PENGGUNDULAN di daerah nir-tropis dari zaman pra-pertanian sampai sekarang ialah 6,53 juta km2 (1 km2 = 100 ha), yaitu 2,57 juta km2 hutan meranggas dan 1,53 juta km2 hutan meranggas bercampur dengan konifer di Eropa dan Amerika Utara bagian timur. Penggundulan itu mula-mula untuk pertanian subsisten, disusul pertanian komersial. Sisanya di Asia. Penggundulan di Amerika Serikat sampai 1850 ialah 60.000 km2 dan sampai 1910 660.000 km2. Antara tahun 1962 dan 1980 hutan di Amerika Utara berkurang 140.000 km2. Jadi, penggundulan itu seluas 8.000 sampai 10.000 km2/tahun. Di Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Australia, sampai permulaan abad ke-20, 400.000 km2, dan di zone tengah Rusia bagian Eropa antara akhir abad ke-17 dan permulaan abad ke-20 67.000 km2 hilang. Menurut Buku Produksi FAO 1949-1986, penggundulan terbesar terjadi di Amerika Utara, Australia, dan Brasil. Kini 500.000 km2 hutan di Eropa rusak dan sebagian mati terkena hujan asam. Masalah yang serupa terdapat di Amerika Utara, tapi tidak ada perkiraan luasnya. Di daerah tropis, penggundulan hutan pada zaman pra-pertanian sampai sekarang ialah 0,48 juta km2, 1/13 luas penggundulan di daerah nir-tropis. Di daerah subtropis dan tropis penggundulan hutan semula dilakukan oleh orang Eropa dan Amerika untuk perkebunan dan pertanaman-tanaman pangan. Ini terutama untuk mendukung ekspansi kolonial mereka. Di daerah subtropis Brasil, sampai 1950 sekitar 400.000 km2 untuk kopi dan gula di Asia Selatan dan Asia Tenggara antara 1860 dan 1950 216.000 km2. Akhir-akhir ini penggundulan hutan di daerah tropis meningkat dengan tajam, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan. Perkiraan penggundulan hutan ialah 13.590 km2 /tahun di Afrika, 39.310 km2 di Asia, dan 90.000 km2 di Amerika. FAO memperkirakan sebesar 114.000 km2/tahun di seluruh daerah tropis. Di Indonesia dituduhkan antara 6.000 dan 10.000 km2/tahun. Masalah penggundulan hutan mempunyai dampak politik dan ekonomi global. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) di luar negeri melakukan kampanye untuk menekan masyarakat dan pemerintah mereka serta Bank Dunia agar tidak menggunakan kayu tropis, memberi label dan pajak impor yang tinggi pada produk kayu tropis, memperluas hutan tropis dengan reboisasi, memperlakukan pajak emisi gas CO2, dan memperketat bantuan dan pinjaman kepada negara tropis. Atas desakan negara maju, kini sedang dipersiapkan protokol perubahan iklim dan konvensi hutan sedunia, yang antara lain akan membatasi pemanfaatan hutan. Kita sebagai penghuni planet bumi setuju untuk mengurangi bahaya pemanasan global dan kepunahan jenis. Namun, beban biaya penanganan haruslah dibagi dengan adil. Di Indonesia pembangunan masih sangat diperlukan dan hutan merupakan salah satu sumber daya yang esensial. Maka, dalam percaturan politik internasional ada tiga hal yang harus diperjuangkan. Pertama, definisi istilah yang menguntungkan kita. Misalnya, perladangan berpindah yang baik dan pembalakan dengan tebang pilih yang menuruti aturan bukanlah penggundulan hutan. HTI, perkebunan, dan pekarangan adalah tetap hutan. Dengan demikian, konversi hutan menjadi HTI, perkebunan, dan pekarangan bukanlah penggundulan hutan. Konversi padang alang-alang menjadi HTI, perkebunan, dan pekarangan adalah reforestation, misalnya pada PIR Perkebunan dan transmigrasi. Alasannya, sederhana. Tataguna lahan itu menyerap karbon dan menyimpannya dalam kayu. Pekarangan mempunyai struktur hutan dan dalam literatur internasional disebut agroperhutanan (agroforest). Kebun karet dengan tanaman sela rotan yang kini sedang dikembangkan tidak pula banyak berbeda dengan hutan. Sementara itu, kita sisihkan hutan yang cukup luas dan representatif untuk cagar alam dan taman nasional. Kedua, telaah kritis angka luas penggundulan hutan. Umur bumi dan atmosfernya tidaklah dihitung dalam tahun atau puluhan tahun, melainkan ribuan bahkan jutaan tahun. Maka, haruslah kita tolak perhitungan penggundulan hutan yang dimulai hanya 10-20 tahun yang lalu, melainkan harus sejak zaman prapertanian. Kita kumpulkanlah selengkapnya penggundulan hutan dalam masa yang lama dan kita hitung dampaknya terhadap pemanasan global dan kepunahan jenis, agar kita dapat ofensif dan tidak sekadar defensif atau malahan menurut saja. Di Amerika saja, pada 1850-1910 dan 1962-1980 terjadi penggundulan 8.000 sampai 10.000 km2/tahun, sama seperti yang dituduhkan pada Indonesia. Berapa ribu orang Indian yang mati dan berapa suku yang punah? Masalah itu memang gencar dituduhkan pula pada Brasil, Malaysia, dan Indonesia. Tapi mereka pakai sebagai simbol heroisme dalam film western mereka. Ketiga, penentuan metode baku pemantauan hutan yang obyektif, terutama dengan didasarkan pada penginderaan jauh. Dan persyaratan yang harus dipenuhi metode itu, antara lain, sensor dan pengolahan statistiknya. Hasil pengukuran metode lain harus dihapus dari perundingan internasional, terutama yang bersifat subyektif dan bias yang menutup-nutupi penggundulan hutan di negara maju tetapi menonjolkan penggundulan di daerah tropis. Perjuangan ini tidaklah mudah, karena kita berhadapan dengan pakar yang tangguh. Media massa mereka pun, untuk kepentingan komersial dan politik, menutup diri untuk informasi yang berbeda dengan kebijaksanaan redaksinya. Namun, pengalaman misi kehutanan ASEAN ke negara Masyarakat Eropa baru-baru ini menunjukkan, mereka tidak dapat mempertanyakan penggundulan hutan dan pemanasan global setelah disajikan data statistik jangka panjang di atas. Padahal, biasanya ini merupakan titik serangan yang gencar. Seyogyanyalah kita berusaha untuk tidak menjadi perpanjangan tangan mereka dengan menerima dan mempublikasikan data mereka tanpa mengkajinya lebih dahulu dengan seksama. Banyak pekerjaan rumah (PR) harus kita selesaikan, jika kita tidak ingin jadi bulan-bulanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini