Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diam berhadiah

Kantor dep. agama mengadakan lomba diam dalam memperingati hari amal bakti ke-45 dep. agama. diharapkan jadi tradisi sampai ke tingkat nasional. juara per tama akhir siregar, kedua - tumanggor.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam, orang diam itu dapat hadiah. Apalagi kalau sanggup diam selama delapan jam. Inilah, pada 21 November lalu, yang dilombakan para karyawan Kantor Departemen Agama di Tarutung, 275 km dari Medan. Yakni, bertepatan dengan Hari Amal Bakti ke-45 Departemen Agama, panitia menyusun aneka acara, dan Drs. A.M. Tumanggor yang kepala kantor menyisipkan satu mata acara lagi: lomba diam. Tepuk Tumanggor, 48 tahun, berbunyi. Dua puluh satu karyawan -- termasuk pencetus idenya -- mendaftar jadi peserta. Disaksikan ratusan hadirin di aula kantor itu, mereka duduk di kursinya masing-masing. Syaratnya adalah tak boleh bergerak sedikit pun. Jangankan menoleh, sekadar kedip saja dinilai kalah. Bernapas tentu saja boleh, asal dada tak kelihatan kembang kempis. Pokoknya, diamlah laksana patung. Seperempat jam kemudian, di pentas muncul grup lawak, sejawat mereka juga, yang dimainkan Hutasoit dan Purba. Para peserta digoda dengan aneka banyolan, ditambah pemutaran kaset lawak. Saraf geli para peserta memang mengalami ujian berat, sementara hadirin terpingkal-pingkal. Siapa bisa menahan kilikan di urat ketawanya? Serapat apa pun bibir mengelakkan ketawa, toh terdengus juga yang namanya nyengir itu. Bobol. Tim Juri sigap menghitung. Terjaring 14 peserta. Mereka gugur. Tersisa tujuh, termasuk Tumanggor. Suasana kian seru. Sebab, bukan hanya peserta yang mirip patung, tapi juga juri dan hadirin hampir ikut menahan napas. Teng, delapan jam kemudian, juri mengumumkan pemenang. Juara pertama Akhir Siregar, kedua Tumanggor, ketiga Dra. R. Purba, dan juara harapan W. Tinambunan. Hadiahnya, piala. Sang juragan pencetus lomba diam itu hanya menduduki peringkat kedua karena juri memergoki kakinya bergerak beberapa kali. "Jadi, saya gagal juara pertama," katanya kepada Makmum Al Mujahid dari TEMPO. Namun, ia tampak puas, seraya mengharapkan tradisi memilin-milin disiplin kelak bisa berkurang. "Supaya tiap ikut upacara, penataran, brifing, dan sejenisnya, hadirin tidak lasak, bisik-bisik, goyang kaki, dan macam-macam tingkah yang mengganggu ketertiban acara," katanya. Lomba diam pegawai tingkat daerah mungkin bagus jadi tradisi sampai ke tingkat nasional. Toh diam tidak sama artinya dengan emas, kan? Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus