Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ringan namun berbobot

Perwakilan masyarakat ekonomi eropa (mee) di jakarta menyelenggarakan festival film. untuk memperkenalkan kebudayaan eropa yang beragam. pembukaan resmi di gedung kesenian jakarta.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CARLITOS mengunyah roti sarapan pagi sambil menatap layar televisi. Wajah ibunya di layar, tersenyum: "Selamat pagi, Carlitos. Sudah bangun? Hari ini, Mama akan mendongeng kisah Hansel dan Gretel. Pada zaman dulu ...." "Carlitos, kau ngompol lagi, ya?" teriak pengasuhnya. Carlitos pura-pura tuli dan menyimak dongeng ibunya melalui video. Melalui De Hombre a Hombre (Antara Sesama Lelaki) sutradara Spanyol Ramon Fernandez bercerita tentang mereka yang kurang mendapat perhatian, yakni anak-anak dan orangtua yang renta. Carlitos (diperankan dengan baik oleh Jorge Noguera), seperti banyak anak-anak Eropa lainnya, adalah korban perpisahan orangtuanya. Ibunya membanting tulang di sebuah toko mainan anak-anak, sementara ayahnya sudah pacaran dengan wanita lain dan sesekali menengoknya. Begitu sibuknya sang ibu, hingga di pagi hari Carlitos berjumpa ibunya melalui pesawat video, sementara pengasuhnya bakalan berteriak karena menemukan "pulau" di seprei anak yang butuh perhatian itu. Carlitos tak tahan. Ia lalu kabur dan berjumpa dengan seorang kakek yang masih gagah, energetik, dan bandel. Si Kakek Silvester (diperankan Fernando F. Gomez) ternyata juga "pelarian" dari rumah jompo. Dia "dibuang" oleh anak mantunya. Maka, pertemuan dua jiwa yang kesepian ini terjalin menjadi sebuah pengalaman yang menarik. Di sini, sutradara berhasil membawa penonton terlibat dalam petualangan mereka yang nyerempet bahaya. Mereka bertemu dengan sindikat pencopet yang anggotanya gelandangan kecil. Lantas masuk ke dunia wanita peramal yang sering menipu pelanggannya. Di sela itu, Silvester toh berusaha membujuk si Carlitos yang keras kepala agar kembali ke orangtuanya. Melalui bahasa film yang efektif, Ramon Fernandez berhasil memperlihatkan persamaan antara Silvester dan Carlitos. Mereka adalah manusia yang membutuhkan perhatian. Betapa lucunya pembicaraan tentang "pacar" masing-masing. "Ini adalah pembicaraan antara sesama lelaki," kata si kecil Carlitos kepada sang kakek. Dan si kakek mengangguk serius. Ramon Fernandez memang tak terlalu dikenal di Indonesia. Tapi, melalui tangannya, dan 16 sutradara Eropa lain (dari Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, dan Inggris), kita berkenalan dengan sebagian kebudayaan Eropa. Perwakilan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) di Jakarta menyelenggarakan festival film sejak 20 November hingga 3 Desember lalu. "Kami ingin masyarakat Indonesia berkenalan dengan kebudayaan Eropa yang beragam," demikian Robert van der Meulen, Dubes Komisi MEE di Jakarta. Dan karena masih taraf perkenalan, maka ke-17 film Eropa yang diputar di British Council, Pusat Kebudayaan Prancis, Erasmus Huis ini -- dengan pembukaan resmi di Gedung Kesenian Jakarta -- adalah film yang tidak ruwet. Tapi berbobot. Yang menarik, lebih dari setengahnya menggunakan anak-anak sebagai pemeran utama -- meski bukan film anak-anak. Selain De Hombre a Hombre dari Spanyol, ada tujuh film lainnya yang mempergunakan mata seorang anak dalam menilai dan memandang dunia di sekelilingnya. Ada Anton Steenwijk kecil yang menyaksikan kematian orangtua dan kakaknya yang dibantai saat Belanda masih diduduki Jerman (The Assault) -- film Belanda yang disutradarai Fons Rademakers. Ada Charles Vernet yang mati bunuh diri di lautan setelah kenyang diteror anak dari kekasih ibunya (Je Suis le Seigneur du Chateau). Ada Giorgio, 13 tahun, yang makan kamper karena cintanya tak terbalas (Mignon E' Partita). Ada Gideon, seorang putra penyair terkenal yang cacat mental tapi berhasil mendorong ayahnya supaya menulis lagi. Ada kisah yang mengharukan tentang persahabatan seorang pekerja sosial dengan seorang anak cacat mental (Taste of Water). Lantas ada pula Christian, yang lari dari lembaga pemasyarakatan anak nakal dan bertualang di Maroko (Christian). Dalam film-film ini, tokoh anak-anak adalah anak-anak yang tak bahagia dan mencari kebahagiaannya dengan cara sendiri. Ada apa dengan anak-anak Eropa? Lihatlah Je Suis le Seigneur du Chateau, (Saya Raja dari Sebuah Puri) karya Regis Wargnier. Kita akan melihat kesakitan, amarah, dan kesedihan yang berkecamuk pada air muka Charles Vernet. Ayahnya di tengah belantara Vietnam, entah mati atau masih bernapas. Ibunya yang cantik dipekerjakan sebagai kepala rumah tangga tuan Breud yang baru saja kehilangan istri dan berputra Thomas yang baru saja menyaksikan kematian ibunya. Sementara Nyonya Vernet dan Tuan Breud saling jatuh cinta, kedua anaknya bermusuhan. Thomas terganggu oleh kematian ibunya dan ia menjadi begitu congkak dan bengis terhadap Charles, sementara Charles melihat wajah ibunya yang begitu bahagia di pelukan Tuan Breud. Dan Charles berkorban. Ia bunuh diri di lautan. Mungkin ini sebuah tragedi. Tapi, seperti Ramon Fernandez dalam De Hombre a Hombre, Regis Wargnier tak berlebihan. Ada suatu daerah asing yang peka dalam setiap pribadi anak-anak, dan daerah itu tak pernah bisa disentuh barang seusap oleh siapa pun. Charles Vernet memutuskan untuk lari dan bunuh diri agar ibunya bisa hidup bahagia dengan Tuan Breud. Ia tahu dirinya tak mungkin hidup berdampingan dengan Thomas Breud, yang lebih sering menggunakan insting hewaninya dalam memperlakukan Charles. Film ini menampilkan persoalan psikologi yang dalam. Kenapa seorang anak kecil bisa begitu pendendam seperti Thomas? Kenapa Charles bunuh diri? Apakah itu cara anak Prancis mencari sebuah jalan keluar? Sulit menjawab. Mungkin itu hanya sebuah jalan ekstrem yang dipilih sang sutradara. Yang jelas, dalam karya sutradara Italia Francecsca Archibugi, kita menemui persoalan yang sama. Dalam Mignon E' Partita (Mignon Sudah Pergi), tokoh utama Giorgio Farbicioni yang berusia 13 tahun mencoba bunuh diri dengan mengunyah kamper. Dia jatuh cinta pada Mignon, sepupunya yang cantik, angkuh, dan pendiam. Kisah cinta sepihak ini diwarnai dengan latar belakang orangtua Giorgio yang sudah berpisah dan masing-masing punya kekasih, sementara ayah Mignon dipenjara. Kembali kita dihadapkan pada persoalan jiwa-jiwa yang patah. Namun, Archibugi tampak bisa meramu persoalan rumah tangga ini dengan humor. Giorgio yang ingin bunuh diri itu tetap hidup setelah perutnya dipompa. Ketika ia didorong keluar rumah sakit, semua anggota keluarga merubungnya. Ia ngumpet di balik selimut seraya mengacungkan kedua jarinya. Dan melalui adegan itu, kita tahu, Giorgio masih ingin hidup. Archibugi meniupkan napas optimisme. Tentu saja ada film-film lain yang bercerita "persoalan orang dewasa" dari "mata orang dewasa". Ada Monsieur Hire karya Patric Leconte. Sebuah film khas Prancis, tempat kita menemukan misteri, absurditas, dan teror mental secara konstan di antara dialog yang minim. Tuan Hire (diperankan dengan baik oleh Michel Blanc) muncul begitu saja. Seorang lelaki yang tak jelas latar belakangnya, tak berkawan, dan tak berkeluarga. Sepanjang film, yang kita tahu adalah Tuan Hire mengisi hari-harinya dengan menjahit, mengurus tikus-tikus putih, dan mengintip gadis usia 20 tahun bernama Alice (dimainkan Sandrine Bonnaiere, aktris Prancis yang pernah berkunjung ke Indonesia). Film ini diakhiri dengan kematian Tuan Hire yang jatuh dari gedung bertingkat. Sebuah adegan yang mencekam. Dengan tangannya, Tuan Hire menggelantung beberapa detik, sementara para tetangga menontonnya di bawah tanpa melakukan apa pun. Film yang berdasarkan novel George Simenon ini menjadi sebuah film dengan elemen absurditas di tangan Leconte. Seperti banyak film Prancis yang kita kenal, kita tak perlu mengetahui latar belakang Tuan Hire, kita tak tahu apakah Alice seorang mahasiswa atau pekerja. Kita juga tak tahu bagaimana Tuan Breud dalam film Je Suis le Seigneur du Chateau bisa kaya raya. Tokoh-tokoh itu berkelebat seperti bayangan. Ada beberapa hal yang perlu dicatat dari festival ini. Pertama, sineas Eropa sangat mengenal bidangnya. Kedua, kita hampir tak perlu mempersoalkan teknologi. Meski semuanya adalah "film ringan", boleh dikatakan hampir semua sutradara berhasil menaklukkan teknologi di tangannya. Mereka tahu bagaimana mengeksploitasi kamera habis-habisan hingga maksimal, hingga adegan-adegan yang sunyi pun telah menyampaikan banyak hal. Kita tak perlu lagi terganggu oleh bahasa-bahasa verbal yang mendongkolkan seperti film-film Barat yang sedang merajai bioskop saat ini. Contohnya adegan film Monsieur Hire, sewaktu Tuan Hire asyik mengintip Alice dari jendela kamarnya. Kita segera mengerti apa yang dilakukan Alice hanya dari perubahan ekspresi muka Hire. Dan ketika sinar lampu yang menimpa wajah Hire sirna, kita tahu Alice sudah naik ke tempat tidurnya. Meski semua "film ringan", toh kita selalu berhasil melihat persoalan psikologi, sosial, dan politik yang diramu dengan baik oleh para penulis skenario Eropa. Tentu, seperti halnya banyak sutradara Barat, ada juga film yang mempunyai persoalan tentang negara berkembang. Misalnya film Christian dari Denmark, yang mengisahkan seorang pemuda 20 tahun yang kabur ke Maroko. Sentuhan dengan "Dunia Ketiga" dalam film-film Barat agaknya selalu menjadi problem. Persoalannya, pada satu pihak ada sineas yang sering meromantisasi keadaan di Dunia Ketiga, atau sebaliknya mereka menggambarkan keadaan yang buruk secara tidak realistis. Sutradara Gabriel Axel termasuk yang pertama. Penduduk Desa Barber di Maroko itu semuanya menerima Christian, si pemuda asing, dengan tangan terbuka, hangat, dan ramah. Tak ada satu penduduk pun yang curiga atau menjaga jarak. Tapi itu hanya satu kelemahan lumrah. Christian tetap bukan film pop yang jelek. Paling tidak, dibandingkan dengan film dar-der-dor yang terpaksa dikunjungi penonton Indonesia karena tak ada pilihan lain. Festival yang baru pertama kali diadakan di Jakarta ini akhirnya menjadi alternatif yang menyenangkan bagi pecinta film. Penonton pun penuh. Tak benar bahwa penonton Indonesia hanya senang film-film sampah. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus