BERDEBU, bilik di rumah tahanan Kejaksaan Agung tempat Akbar Tandjung mendekam itu memang bukan layaknya kantor ketua umum sebuah partai besar. Tak ada bendera atau panji-panji. Tidak ada pula foto presiden dan wakil presiden terpampang di dinding putih kusamnya.
Namun, dari ruangan itu, yang berisi meja lipat kecil di samping sebuah tempat tidur, roda Partai Golkar akan dijalankan. ?Saya akan tetap memimpin walaupun dalam tahanan,? kata Akbar seperti ditirukan Akil Mochtar, satu dari 70 anggota Fraksi Partai Golkar yang datang membawa surat jaminan penahanan beberapa menit sebelum sang ketua masuk bui. Meski dari dalam tahanan, itu tak akan sulit dilakukan. Dia bisa berhubungan dengan dunia luar melalui telepon seluler.
Dengan tekadnya ini, Akbar tampaknya mencoba mempersempit gerak seterunya di dalam tubuh partai yang sudah lama meng-inginkan adanya musyawarah nasional luar biasa untuk menggusurnya dari kursi ketua umum itu. Dia juga telah memberikan perintah kepada dewan pimpinan pusat partai itu untuk mengirim pesan via faksimile ke semua pengurus daerah di 30 provinsi.
Dalam faksimile itu, yang diteken Ketua DPP Agung Laksono dan Sekjen Tuswandi, ada sejumlah pesan. Di samping penjelasan tentang kondisi ketua umum, pesan terpenting adalah penegasan bahwa tongkat komando partai masih berada di tangan Ketua Umum Akbar Tandjung.
Keputusan Akbar untuk tidak memberikan mandat kepada ketua DPP lain merupakan cara efektif menghindari perubahan drastis dalam struktur partai dan, karena itu, meredam kemungkinan gejolak. Jikapun ada perubahan dalam struktur partai, itu tak lain adalah jabatan pelaksana harian, yang baru akan diputuskan awal pekan ini.
Akbar, seperti dikutip Agung Laksono, punya feeling masa penahanannya tidak akan lama. ?Ini kan temporer saja,? katanya. Hal senada disampaikan Fahmi Idris, pemimpin lain partai itu. ?Akbar yakin penahanannya hanya sebentar, paling lama lima hari,? katanya.
Suara pengurus daerah pun terdengar kompak membela Akbar. Tidak hanya pengurus di Jawa dan Sumatra, tapi juga pengurus daerah di kawasan Indonesia timur, yang tergabung dalam Kaukus Iramasuka dan kerap bersikap kritis terhadap kepemimpinan Akbar. Ketua DPD Sulawesi Selatan, Amin Syam, misalnya, tegas-tegas memberikan dukungan kepada Akbar. ?Selama belum ada keputusan hukum dari pengadilan, Sul-Sel tetap mengakui Akbar sebagai ketua umum karena ini merupakan amanat rapat pimpinan,? katanya.
Hasilnya, suara para ?pembangkang? yang menuntut kongres luar biasa pun semakin sayup-sayup. Sampai saat ini, baru anggota dewan penasihat, Arnold Baramuli, patron kelompok Iramasuka, yang secara terbuka menyatakan keinginannya bahwa ketua pelaksana harian nantinya menyelenggarakan musyawarah luar biasa untuk segera menuntaskan berbagai masalah yang dialami partai Orde Baru itu.
Tuntutan agar Akbar diganti sudah dilontarkan Baramuli jauh-jauh hari, ketika Akbar masih berstatus tersangka. Namun, Baramuli sendiri kini tampaknya sadar keinginannya untuk mendesakkan musyawarah nasional luar biasa mungkin akan berliku. Dengan nada pesimistis, ia hanya bisa mengatakan, ?Apa para ketua dewan pengurus daerah itu tidak memiliki hati nurani, sehingga mau partainya dipimpin orang dalam tahanan??
Para pembela Akbar tidak kekurangan alasan. Mereka menyebut penahanan ketua umumnya itu kental dengan nuansa politik, jadi bukan perkara hukum, sehingga dia layak untuk tetap bisa dipertahankan. Bagi mereka, Akbar bahkan bisa menjadi simbol perlawanan dengan memimpin dari dalam tahanan, seperti tokoh-tokoh politik legendaris yang ditahan pemerintahan otoriter. Sebut saja Nelson Mandela.
Lebih dari itu, pemimpin partai seperti Fahmi Idris memberikan jaminan kelestarian posisi sahabatnya sebagai ketua umum sampai ada putusan pengadilan yang membuktikan Akbar bersalah. ?Saya jamin hanya ada lima orang yang masih menyuarakan musyawarah luar biasa, bahkan sekarang tinggal empat karena berkurang satu. Padahal anggota Golkar ada 23 juta,? katanya.
Muchtar Yara, salah satu pengurus pusat partai yang kini non-aktif, tidak sependapat. ?Akbar bukan Nelson Mandela. Mandela tahanan politik, sedangkan Akbar ditahan karena kasus korupsi. Ini kasus hukum,? katanya. Akbar, menurut Yara, tidak bisa menjadi simbol yang menguntungkan bagi partainya.
Gelombang perlawanan terhadap Akbar, menurut Yara, akan membesar. Bak ikan hiu membaui darah, banyak pentolan Golkar lama dikabarkan mengincar jabatan di partai pemenang pemilu kedua ini, dengan cara bergerilya. Seperti dikatakan Yara, proses pendongkelan Akbar hanya menunggu waktu. ?Sulit mempertahankan Akbar untuk jangka panjang,? katanya.
Bukankah tak ada kawan abadi, dan garansi 100 persen, dalam politik?
Edy Budiyarso, Syarief Amir (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini