LAND Cruiser hitam B 8677 VG itu tiba-tiba mendecit, menderu kencang ke arah pintu belakang Kejaksaan Agung RI. Seorang pegawai kejaksaan sampai nyaris terpelanting dibuatnya. Belum lagi melewati gerbang, sebuah truk polisi yang diparkir melintang dan sebarisan petugas Brimob bersenjata lengkap langsung membuat jip mahal itu terhenyak berhenti. Petugas keamanan dalam, jaksa, dan wartawan berhamburan merubung. Disiram lampu kilat dan sorot kamera, tampak sosok terkenal itu merunduk lesu. Dialah Akbar Tandjung, yang kelihatan jelas muram wajahnya.
Kamis sore pekan lalu, sekitar pukul 16.40, tersangka penyelewengan Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog ini baru saja usai diperiksa penyidik untuk ketiga kalinya di lantai tiga Gedung Bundar, kantor pidana khusus. Nasib baik tak berpihak kepadanya kali ini. Dia ditahan. Inilah pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia seorang ketua parlemen ditahan gara-gara dugaan korupsi.
Akbar jelas tak siap. Tapi benarkah ia berusaha kabur dengan jip mahalnya? ?Kalau dengan mobil yang ngebut seperti itu, namanya apa kalau bukan lari?? kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Barman Zahir, dengan nada tinggi. Tapi hal itu sontak dibantah Hotma Sitompoel, pengacara Akbar. Kata dia, kliennya bukan lari, tapi cuma mau buru-buru pulang karena perlu menerima tamu. Dengan nada galak seperti biasa, Hotma kali ini sampai mengancam segala, ?Saya akan menyomasi siapa pun yang menyatakan Bang Akbar kabur.?
Dan tepat pukul 20.15, keputusan penahanan diumumkan Barman. Sejak malam itu, untuk memudahkan proses penyidikan, Akbar ditahan di Kejaksaan Agung selama 20 hari?jika tak kemudian ditangguhkan atau diperpanjang. Sia-sia saja ia dan trio pengacaranya memprotes. Sempat lama bergeming, pada pukul 22.50 Akbar yang tak punya pilihan lain lalu meneken surat penahanannya.
Dan sejurus kemudian, sang Ketua Umum Golkar digiring masuk ke selnya?satu dari enam ruang tahanan yang ada, masing-masing berukuran 4x5 meter, berlantai teraso, dan ranjang berkasur kapuk. Di situ pulalah Wakil Ketua MPR dari Golkar, Ginandjar Kartasasmita, pernah mendekam. ?Memang tidak ada persiapan. Rencana awal, Pak Akbar akan ditahan di Rutan Salemba,? kata seorang petugas keamanan dalam. Akbar ditemani dua aktor Buloggate II lainnya, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, yang malam itu juga ikut dijebloskan.
Inilah klimaks dari perjalanan skandal Bulog jilid dua setelah keterlibatan Akbar dalam aib ini diungkap mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan?juga telah ditahan di Penjara Cipinang?pada Oktober tahun lalu.
Penahanan Akbar malah seperti memenuhi tuntutan banyak orang. Pada hari pemeriksaannya, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Koalisi organisasi nonpemerintah?antara lain terdiri dari Komite Waspada Orde Baru, Petisi 50, dan Forum Partai Islam?ikut datang mendesak. Bahkan juga Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husin Al-Habsy. ?Akbar Tandjung sudah jadi tersangka tapi masih berkeliaran dengan bebasnya, sementara Rahardi Ramelan sudah dipenjara. Di mana keadilan?? kata Al-Habsy di Gedung Kejaksaan. Lebih dari sekadar tuntutan, penangkapan Akbar telah dijadikan tolok ukur seberapa serius pemerintahan ini memerangi korupsi, seperti yang selalu dipidatokan Presiden Megawati.
Berlebihankah desakan itu? Fakta-fakta yang terungkap dari hasil investigasi mingguan ini menunjukkan kuatnya dugaan keterlibatan Akbar dan para petinggi Partai Beringin dalam penggelapan uang negara itu. Lebih dari se-kadar korupsi, juga kian terang bagaimana Akbar telah berupaya membelokkan alur perkara ke dalam skenario Yayasan Raudatul Jannah yang cuma rekaan. Juga, betapa persekongkolan itu, tanpa belas kasihan, menyeret Dadi Suryadi, mendiang seorang sopir taksi yang lugu, untuk menutupi keterlibatan ?orang-orang besar? di pucuk Partai Beringin.
Tapi politik barangkali memang ilmu putar lidah yang canggih. Ketika Akbar ditahan, banyak orang Golkar yang berbicara tentang keadilan dan hukum. Mereka beranggapan bahwa penahanan Akbar adalah buah permainan politik. Saking emosionalnya, sempat muncul suara supaya tiga menteri Beringin di kabinet ditarik. Jadi? Eh, esok harinya langsung buru-buru pernyataan galak itu diralat. ?Baru sebatas wacana. Partai tidak memutuskan itu,? kata Menteri Negara Informasi, Syamsul Muarif, yang mengaku telah mengonfirmasi soal sikap Golkar ke Akbar di tahanan.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan penangkapan Akbar? Menurut dua sumber TEMPO yang tepercaya, dari Istanalah gebrakan Jaksa Agung M.A. Rachman dan nasib Akbar ditentukan. Drama ini diawali pada Senin sore, pada pukul 17.00 hingga 18.30, ketika empat ang-gota parlemen dari PDI Perjuangan menemui Rachman di Kejaksaan Agung. Mereka adalah Panda Nababan, Teras Narang, Dwi Ria Latifa, dan Amin Arjoso. Dikenal sebagai sebutan Tim Empat, Panda dkk. diberi tugas merumuskan sikap akhir Fraksi Banteng Bulat pada sidang paripurna dewan, Kamis kemarin, yang akan memutuskan gol-tidaknya usul pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Buloggate II. Tim Empat datang ke Gedung Bundar untuk mengukur arah dan kemajuan penyidikan kejaksaan.
Mereka tengah menimbang, panitia khusus hanya bisa diredam jika Rachman melakukan ?lompatan besar? dalam penanganan kasus ini. Ternyata gayung bersambut. Rachman memberikan sinyal bakal menahan Akbar mulai pekan ini. Lebih cepat dari itu, sebelum sidang paripurna, misalnya, dirasa sulit. Akbar akan ditahan dengan ?model Rahardi?. Ia direncanakan dikerangkeng begitu berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Untuk itu setidaknya mesti ada tenggang waktu untuk pra-penuntutan, belum lagi surat panggilan yang minimal mesti dikirim tiga hari sebelumnya. Jadi, hitung punya hitung, ?hari baik? itu semula baru akan jatuh pada 14 Maret, Kamis ini. Tanggal ini dipilih karena Jumat sampai Minggu libur sehingga para penyidik yang prei bisa berkelit dari tekanan hebat pendukung Akbar.
Penahanan Akbar jadi faktor penting yang berkait langsung dengan sikap PDIP tentang panitia khusus. Sekitar sebulan lalu, dalam sebuah rapat pleno fraksi di Pecenongan (markas PDIP), Ketua Umum Megawati Sukarnoputri telah mengeluarkan instruksi. Meski semula mendukung, atas desakan Taufiq Kiemas yang berkeyakinan pansus cuma akan menggoyahkan stabilitas politik, Mega akhirnya meminta fraksinya supaya tak perlu lagi menggulirkan usul panas itu. Jalur hukum yang akan dikedepankan.
Tapi perkembangan terus terjadi. Pendapat Banteng tak bulat. Dua faksi di PDIP?kelompok DPP lama yang dikomandani mantan Wakil Sekretaris Jenderal Haryanto Taslam dan barisan Jenggala yang dinakhodai mantan Ketua Fraksi PDIP di DPR Arifin Panigoro?bersikeras menyokong pansus. Disebut-sebut, setidaknya 40 anggota PDIP akan mbalelo berdiri menyatakan dukungan jika pemungutan suara digelar. Haryanto bahkan mematok angka lebih tinggi, ?Saya yakin lebih dari 70 persen suara kawan-kawan PDIP setuju pansus.?
Retak itu jelas kentara pada pertemuan empat pentolan PDIP dengan Megawati dan Taufiq Kiemas, di rumah dinas Presiden di Jalan Teuku Umar, Jakarta, pada Senin petang. Hadir: Pejabat Sementara Ketua Fraksi MPR Theo Sjafei, Sekretaris Jenderal Sutjipto, Ketua Fraksi DPR Roy B.B. Janis, dan Arifin Panigoro. Di sini terjadi perdebatan sengit antara Taufiq dan Roy. Taufiq keras mewanti-wanti Roy supaya ?jangan macam-macam? mendukung pansus. Untuk menghindari komplikasi politik soal gawat ini, mesti dilokalisir di jalur hukum. Tapi Roy pantang mundur. Ia mendebat pansus mesti didukung kalau Banteng Bulat tak mau ditinggal massa pemilihnya. Tak ada kata sepakat.
Titik terang baru muncul malam hari. Sekitar pukul 19.30, Jaksa Agung datang melapor ke Teuku Umar. Ketika itulah, rencana penahanan Akbar dipastikan Rachman dan disetujui Mega.
Selasa malam, Mega bertemu Tim Empat, Roy Janis, Arifin, dan Sutjipto. Di situlah rencana penahanan Akbar diungkap. Sebuah formula disepakati. Dalam sidang paripurna, Fraksi Banteng Bulat tetap akan menyatakan sikap setuju pansus, tapi minta supaya keputusan final ditunda sampai jadwal sidang ber-ikutnya pada 18 Maret. Tanggal ini dipilih tentu bukan tanpa alasan. Ini untuk memberi peluang kejaksaan menahan Akbar terlebih dahulu, yang akan menjadi alasan kuat bagi PDIP untuk mengatakan bahwa pembentukan pansus tidak relevan lagi.
Tapi kabar penahanan itu keburu merembes ke luar. Media telah menciumnya. Para petinggi Golkar mulai mengambil ancang-ancang. Membaca skenario itu, kubu pro-pansus di PDIP pun kembali mengeras. Keadaan jadi genting.
Maka, pada Rabu malam, Tim Empat ber-sama Arifin Panigoro kembali menemui Megawati di Teuku Umar. Ketika itulah mereka melaporkan, jika ?langkah besar? Rachman tak disegerakan, Fraksi Banteng Bulat dipastikan akan terpecah dalam pemungutan suara besok. Yang lebih penting, rencana penahanan Akbar bisa berantakan di tengah jalan. Perintah sontak di-keluarkan: Rachman musti bertindak esok hari juga.
Adanya rangkaian pertemuan itu dibenarkan Sekretaris Jenderal Sutjipto. Tapi ia membantah kaitannya dengan penahanan Akbar. ?Itu bukan untuk mendesak Jaksa Agung supaya segera menahan Pak Akbar. Kami cuma ingin mengetahui perkembangan kasus itu,? katanya. Sanggahan serupa diutarakan Amin Arjoso, salah satu anggota Tim Empat. Ia mengaku datang ke kejaksaan sebatas untuk mencari tahu proses hukum yang tengah berlangsung. ?Memang, hasilnya kita bawa ke rapat, dan menghasilkan keputusan untuk mengikuti proses hukum dulu,? ujar Amin.
Dan drama itu mencapai puncaknya pada hari Kamis. Dalam sidang paripurna sempat terjadi perkembangan mengejutkan. Meski menurut hitungan di atas kertas kelompok setuju pansus bakal kalah suara (lihat tabel), sikap PDIP malah sempat kembali mengeras. Telepon genggam pelobi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Arifin Junaidi, dihujani pesan SMS dari banyak politisi Banteng Bulat. Bunyinya, ?Mas, aku dan teman-teman mendukung pansus. Maju terus!? Siang setelah sikap akhir fraksi-fraksi usai dibacakan, rapat internal PDIP malah memutuskan akan bulat mendukung pansus jika pemungutan suara digelar siang itu juga. Tapi lobi pemimpin fraksi berkata lain. Formula PDIP disepakati: penentuan pansus ditunda sampai sidang 18 Maret.
Para anggota parlemen dari Golkar kian resah. Wajah M.S. Hidayat, Daryatmo, Marzuki Ahmad, dan banyak lainnya terlihat menegang. Telepon genggam mereka tak henti berbunyi. Kabar berseliweran. Dan setengah jam kemudian, bersamaan dengan ditutupnya sidang paripurna, kepastian datang: Akbar Tandjung mesti mendekam di balik kerangkeng.
Akbar, aktivis Angkatan 66 itu, akhirnya masuk bui bukan untuk kasus politik, tapi justru kasus yang sebenarnya tak pantas untuknya: dugaan mencuri uang negara. Sayang, dia tak mengikuti jejak Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, yang masuk bui karena perlawananannya terhadap rezim Orde Baru. Atau seorang Bung Karno yang dibuang karena keberaniannya menentang penjajahan. Sayang....
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Levi Silalahi
--------------------------------------------------------------------------------
1999
Februari 1999
Rapat terbatas Presiden B.J. Habibie, Mensesneg Akbar Tandjung, Kepala Bulog Rahardi Ramelan, dan Menko Kesra Taskin Haryono Suyono tentang pengeluaran dana Bulog Rp 40 miliar.
2 Maret 1999
Deputi Keuangan Bulog, Ruskandar, bersama Ishadi Saleh, pengusaha rekanan Bulog, menyerahkan dua lembar cek masing-masing Rp 10 miliar kepada Akbar. Cek diserahkan Akbar ke Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat, Bendahara dan Wakil Bendahara Golkar. Fadel dan Hidayat memberikan kuitansi.
7 Maret 1999
Deklarasi Partai Golkar di Stadion Utama Senayan.
20 April 1999
Ruskandar bersama seorang staf menyerahkan delapan cek senilai Rp 20 miliar ke Akbar. Cek dipecah Rp 2 miliar-3 miliar atas permintaan Akbar.
Mei 1999
Kampanye pemilu.
7 Juni 1999
Pemilihan umum.
2000
1 Februari 2000
Di sidang kabinet, Menko Perekonomian Rizal Ramli menyatakan ada Rp 90 miliar dana Bulog yang masuk ke kas Golkar.
13 Februari 2000
Di Kendari, Menhan Mahfud Md. menyatakan, ?Golkar menerima Rp 90 miliar dari Bulog pada Pemilu 1999.?
9 Juli 2000
Rahardi ditetapkan sebagai tersangka.
2001
9 Oktober 2001
Rahardi menyatakan dana Rp 40 miliar diserahkan ke Akbar, Rp 10 miliar ke Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto, dan Rp 4,6 miliar merupakan pinjaman ke PT Goro Batara Sakti.
11 Oktober 2001
Akbar mengaku menerima dana, tapi berdalih menyalurkannya ke sebuah yayasan yang namanya ia lupa. Akbar membantah menerima uang, cuma menyaksikan Ruskandar menyerahkannya ke yayasan.
31 Oktober 2001
Usai diperiksa kejaksaan, Akbar menyatakan yayasan itu bernama Raudatul Jannah.
20 November 2001
Ruskandar bersaksi dana benar-benar diterima Akbar.
21 November 2001
Akbar membantah. Kata dia, cek itu cuma tergeletak?alias ?diterima??di meja kerjanya.
2002
7 Januari 2002
Akbar ditetapkan sebagai tersangka.
28 Februari 2002
Rahardi ditahan di LP Cipinang.
7 Maret 2002
Sidang paripurna DPR menunda pembahasan pembentukan Pansus Buloggate II. Akbar ditahan di Kejaksaan Agung, bersama Dadang dan Winfried.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini