Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menyebutnya Boyan. Apa boleh buat, kata Ba-we-an terlalu sulit dilafalkan oleh lidah orang Eropa dan Cina di Singapura dan Malaysia.
Di Malaysia, komunitas Bawean tinggal di Lembah Klang, di antara Kuala Lumpur dan Selangor—dari kawasan Ampang, Gombak, Balakong, sampai Shah Alam. Mereka membeli rumah dengan cara patungan, seraya mendirikan rumah-rumah mirip rumah teras (terrace) berkelompok-kelompok.
Di Pulau Penang, ada dua keluarga besar Bawean tinggal di daerah Gelugor. Orang Bawean di Malaysia umumnya bekerja sebagai tukang dan kuli bangunan. Ada juga yang membuka toko kebutuhan sehari-hari, di samping menjadi subkontraktor proyek bangunan gedung. Mereka dikenal sebagai orang yang rajin dan gigih bekerja. Tak sedikit pula yang menjadi sopir dan tukang kebun.
Dua tokoh Persatuan Bawean Selangor, Ahmad Hassan dan Mas’od Zubir, memiliki andil bagi berdirinya partai United Malays National Organization (UMNO) pada 11 Mei 1946. Persatuan Bawean Selangor adalah satu dari 29 organisasi pendiri UMNO, partai berbasis dukungan etnis Melayu, pilar paling besar bagi kemenangan Barisan Nasional di Malaysia.
Bawean secara resmi diakui sebagai suku tersendiri di Singapura. Ini berbeda dengan Malaysia, yang memasukkan Bawean ke dalam etnis Melayu. Ada program siaran berbahasa Bawean pada radio pemerintah. Negara kota ini juga mengangkat penerjemah bahasa Bawean di pengadilan. Kebanyakan orang Bawean Singapura tinggal di daerah sekitar Masjid Sultan. Mereka membentuk ikatan kekeluargaan dalam Persatuan Bawean Singapura. Tujuannya melestarikan bahasa dan budaya Bawean di Singapura.
Tidak ada bukti dan dokumen sejarah kapan orang Bawean masuk Malaysia dan Singapura. Sejumlah pendapat menyebutkan orang Bawean bernama Tok Ayar tiba di kawasan Melaka pada 1819—pendapat lain beranggapan tahun 1824. Yang pasti, sebelum 1900, sudah banyak orang Bawean tinggal di Malaka. Generasi awal Bawean ini bertempat tinggal di kawasan bandar dan sekitarnya. Misalnya Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera, dan sekitar Rumah Sakit Besar Melaka.
Menurut Jacob Vredenbregt, antropolog Universitas Leiden, Belanda, dalam buku Bawean dan Islam (INIS: 1990), migrasi orang Bawean dimulai pada abad ke-19 menggunakan perahu layar. Pada 1876, di Bawean singgah kapal laut milik kongsi orang Cina yang dikelola bangsawan asal Palembang, Kemas Haji Djamaludin bin Kemas Haji Said. Kemas adalah pedagang kain dan bahan pokok. Kapal itu memicu kegiatan merantau orang Bawean. Kemas, kata Vredenbregt, agen perusahaan pelayaran yang melayari jalur Surabaya-Bawean-Banjarmasin-Singapura.
Kemas memperkuat armada kapalnya dan memberikan pinjaman modal atau uang kepada orang Bawean yang akan merantau. Orang rantau ini lalu melunasi pinjamannya setelah tiba di tempat tujuan dan telah mendapatkan pekerjaan. Perang Dunia II pada 1940-an memang mematikan pelayaran kapal yang singgah di Bawean. Meski begitu, jiwa rantau mereka tidak padam. Mereka menggunakan kapal layar berukuran kecil milik orang Madura dan Bugis. Seusai zaman perang, fungsi agen Kemas digantikan oleh nakhoda perahu layar. Perantau Bawean ikut menumpang kapal layar, tapi tidak serta-merta membayar ongkosnya saat itu. ”Mereka mencicil jika telah bekerja di tempat tujuan,” tulis Vredenbregt.
Kita tahu Bawean adalah gabungan tiga kata bahasa Sanskerta: ba (sinar), we (matahari), dan an (ada). Legenda menyebutkan, sekitar 1350 Masehi, sekelompok pelaut Majapahit berlayar di Laut Jawa. Sial, badai mengurung berhari-hari dalam kegelapan. Mereka lalu terdampar di sebuah pulau bersamaan dengan terbitnya fajar pagi. Serempak mereka berujar ”ba we an”—masih ada cahaya matahari.
Cahaya matahari inilah yang menyebar ke Singapura, Malaysia, dan Pulau Christmas.
Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo