Syamsuddin Haris
Kepala Bidang Perkembangan Politik Nasional pada Pusat Penelitian Politik LIPI
USAI menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, Mekah Al-Mukarramah, Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung akhirnya ditahan oleh Kejaksaan Agung. Bersama-sama dengan Dadang Sukandar, Ketua Yayasan ?siluman? Raudatul Jannah, dan Winfried Simatupang, Akbar di-jebloskan ke hotel prodeo, menyusul mantan Kabulog Rahardi Ramelan, yang telah menikmati suasana bui di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pekan sebelumnya. Bagaimana nasib Akbar dan Golkar selanjutnya, dan juga dampaknya bagi pemerintahan Megawati?
Penahanan atas Akbar Tandjung pada dasarnya masih merupakan tahap awal dari proses hukum kasus Buloggate II yang melibatkan banyak tokoh, termasuk mantan presiden B.J. Habibie. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita yang merindukan tegaknya keadilan untuk cepat puas dan bergembira, seolah-olah pemerintahan Megawati, melalui Kejaksaan Agung, telah konsisten menegakkan pemerintahan yang bersih dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kita semua tahu bagaimana kentalnya ?permainan politik? di balik penanganan berbagai bentuk ?trik hukum? yang lazim dilakukan aparat penegak hukum, Akbar kemungkinan besar akan menikmati kembali kebebasannya, juga dengan alasan ?demi hukum?. Apalagi masa penahanannya hanya berumur 20 hari.
Karena itu, sungguh mengherankan jika DPR harus menunda pengambilan keputusan atas usul pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Buloggate II hingga tanggal 18 Maret 2002 mendatang. Apabila pada saat Rapat Paripurna DPR 18 Maret 2002 nanti status Akbar masih sebagai tahanan Kejaksaan Agung, kemungkinan besar mayoritas fraksi akan menolak pembentukan Pansus Buloggate II. Sebab, dengan status Akbar Tandjung sebagai tahanan, ?cukup alasan? bagi PDIP untuk ikut menolak melanjutkan proses politik melalui pembentukan Pansus Buloggate II di DPR.
Penundaan keputusan pembentukan pansus oleh DPR yang diambil pada saat Akbar akan ditahan bisa jadi merupakan ?siasat politik? Fraksi PDI Perjuangan untuk menunjukkan kepada publik bahwa pemerintahan Megawati sungguh-sungguh hendak memberantas KKN. Jika dugaan ini benar, kepentingan terbesar PDIP di balik siasat politik ini adalah upaya mempertahankan kelangsungan pemerintahan Megawati sambil bernegosiasi dengan Golkar, tentu dengan ?imbalan politik? berupa penolakan PDIP atas pembentukan Pansus Buloggate II.
Strategi politik yang tengah dimainkan oleh Partai Banteng gemuk tampaknya adalah mengorbankan Akbar Tandjung?setidaknya untuk sementara sebagai tahanan?namun di sisi lain mencoba menyelamatkan dukungan Golkar terhadap pemerintahan Megawati. Para politisi PDIP tampaknya berharap bahwa kalangan Golkar bisa ?memahami? pilihan ini sebagai strategi sementara yang akhirnya bermuara pada penyelamatan kepentingan bersama antara Partai Beringin di satu pihak dan kepentingan Partai Banteng di pihak lain.
Melihat pengalaman pengusutan kasus-kasus KKN selama ini, skenario ?pengorbanan? Akbar Tandjung sebagai tahanan Kejaksaan Agung jelas lebih ?aman? bagi kepentingan politik kedua partai terbesar tersebut. Soalnya, proses hukum yang adil bagi Akbar pada akhirnya akan berhenti di tengah jalan, sekurang-kurangnya karena tiga kemungkinan. Pertama, materi kasus berubah dan diubah dari kasus pidana menjadi kasus perdata, dan kita ketahui preseden hukumnya telah ada, yaitu kasus Bank Bali yang juga melibatkan orang-orang penting Golkar. Kedua, setelah mengenakan status tahanan bagi Akbar, penuntasan kasus Buloggate II itu sendiri bisa jadi akan mengambang, dan berbagai pihak seperti Kejaksaan Agung, pemerintah, DPR, serta para politisi oportunis akan bolak-balik dengan argumen absurd ?kita harus menghormati hukum yang berlaku?. Mereka lupa bahwa publik juga tahu, hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum yang masih pandang bulu, yaitu hukum bagi para pemilik uang dan kekuasaan. Ketiga, mengingat begitu bertumpuknya persoalan bangsa yang harus segera diselesaikan, kasus Buloggate II akan tenggelam ditelan waktu dan isu-isu politik lain yang muncul dan ?dimunculkan? kemudian. Preseden hukum untuk kecenderungan ini juga sangat banyak, yaitu para tersangka kasus korupsi yang tak kunjung dimejahijaukan.
Jika strategi politik di atas benar-benar menjadi pilihan PDIP dan pemerintahan Megawati?termasuk menolak pembentukan Pansus?hampir tak ada yang bisa diharapkan dari partai pemenang pemilu 1999 ini. Partai Banteng Gemuk pada hakikatnya sama saja dengan Golkar. Seperti yang ditunjukkan secara publik dan ?gagah-berani? oleh tokoh-tokoh Golkar, PDIP tampaknya juga terperangkap pada pilihan penyelamatan kekuasaan kelompok ketimbang menyelamatkan kepentingan kolektif bangsa kita. Moralitas, integritas, dan keberadaan politik dikorbankan untuk tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek, sehingga cita-cita reformasi tersisih dan akhirnya berhenti di persimpangan kepentingan para elite politik.
Karena itu, sebenarnya tak ada satu alasan pun yang masuk akal bagi PDIP dan partai-partai lain untuk menunda pembentukan Pansus Buloggate II, apalagi menolaknya. Dalam situasi ketika hukum masih dikangkangi oleh mereka yang memiliki uang dan kekuasaan, kita tak mungkin berharap banyak dari argumen absurd bahwa kasus Buloggate II akan diproses ?sesuai dengan hukum yang berlaku?. Saya kira, di sinilah letak urgensi pembentukan Pansus Buloggate II, yakni agar kegagalan sistem hukum kita bisa sedikit ditutupi melalui proses politik di DPR.
Sikap panik, ?kebakaran jenggot?, dan ancaman yang dikemukakan para politisi Golkar yang membela mati-matian ketua umumnya yang jelas-jelas melakukan kebohongan publik, biarlah menjadi bumerang bagi Golkar sendiri. Sebab, pada era global dewasa ini tak seorang pun bisa melawan arus sejarah yang meniscayakan berlangsungnya perubahan ke arah pemerintahan yang bersih, adil, dan demokratis bagi bangsa kita. Kemunafikan, kebobrokan moral, dan keserakahan politik pada akhirnya akan terkubur bersama-sama dengan para politisi oportunis yang mengagungkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini