran beberapa wartawan TEMPO yang tidak dapat dibujuk ke majalah lain itu. Maka kami berusaha mengajukan permintaan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) untuk majalah baru dengan nama Opini. Sekadar mencoba. Ternyata majalah dengan nama seperti ini sudah ada di Semarang, walau tak lagi terbit. Maka kami menemukan nama Majalah Mingguan BERITA. Surat permintaan SIUPP diproses. Bambang Bujono kami tetapkan sebagai pemimpin umum. Putu Setia, yang kami tunjuk sebagai pemimpin redaksi, diharapkan mulus dari seleksi PWI karena dia sudah anggota PWI dengan status anggota biasa. Seperti diketahui, waktu itu, untuk menjadi pemimpin redaksi, rekomendasi dari PWI mutlak. Tentu saja kami sadar bahwa PWI waktu itu hanya perpanjangan tangan Menteri Harmoko yang berkuasa. Apalagi sebagian wartawan TEMPO mendukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang didirikan untuk melawan pembredelan dan monopoli PWI dalam organisasi wartawan. Maka kami tak berharap banyak. Benar juga. Rekomendasi itu tak pernah tiba. Departemen Penerangan tak mungkin memberikan SIUPP baru untuk karyawan bekas Majalah TEMPO. Dengan itu kami hendak dipaksa menyerah agar bergabung dengan majalah yang ditunjuk dan diperkenankan pemerintah. Bagi kami, soalnya jelas. Menghidupkan TEMPO tak berarti menerbitkan majalah TEMPO. TEMPO bisa hidup di mana saja. Maka kami mulai menyiapkan untuk hidup dan bekerja di media lain, meskipun dengan sembunyi-sembunyi. Kami menyebutnya, setengah bergurau, sebagai "bekerja di tanah pengasingan". Sementara itu, kami menggelar berbagai pameran dengan nama dan logo TEMPO. Kami meneruskan gugatan pembredelan TEMPO ke Peradilan Tata Usaha Negara. Di antara kami, ada yang mencetak baju kaus yang mengenang pembredelan TEMPO. Mobil-mobil wartawan TEMPO masih tetap ditempeli stiker TEMPO, bahkan diganti kalau sudah kusam. Ketika kantor di kawasaan elite Kuningan harus ditutup karena tak ada kegiatan berarti dan sewanya mahal, perpustakaan diboyong ke Jalan Proklamasi. Di sana ada tiga deret ruko yang dibeli oleh perusahaan. Sementara, untuk kumpul-kumpul, dikontrak sebuah rumah cukup besar di kawasan Tebet. Berita yang paling menggembirakan, sekaligus sangat mengharukan, tentulah ketika PTUN dengan hakim ketua Benjamin Mangkoedilaga dan hakim anggota Tengku Husny dan Soemaryono memenangkan gugatan kami pada 3 Mei 1995. Kemenangan yang tidak diduga. Beberapa jam sebelumnya, yang kami siapkan justru "keterangan pers" mengenai kekalahan. Goenawan Mohamad berkata: yang kita sambut gembira bukan kemenangan orang-orang TEMPO, melainkan keberanian tiga hakim PTUN, karena mereka mengambil keputusan yang tidak menyenangkan orang-orang yang berkuasa. Kemenangan ini tak serta-merta membuat kami lebih yakin bisa menerbitkan majalah TEMPO. Soalnya, Menteri Penerangan Harmoko, yang kalah itu, naik banding. Kami tetap pesimistis, hakim-hakim di atas PTUN ini akan menganulir kemenangan kami itu. Bahkan, ketika akhirnya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) tetap memenangkan kami, walaupun kami bangga betul dengan keputusan itu, toh kami tak punya ilusi tentang kejujuran Mahkamah Agung. Dan benar: MA tak lebih meneguhkan keputusan penguasa. Namun TEMPO harus tetap hidup. Kami merayakan hari ulang tahun pertama pembredelan (kemudian diubah menjadi: hari ulang tahun perlawanan untuk kemerdekaan pers), dan kami mendirikan Yayasan Alumni TEMPO, yang dihadiri karyawan dan wartawan mantan TEMPO. Yayasan ini menggalang tali kekeluargaan dengan pertemuan-pertemuan rutin, sekaligus "merestui" dan kalau memang bisa "menyalurkan" tenaga karyawan dan wartawan agar bisa melanjutkan karir jurnalistiknya di tempat lain. Mulailah "diaspora" TEMPO: kami berpencar. Ada yang "dikontrak" Media Indonesia untuk menerbitkan Media Indonesia Minggu, ada yang "menyumbangkan ide" di jurnal kedokteran Medika, ada yang membantu Jakarta Post dan majalah Forum Keadilan. Bagian yang lebih besar ditampung di rumah kontrakan Tebet itu, dan didirikan sebuah perusahaan untuk memayunginya. Usahanya macam-macam: dari konsultan penerbitan sampai mencetak kaus oblong. Pada 1996, tepat pada hari ulang tahun TEMPO ke-25, didirikan Tempo Interaktif, suatu layanan berita yang bisa diakses di internet. Tidak ada pertimbangan komersial di sini. Seperti dikatakan Yusril Djalinus, yang menggerakkan proyek ini, tujuannya yang utama: mengangkat bendera bahwa majalah ini belum takluk. Dengan begitu, sebenarnya jurnalistik TEMPO tak pernah mati. Dulu tercetak, kini lewat internet. Pembaca yang kehilangan TEMPO bisa mengklik http://www.tempo.co.id. Juga, tahun itu, sebagian karyawan dan wartawan ditampung di majalah DR (dulu namanya norak, Detektif & Romantika, kemudian ditafsirkan sebagai "Demokrasi dan Reformasi"), setelah manajemen penerbitan ini diperbarui. Sementara itu, Yayasan Alumni tetap secara berkala mengumpulkan anggotanya, sambil merancang penerbitan buku. Sudah terbit beberapa buku yang berkaitan dengan pembredelan TEMPO. Ada pula yang ikut mendirikan dan aktif dalam ISAI (Institut Studi Arus Informasi), yang didirikan bersama para cendekiawan dan wartawan lain (umumnya anggota AJI). Institut ini melatih para mahasiswa dalam mengelola informasi, terutama informasi politik, dan menerbitkan buku yang "berbahaya". Pendeknya, kami gentayangan di mana-mana. Mungkin seperti tuyul, mungkin kupu-kupu atau lebah. Yang penting, bagi kami yang harus terus diasah dan diasuh adalah keterampilan jurnalistik dan kemerdekaan berpikir. Sampai tiba pertistiwa itu, Orde Baru rontok. Setelah presiden baru dan ada kabinet baru, ada sinyal bahwa TEMPO bisa terbit kembali. Yayasan Alumni segera mengumpulkan karyawan dan wartawan bekas TEMPO di Teater Utan Kayu, Jakarta. Akankah mereka memilih TEMPO terbit lagi, atau tetap hidup dalam kenangan dan sejarah? Sembilan puluh persen bersepakat: terbit! SIUPP diurus, sangat mudah, tak perlu rekomendasi apa pun dan dari mana pun. TEMPO lalu terbit kembali sejak awal Oktober 1998.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus