Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Duit Kembali, Akbar Bebas Hukuman?

Skenario menjerat Akbar Tandjung tanpa mempermalukan Golkar dijalankan. Sampai kapan?

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kabar penting disiarkan Kejaksaan Agung, Sabtu kemarin. Pengusaha Winfreid Simatupang dan Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar, keduanya tersangka Buloggate II yang kini ditahan kejaksaan, telah mengembalikan dana Rp 32,5 miliar. Luar biasa. Ternyata, selama ini kabar bahwa dana itu telah habis untuk operasi sembako?skenario yang diduga cuma ?karang-karangan? belaka? hanyalah bohong belaka. Tak heran jika bekas Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Luhut Pangaribuan, kepada Tempo News Room, tak ragu mengatakan bahwa Akbar Tandjung telah berbohong selama ini. Akbar bercerita bahwa dana ini disalurkan lewat Yayasan Raudatul Jannah untuk membagi-bagikan sembako di sejumlah provinsi. Ke mana larinya duit? Kuat diduga duit mengalir bukan untuk membantu masyarakat miskin, tapi mengalir ke kas Partai Golkar. Sebelumnya, skenario yayasan ini diyakini bakal melepas Akbar. Buktinya, ketika tiba di Kejaksaan, Kamis pekan lalu, sekitar pukul 9.30, ia masih berseri-seri. Ia datang ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung dengan dikawal puluhan laki-laki berjas dan berbadan kekar, serta sejumlah petinggi Golkar. Sambil berjalan ke ruang pemeriksaan, ia sempat melempar senyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan. Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam itu seolah tidak menyadari bahwa hari itu ia bakal ditahan malam harinya. Skandal dana Bulog II memang penuh dengan kejutan. Ketika Akbar Tandjung mulai diperiksa sebagai saksi oleh kejaksaan Oktober silam, orang tak percaya bahwa kasus ini bakal menggeliding jauh. Selain kurang yakin terhadap keseriusan aparat, Akbar lihai sekali merancang skenario penyelamatan diri. Politisi ulung ini berlindung di bawah Yayasan Raudatul Jannah. Berkali-kali ia bersaksi bahwa dana yang dikucurkan Rahardi lewat Ruskandar, deputi keuangannya, pada 2 Maret 1999, tidak pernah mampir ke Golkar. Akbar, yang saat itu menjadi Menteri Sekretaris Negara, mengaku cuma menyaksikan Ruskandar menyerahkan dua lembar cek kepada Yayasan Raudatul Jannah. Oleh yayasan itu, kata Akbar, duit ini dipakai untuk pengadaan 1,69 juta paket sembilan bahan pokok (sembako) yang dibagikan ke masyarakat di lima provinsi di Jawa. Makin lama skenario itu makin kedodoran. Banyak saksi yang menyudutkan Akbar. Rahardi tetap bersikukuh bahwa dana tersebut mengalir ke Ketua Umum Golkar itu. Haryono Suyono, yang ketika dana Bulog itu dikucurkan menjadi Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat dan Pengetasan Kemiskinan?pun mengaku tak tahu-menahu ihwal Yayasan Raudatul Jannah. Selain itu, kata Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Hariadi Widyasa, ?Bukti yang telah kami kumpulkan sudah cukup untuk menjadikan Akbar sebagai tersangka.? Dipimpin oleh Manaf Zubaedi, tim kejaksaan juga telah mengecek secara acak ke daerah-daerah yang disebut ada pembagian sembako, tapi jejaknya tak ditemukan. Menurut sumber TEMPO, pihak yayasan sempat memberikan data komplet soal penyaluran sembako tersebut. Untuk wilayah Jakarta, misalnya, sampai disebut juga nomor polisi truk yang mengangkutnya. Di situ ditulis sejumlah truk yang nomor polisinya berakhir W. Tapi, setelah dicek di Polda Metro Jaya, nomor polisi berakhir W belum dikeluarkan pada 1999. Seri nomor itu baru muncul pada tahun 2000. Akbar, yang susah menutupi kebohongannya, kian terpukul oleh kesaksian mantan presiden B.J. Habibie. Dipanggil sebagai saksi untuk terakhir kalinya, akhir Februari lalu, ia menegaskan bahwa saat itu yang menjadi koordinator penggunaan dana dari Bulog itu memang Akbar Tandjung selaku Menteri Sekretaris Negara. Menurut Yan Juanda Saputra, pengacaranya, duit Bulog terpaksa dipakai karena bantuan dari luar negeri untuk program jaring pengaman sosial belum datang. ?Itu pun dengan catatan, duit itu hanya dipinjam dan harus dikembalikan,? kata Yan kepada TEMPO. Sampai kabinet Habibie bubar, uang tersebut ternyata tidak pernah dikembalikan ke Bulog. Sekarang sebagian duit itu, yakni Rp 32,5 miliar, memang telah dikembalikan, tapi bukan ke Bulog, dan bukan oleh Akbar. Uang itu diberikan oleh Winfried Simatupang, kontraktor penyaluran sembako, kepada kejaksaan untuk disita. Pengembalian oleh tersangka yang telah ditahan bersamaan dengan Akbar Tandjung dan Dadang Sukandar, Ketua Yayasan Raudatul Jannah, itu diangsur delapan kali. ?Terakhir Kamis pagi, sebelum ditahan, Pak Winfried menyerahkan Rp 5 miliar,? kata Sabar Ompusunggu, pengacaranya. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Barman Zahir, sekalipun duit itu telah dikembalikan, proses hukum tidak bisa dihentikan. ?Seorang pencuri televisi yang mengembalikan barang curiannya tidak berarti tak akan dihukum.? Tapi skenario masih berputar-putar pada yayasan. Pengembalian duit itu akan mengesankan bahwa dana Bulog tersebut disalah-gunakan oleh yayasan, dan tidak pernah mengalir ke Golkar. Kalau Akbar akhirnya ditahan, itu karena kesalahan dia sebagai menteri, bukan Ketua Umum Golkar. Padahal, dari penelurusan TEMPO beberapa waktu silam, ditemukan bukti fotokopi dua lembar kuitansi yang menunjukkan sebagian dana tersebut mengucur ke tangan dua bendahara Golkar, Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat. Pihak kejaksaan enggan menelusuri temuan ini dengan alasan cuma sebuah fotokopi, yang tidak bisa dipakai sebagai bukti. Padahal, fotokopi itu membawa pada bukti yang lebih konkret. Sebab, dua kuitansi tersebut dibuat untuk penerimaan cek Bank Exim No. CC 821521 dan cek Bank Exim No. AA 447790, masing-masing senilai Rp 10 miliar. Selain dua cek itu, ada delapan cek lagi senilai Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar yang juga dikeluarkan oleh Bank Exim dan Bukopin pada 2 Maret dan 20 April 1999, yang diduga mengalir ke orang-orang Golkar. Jumlah semuanya Rp 40 miliar, persis dengan dana Bulog, yang kata Akbar diberikan ke Yayasan Raudatul Jannah. Bukankah pencairan cek itu bisa ditelusuri? Inilah yang mengherankan. Menurut seorang pejabat di kejaksaan, setelah dilacak, terungkap bahwa orang yang mencairkan cek tersebut menggunakan KTP palsu. Lalu, kata Dadang Sukandar, pengambilan duit tersebut dilakukan oleh orang-orang suruhan Dadi Suryadi, pemimpin proyek pembagian sembako yang ditunjuk yayasan. Dadi yang ternyata cuma seorang sopir taksi tidak mungkin bersaksi karena ia telah meninggal akhir tahun lalu. Bukan berarti penyelidikian lantas berhenti, karena data di Bank Exim dan Bukopin bisa diendus. Menurut Direktur Utama Bank Bukopin, Sofyan Basir, pencairan dana Bulog itu dilakukan bertahap. ?Itu pun ada yang diambil cash, ada juga yang ditransfer ke rekening lain,? katanya. Petugas dari dua bank tersebut, awal Januari silam, sebetulnya sudah dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan. Tapi Jaksa Agung Muda Hariadi Widyasa tidak mau membeberkan kesaksian para petugas bank. Ia cuma menegaskan lagi bahwa pencairan dana itu, yang dengan menggunakan KTP palsu itu, dan setelah dicek, pemegang di alamat kartu identitas itu tidak ada. Dari petugas bank, sebetulnya banyak hal yang bisa terungkap. Pengambilan duit itu tidak mungkin dilakukan seorang diri karena jumlahnya besar. Mestinya ada yang mengawal, dan mereka bisa dijadikan saksi. Pelacakan juga bisa dilakukan lewat rekening. Apalagi, menurut sebuah sumber, sebetulnya kejaksaan telah mengantongi izin dari Bank Indonesia untuk memeriksa rekening yang diduga dialiri dana dari Bulog itu. Masih gelapnya proses pencairan dana membuat dugaan bahwa duit bergepok-gepok yang mengalir ke Golkar itu tak terungkap gamblang. Yayasan Raudatul Jannah yang akhirnya menjadi kambing hitam. Walau tak mampu menyelamatkan Akbar, yayasan ini masih bisa melindungi Golkar. Tapi sampai kapan? Menurut sebuah sumber yang dekat dengan para pejabat di Kejaksaan Agung, hal itu amat bergantung pada situasi politik. Bisa saja, katanya, suatu saat skenario Raudatul Jannah diobrak-abrik lagi, lalu aliran dana di Golkar ditelusuri. Cuma, sampai sejauh mana kasus Akbar ini bakal menggelinding memang belum bisa ditebak. Mungkin Akbar akan diadili serius, tapi bisa juga semua ?perhelatan? ini berakhir di meja kompromi. Gendur Sudarsono, Andari Karina Anom, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus