Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dibawah bayang-bayang sang guru

Sejarah perjuangan sikh (pengikut guru nanak) men- dirikan negara khalistan di punjab, india. mereka selalu bertikai, saling membunuh. guru nanak men- damaikan permusuhan hindu-islam. ia tewas.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka lahir dari niat mendamaikan Islam dan Hindu. Tapi, jalan tengah itu ternyata berdarah, sampai sekarang. Sikh dan cita-cita negara Khalistan di Punyab menjadi salah satu masalah bagi India, juga di pemilu kali ini. Sejarah dan sejumlah kasus ditulis dari berbagai sumber, antara lain laporan penulis V.S. Naipaul di The New York Review, dan tulisan Pramay Gupta di The New York Time Magazine. JAGA Singh, Sabtu dua pekan lalu itu, pulang dari Sangrur, kota di tenggara Punyab, sebuah wilayah yang subur. Di kota itu, ia menemui para pendukungnya. Itulah salah satu persiapan Jaga Singh menyambut pemilu di Punyab, yang direncanakan baru akan diadakan pada 22 Juni, Sabtu pekan ini. Tapi calon dari kelompok independen Sikh itu tak akan pernah tahu berapa suara akhirnya memilih dia. Dalam perjalanan pulang dari Sangrur itulah, mobilnya diberondong senapan mesin. Ia tewas seketika. Tampaknya, dunia maklum, pemilu di India hampir identik dengan kekacauan, huru-hara, dan pembunuhan. Dan di Punjab, negara bagian seluas 129.000 km2 (sedikit lebih luas daripada Aceh plus Sumatera Utara), dengan 17 juta penduduk, kekerasan pemilu jadi istimewa. Bagi kelompok Sikh militan, pemilu hanyalah mengesahkan penguasaan pemerintah Delhi atas Punjab. Maka, pemerintah di New Delhi pun sengaja menentukan hari pemilu di wilayah di pojok barat laut India ini di hari tersendiri, agar perhatian bisa diberikan secara khusus. Dibutuhkan jumlah aparat keamanan yang lebih, guna menjaga kelancaran dan keamanan hari pemilihan anggota Lok Shaba (majelis rendah) itu. Toh tak semua partai berani ambil risiko. Partai Kongres, misalnya, tahun ini tak punya calon di Punjab. Tak seorang pun berani mengajukan diri mewakili Kongres karena alasan keamanan. Jumat, sehari sebelum Jaga Singh dibantai, enam orang, termasuk dua polisi, pun jadi korban gerakan militan Sikh. Dan sebelumnya, seorang calon lain pun tewas. Kekerasan yang jauh berakar di zaman lampau itu makin terasa getir bagi kebanyakan warga Punjab yang ingin hidup aman dan tak ingin terlibat politik, sejak dibunuhnya Indira Gandhi pada Oktober 1984. Masyarakat Hindu yang marah, waktu itu, sebagaimana biasanya gelombang massa, membalas tak pandang bulu. Asal orang Sikh, berambut panjang dan bercambang, berubel-ubel di kepala, bisa jadi sasaran. Ribuan orang Sikh diduga tewas di sejumlah kota di India utara. Di New Delhi saja, menurut perkiraan pers setempat, sekitar 10.000 Sikh dibunuh. Sejak pembalasan itu, semua orang Sikh, siapa saja, merasa tak aman di semua sudut India. Mengapa kami harus jadi korban?" keluh Amir Singh, waktu itu, pada Pranay Gupte, penulis buku Vengeance: India after the Assassination of Indira Gandhi (WW Norton & Co., 1985). Pedagang barang bekas di Delhi itu kehilangan tiga dari empat anak lelakinya, dan rumahnya hancur dalam kerusuhan 1984. "Kami bukan politikus, dan kami selalu merasa bahwa India tanah air kami," katanya. Lalu samar-samar terasa perubahan sikapnya. "Kami pedih. Pembunuh-pembunuh ini mesti diadili, tapi kami merasa itu tak akan pernah terjadi." Berapakah banyaknya Sikh yang berpikir bahwa derita itu tak akan terbalaskan oleh yang berwajib? Tak jelas, tapi kala itu diduga tak kurang dari 100.000 orang Sikh, dari berbagai kota di utara, lalu angkat kaki dan bermukim di Punjab. Mereka datang dengan luka. Seperti Amrikh Singh, tukang kayu muda yang kehilangan ayah, lima saudara, dan dua anak. Ia sendiri selamat, mungkin karena para pembantainya menduga tukang kayu itu sudah tewas. Mereka, setelah memperkosa istrinya, meninggalkannya dalam keadaan luka parah. Orang-orang Sikh itu lari, mencari "wilayah yang bisa melindungi anak dan istri kami, di mana kami bisa jadi tuan rumah yang aman menjalankan kepercayaan kami tanpa diancam lindasan tank," kata Ganga Singh Dillon, waktu itu, Presiden Organisasi Sikh Sedunia. Kekerasan, balas-membalas, yang akhirnya jadi lingkaran setan inilah menjadikan masalah Sikh di Punjab tak mudah diselesaikan. Sebab, akhirnya, masalahnya demikian ruwet. Tak lagi sekadar permusuhan antara Sikh dan Hindu dan Islam, tapi di antara Sikh sendiri saling membunuh. Tahun ini saja, karena pemilu, menurut Reuters, polisi melaporkan sekitar 2.500 pembunuhan di Punjab, dan di antara para korban adalah orang Sikh sendiri. Sesuatu yang ironis, bila ditengok ke belakang, ke abad ke-15, ketika kaum Sikh pertama kalinya menyusun konsep dasar religi mereka: itu semula diniatkan untuk mencari jalan mendamaikan pertikaian Hindu-Islam. Pada abad ke-15 itu, wilayah barat laut India memang jadi medan laga Hindu dan Islam. Gelombang demi gelombang pasukan muslim dari tanah Arab dan kemudian juga Turki, dengan panji-panji "Muhammad saw." menyerbu masuk, berniat menyebarkan Islam. Salah satu pintu gerbang masuknya Islam ke India itu adalah Punjab. Di masa itulah, di wilayah itu, seorang yang berbudi dan lembut hati hidup. Ia kemudian dikenal sebagai Guru Nanak, yang sangat terusik melihat permusuhan Hindu-Islam, yang konon waktu itu seperti tak akan pernah berhenti. Ia mencoba mencari jalan tengah. Guru Nanak menolak ritus Hindu. Ia tegakkan monoteisme, dan menolak dewa-dewa dalam kitab Weda. Ia pun berdebat tentang reinkarnasi, dan pantangan makan babi. Ia tekankan bahwa tujuan semua agama adalah sama. "Tak ada Islam, tak ada Hindu," konon begitulah batu pertama jalan tengah itu diletakkan. Lalu ia dan para pengikut pertamanya, orang Hindu dan juga orang Islam, menyanyikan lagu-lagu puja untuk Sang Satya, Kebenaran yang Tunggal, yang dikarangnya sendiri. Lahirlah agama baru, bernama Sikh (artinya pengikut, pengikut Guru Nanak). Sikh memang berkembang dengan susah. Di masa Dinasti Mughal dengan keras menegakkan Islam, tak mudah bagi agama "campuran" ini dengan cepat menemukan bentuk finalnya. Baru setelah sekitar 200 tahun berjalan, di bawah kepemimpinan 10 guru, agama Sikh terwujud seperti sekarang. Dari sisi lain, lamanya berkembang ini juga menunjukkan betapa militannya para murid Guru Nanak. (Kini di seluruh dunia ada belasan juta pengikut Sikh). Dari satu guru ke guru berikutnya, barulah di tangan Guru Arjun Mal (1581-1606), guru kelima ajaran Guru Nanak dibakukan, ditambah dengan ajaran-ajaran keempat guru sesudah Nanak, dan syair-syair ketuhanan para penyair Hindu, juga Islam. Kitab itu disebut Dasam Granth atau juga Adi Granth, waktu itu diprotes keras oleh penguasa, yakni Kaisar Jahangir. Kaisar minta agar Arjun Mal menghapus beberapa syair yang dianggapnya merugikan Islam dan juga merugikan Hindu. Tentu saja, Guru menolak. Guru Arjun dihukum mati. Nasib Sikh tak sampai di situ. Setelah Guru Arjun, masih ada pemimpin Sikh yang lain yang dihukum mati. Itulah guru ke-9, bernama Tegh Bahadur. Ia hidup memimpin Sikh di masa yang lebih sulit daripada sebelumnya. Waktu itu, dinasti Moghul yang berkuasa adalah Kaisar Aurangzeb. Inilah kaisar yang, dengan tabiatnya yang kejam, membawa kerajaan menuju ke keruntuhan. Ia penjarakan ayahnya, ia bunuh saudaranya, dan ia penjarakan anaknya. Apalagi kaum Sikh, apa artinya bagi Aurangzeb ini? Ia suruh penggal Tegh Bahadur. Kesabaran, kata para bijak, ada batasnya. Juga bagi kaum Sikh. Pengganti Tegh Bahadur adalah Guru Gobind Singh ( 1675-1708). Melihat keadaan kaumnya, bulat tekadnya untuk mempererat persatuan dan mempertinggi daya juang. Untuk itu, diperlukan kesetiaan mutlak pada sang pemimpin, begitu pikirnya. Syahdan, suatu hari, dibukalah durbar, semacam kongres di zaman sekarang. Di Kota Kesh Gar, kaum Sikh berkumpul. Sang guru pun berpidato, lalu menjelang penutup, ia menantang. Seorang Sikh mesti beriman teguh, dan siap mengorbankan apa saja, untuk agama mereka. Nah, siapa di antara mereka saat ini siap mengorbankan jiwanya di tangan Guru, silakan masuk ke kemahnya. Tidak diketahui bagaimana reaksi jemaah ketika itu. Tentunya, ini merupakan kejutan luar biasa. Dikisahkan, lima orang beranjak dari tempatnya menuju kemah sang pemimpin. Seorang masuk, terdengar tebasan pedang. Darah pun mengalir keluar kemah. Begitulah yang terjadi sampai kelimanya hilang ke dalam kemah. Bila kemudian kelimanya lalu muncul kembali, segar bugar, ini bukanlah keajaiban Ilahi. Inilah cara Guru Gobind Singh melakukan kejutan psikologis pada umatnya. Dibutuhkan ketaatan sejati bila mereka mau selamat- pedang itu ternyata menebas leher kambing. Itulah modal perjuangan kemudian. Pada saat itu pula lalu diadakan upacara pembaptisan yang pertama dalam sejarah Sikh. Pada hari itulah dibacakan doktrin khalsa atau persaudaraan umat, yang diikat oleh panth, kekuasaan kolektif tertinggi. Sang guru mengumumkan bahwa dialah guru terakhir. Umat, kemudian, diminta hanya berpedoman pada kitab Dasum Granth. Untuk mengukuhkan persaudaraan, persatuan, dan kesetiakawanan, diwajibkanlah: mulai hari itu para lelaki Sikh melakukan lima ciri Sikh. Yakni, kesh, memanjangkan rambut dan cambang, kangha, menghias rambut dengan sisir, kara, mengenakan gelang baja di kedua pergelangan tangan kachera, bercelana pendek dan kirpan, membawa pedang pendek ke mana pergi. Lima kewajiban ini masih ditambah satu lagi: menambahkan kata singh, ini artinya singa, di belakang nama laki-laki Sikh. Maka, lengkaplah bekal lahir-batin kaum Sikh untuk menghadapi masa depannya, yang ternyata memang merupakan perjuangan tak henti-hentinya. Suatu kebetulan, bila di saat Sikh mendapatkan guru yang tak hanya siap berjuang secara spiritual, tapi juga fisik itu, dinasti Moghul melemah. Ketika itulah, berdiri Kerajaan Sikh dengan rajanya bernama Ranjit Singh. Meskipun usia pemerintahan Sikh ini singkat- keburu datangnya Inggris yang menguasai seluruh India- membuktikan sudah bahwa sebenarnya mereka bisa mengatur diri sendiri. Singa Sikh Bernama Bhindranwale DAN kemudian sejarah Sikh adalah juga sejarah negara-negara Asia Afrika di abad ke-19. Kolonialisme. Ranjit Singh, yang dinobatkan pada 1802, akhirnya tahun 1840-an dikalahkan oleh tentara Inggris, dan dibuang. Inggris mewariskan pada Sikh dua hal: yang menguntungkan dan yang membuat perjalanan kaum Sikh kemudian terbentur-bentur. Menurut sejumlah pengamat sejarah, tanpa Inggris kemajuan Sikh di Punjab tak akan seperti sekarang. Inggrislah, kata mereka, yang kemudian membekali kaum Sikh dengan berbagai keterampilan. Ini bisa terjadi karena politik kolonial Inggris atas Punjab kebetulan mengena di hati orang Sikh. Kalahnya Sikh tidaklah diikuti dengan penghinaan. Justru seolah Inggris lebih memahami mereka daripada orang India yang lain: Inggris mengakui agama Sikh dan menghadiahkan tanah. Berontaknya pandi, pasukan pribumi dalam tentara kolonial, bisa dipadamkan karena bantuan orang Sikh. Hal inilah yang nanti, di masa India merdeka, jadi bisul. Peperangan dengan Hindu pelan-pelan memasukkan kesadaran dalam kelompok Sikh bahwa mereka berbeda. Bila ketika itu Punjab dianggap sebagai bagian dari India seluruhnya, apakah bukan hanya karena sama-sama diduduki Inggris? Maka, pada tahun 1940-an, menjelang India merdeka, muncul untuk pertama kalinya isu Punjab merdeka. Tapi menjadi minoritas di antara mayoritas Hindu dan Islam, gerakan Punjab merdeka seperti tanpa gema. Yang terjadi malah pembagian wilayah. Bagian Punjab yang mayoritasnya Sikh dipisahkan dari yang mayoritasnya Islam. Ketika kemerdekaan India terwujud, perpecahan itu jadi nyata: Punjab mayoritas Islam masuk ke wilayah Pakistan. Punjab tetap saja menjadi negara bagian India. Bahkan kemudian dibagi lagi: jadi Punjab sekarang dan Haryana, yang merupakan wilayah mayoritas Hindu. Tapi hubungan baik dengan Inggris membawa keuntungan bagi anak-cucu Sikh. Umumnya mereka mendapat iklim pendidikan yang baik. Maka, di wilayah luas India merdeka, kaum Sikh mampu mengembangkan diri. Sebagian dari mereka jadi kelompok kaum berpunya India, dan hampir di tiap bidang orang Sikh merebut kedudukan cukup tinggi. Sayangnya, mereka tak juga bisa mengatasi suasana psikologis sebagai orang minoritas. Mungkin ini suatu hal yang universal. Di luar Punjab, orang Sikh tetap berkelompok secara eksklusif dan bertabiat defensif. Pada tahun 1970-an, generasi Sikh yang lahir pada awal kemerdekaan India jadi dewasa. Mereka ternyata lebih bersikap "simpel", lebih hitam putih. Isu Punjab merdeka pun kembali muncul. Dan mulailah luka lama pada masa penjajahan terbuka kembali. Permusuhan Hindu-Sikh, yang sengaja atau tidak disebabkan rekruitmen Sikh ke dalam pasukan Inggris, pun kambuh. Sejak itu berita perkelahian Hindu-Sikh jadi acara hampir rutin di surat-surat kabar. Pemerintah pun menambah bujet untuk memperbanyak polisi. Menurut penulis V.S. Naipaul, dalam The New York Review, perkembangan sosial-politik India merdeka- kemerdekaan pers, undang-undang dasar, hukum, moral, tanggung jawab intelektual-semua itu agak sulit dicerna oleh generasi muda Sikh. Memang bukan salah mereka semata. Doktrin Guru Gobind Singh, yang pada akhir abad ke-17 memang diperlukan, pada abad ke-20 jadi hambatan. Lihat satu hal saja, cara penampilan lelaki Sikh itu. Ini secara psikologis membuat mereka jadi eksklusif dan cenderung memisahkan diri untuk berkelompok di antara sesamanya. Ditambah kitab Dasum Granth yang tentu saja tak bisa diubah lagi, mau tak mau generasi baru Sikh tahun 1970-an yang tak mengalami masa-masa penjajahan jadi sempit horison pemikirannya dan kurang luwes. Sifat itu memang baru kecenderungan. Tapi sebuah kelompok yang cenderung homogen, untuk bangkit dan bisa melakukan apa saja, tinggallah menunggu seorang pemimpin. Dan pemimpin itu memang datang. Setengahnya, kata orang, Indira Gandhi- perdana menteri waktu itu -- ikut memunculkannya. Namanya Jarnail Bhindranwale. Nama kedua itu adalah nama dusun kelahirannya. Ia salah satu dari sembilan anak seorang petani miskin. Dalam usia empat atau lima tahun bapaknya mengirimkannya ke sebuah sekolah (keagamaan) di Mehta Chowk, tak jauh dari Amritsar, tempat Kuil Emas berada. Pada usia 30 tahun ia jadi pengelola sekolah itu. Pendidikan di sini, sekolah yang dinding batu batanya hanya dilapis dengan tanah liat itu, sangat spartan. Bhindranwale ini, misalnya, jadi seorang lelaki yang punya disiplin tinggi. Ia vegetarian, mencintai musik keagamaan, tak suka wanita, dan menahan nafsu seks bagaikan seorang pastor. Orang seperti inilah yang pada usia 30 tahun memulai berkhotbah, dan segera saja "kesalehan"nya menyebar ke seluruh penjuru India utara. Seorang bersaksi pada Naipaul, pada 1977, di Kota Gayanagar di Rajasthan, khotbahnya dihadiri tiga ribuan orang Bhindranwale, sekitar 45 menit, memukau hadirin dengan bahasanya yang sederhana, dengan nasihatnya yang langsung. "Jangan kalian minum minuman keras, itu merusak dan menimbulkan rasa berdosa. Tiap orang ingin seperti ayahnya. Dan ayah tiap Sikh adalah Guru Gobind Singh. Maka, pelihara rambut kalian hingga panjang, dan buanglah pikiran jahat dari dalam diri." Di sebuah negeri tempat orang berjubel, sebuah agama yang sederhana dan langsung akan lebih mudah dipahami daripada filsafat yang berbelit-belit. Agama semacam ini akan dengan mudah diserap mereka yang menderita, miskin, dan sengsara. Maka, selangkah lagi agama akan identik dengan pemberontakan. Itulah yang terjadi ketika Jarnail Bhindranwale melangkah menuju Kuil Emas di Amritsar. Kuil Sikh yang didirikan oleh Guru Kelima itu, Arjun Mal, sudah beberapa kali diperbaiki. Pada 1983 itu, kuil itu atapnya tetap bercahaya menyilaukan. Pada saat itulah, di dalam Kuil Emas itu, cita-cita Partai Alkali Dal, partai Sikh, dicoba diwujudkan. Alkali Dal bukanlah partai radikal. Tuntutannya sebenarnya masuk akal. Yakni kekuasaan pemerintah New Delhi di Punjab harap dibatasi. Pertahanan, politik luar negeri, perhubungan, dan keuangan silakan diambil. Tapi yang lain-lain, misalnya soal pertanian, perdagangan dalam negeri, biarkan Punjab mengaturnya sendiri. Tapi, PM Indira Gandhi kala itu cemas, Partai Alkali Dal bisa berkembang. Ia mendukung Bhindranwale yang fundamentalis, untuk mengacaukan Alkali Dal. Benar, dalam waktu singkat, orang yang keluar dari pertapaannya di Mehta Chowk itu berhasil menarik para pemimpin Alkali Dal bergabung. Namun, bukan sebagaimana diharapkan oleh Nyonya Gandhi, di bawah si berewok yang kurus dan tampak selalu kelaparan ini- ciri orang yang berbahaya, kata psikolog- tak lalu mereka membatalkan cita-cita semula. Justru mereka ingin mewujudkan impian itu menjadi kongkret. Dalip, reporter sebuah mingguan yang pada 1983 berhasil masuk dan berkenalan dengan Bhindranwale, bisa menceritakan betapa gampangnya pemimpin ini memutuskan sesuatu. Suatu hari, datang ke Kuil Emas, seorang Sikh yang menceritakan bahwa ia baru saja ditangkap seorang kepala polisi, dan rambut serta cambangnya dicukur. Sang pemimpin menyuruh salah seorang pembantunya mencatat semua laporan itu. Dan sekitar dua minggu kemudian, kepala polisi itu telah ditembak. Mungkin, dalam sebuah revolusi atau perjuangan, ini soal biasa. Tapi waktu itu kerusuhan di Kuil Emas pun belum meledak. Pemerintah New Delhi masih terus menawarkan perundingan. Memang, seperti kemudian diketahui, waktu itu Bhindranwale membentengi Kuil Emas dengan para Sikh radikal bersenjata modern. Apa yang dilakukan Bhindranwale sendiri selama itu sungguh bertentangan dengan suasana pengumpulan pasukan dan senjata. Tiap pagi, ketika jam masih menunjuk ke angka tiga, ia akan bangun dari tempat tidurnya yang hanya berkasur tali- tali direntang. Ia akan mendekati ruang utama, mendengarkan beberapa musikus buta melantunkan syair-syair dari Dasum Granth. Di kesunyian dini hari, ketika tak satu sosok orang pun hadir, suasana itu sungguh damai dan syahdu. Inilah yang dilakukan Bhindranwale, tiap pagi, selama sekitar satu jam. Tampaknya dalam diri orang yang pancaran matanya selalu mencerminkan kemarahan itu, terdapat kepribadian yang kompleks. Ia bisa tampil dengan berbagai topeng. Dan topeng kekerasan serta kesempitan berpikirlah ketika ia tak mampu berunding. Maka, ketika akhirnya Nyonya Gandhi sebagai perdana menteri menyetujui penyerbuan Kuil Emas yang diduduki oleh Sikh radikal, Juni 1984, mayat pun bergelimpangan. Para wartawan mengatakan bahwa korban mencapai 2.000 orang tewas. Dan di antara mereka adalah pengkhotbah dari Dusun Bhindranwale itu: tergeletak di sebuah ruangan, tubuhnya berlubang-lubang ditembus peluru. Sang singa tak bisa mengaum lagi. Dan Teror pun Terus Berlanjut PEMBUNUHAN Rajiv Gandhi, bulan lalu, memang kecil kemungkinannya ada sangkut pautnya dengan kaum Sikh. Tapi pemilu itu sendiri, bagi Sikh, bisa jadi alasan yang masuk akal untuk menyulut huru-hara di negeri beragam bahasa dan hampir semilyar warga ini. Soalnya, setelah Bhindranwale diberondong peluru, dan di Kuil Emas tak lagi ada tumpukan senjata, tak lalu Sikh radikal jadi melempem dan mati. Dari lorong-lorong jalan di Punjab, yang di kanan-kirinya dihampari sawah-sawah subur, semangat membunuh tetap hidup diam-diam. Cita-cita Partai Alkali Dal memang jadi surut. Yang tampil, menurut laporan penulis V.S. Naipaul yang berkeliling di Punjab akhir tahun lalu, adalah semangat membalas dendam pada musuh dan pengkhianat. Padat masa kampanye sebelum Rajiv terbunuh, dan kampanye pekan lalu, bila yang banyak jadi korban adalah para Sikh moderat yang mendukung pemilu karena mereka memang dianggap pengkhianat. Pemilu, itulah simbol kekuasaan New Delhi, kata para Sikh radikal. Itulah akibat penyerbuan Kuil Emas Juni 1984 lalu. Dari sisi sejarah, orang bisa mengatakan, kebijaksanaan Nyonya Indira Gandhi tak seluwes kolonial Inggris merangkul Sikh. Tak ada jalan lain, kata para komandan yang siap tempur ketika itu kepada perdana menteri itu. Mungkin para komandan benar. Masalahnya, bagaimana kemudian memahami sekelompok minoritas dengan penampilan dan sikap eksklusif ini. Memang tak mudah karena di dalam Sikh itu sendiri tersebut sejumlah tokoh moderat. Mereka bukannya lupa memperjuangkan Punjab yang berdaulat. Tapi mereka punya kesabaran dan keluwesan diplomasi. Dan mereka bentrok sendiri dengan Sikh radikal. Pendekatan damai dengan yang moderat oleh pemerintah New Delhi, ternyata kemudian, tak membawa hasil apa pun selain terbunuhnya tokoh-tokoh pendamai itu. Lalu, apakah sebaiknya tak apa pun diperbuat? Alternatif kedua terdengar bagaikan suara putus asa. Pada 24 Juli 1985, PM Indira Gandhi menandatangani perjanjian dengan Harchand Singh Longowal, ketua Partai Alkali Dal. Isi perjanjian itu, pemerintah New Delhi akan memberikan otonomi lebih besar, sebagaimana yang diminta oleh Pemerintah Daerah Punjab. Sebagai timbal baliknya, Pemerintah Daerah Punjab diminta mengamankan wilayahnya, sesuai dengan undang-undang dasar India. Lalu, belum sebulan setelah upaya itu, pada 20 Agustus 1985, Longowal, 54 tahun, seorang tokoh moderat berwajah damai, bersembahyang di sebuah kuil Sikh di dekat Sangrur, di jantung Punjab. Ia ingin memohon kepada Sang Satya, Kebenaran Tunggal, agar Punjab selanjutnya dilingkupi damai. Beberapa hari sebelumnya, ia berada di ibu kota Punjab, Chandigarh, mengadakan pertemuan dengan koleganya mencari cara-cara menenteramkan wilayah yang selalu resah ini. Longowal sujud di hadapan kitab Dasum Granth, dan ketika itulah seorang pemuda yang duduk dekat sang Ketua Partai mencabut pistolnya. Tapi seorang remaja yang kebetulan di kuil itu juga, langsung meloncat, merobohkan dirinya pada sang penembak. Pistol pun meletus, dan si remaja jatuh. Darah mengalir, dan ia pun tewas. Seorang Sikh, yang diduga adalah pengawal Longowal, meloncat ke dekat ketua partai itu. Ia lalu berteriak agar semua orang tenang. Ia berjalan berkeliling, dan tiba-tiba menembak. Bukan pemuda yang mencabut pistol pertama tadi yang roboh, melainkan Longowal yang terkulai. Dan beberapa menit kemudian, orang Sikh moderat itu meninggal di sebuah rumah sakit terdekat. Longowal, menurut ukuran para radikalis di Punjab, mungkin memang pantas dihabisi. Tapi bagaimana menjelaskan kisah dibantainya enam orang anggota sebuah keluarga di sebuah desa sekitar 16 km dari Mehta Chowk, suatu hari pada akhir tahun lalu? Malam itu, keluarga tersebut sedang makan malam. Sebagian anggota keluarga berkumpul di sisi kamar tengah, yang dindingnya memisahkan ruang itu dengan halaman. Sebagian mereka sedang menyeruput teh panas. Sekitar pukul 9, terdengar suara gaduh di luar. Seseorang memanggil-manggil, "Orang yang baru datang dari Jodhpur, dan pura-pura seperti seorang yang saleh, silakan keluar." Joga, 23 tahun, salah seorang di antara anggota keluarga itu, mula-mula menduga bahwa suara itu adalah suara salah seorang tetangga. Tapi nada suara itu kemudian meyakinkan lelaki muda tampan ini bahwa panggilan itu datang dari "para Singh"- orang-orang Sikh yang disumpah, yang tergabung dalam atwadi atau teroris. Begitu yakin bahwa mereka orang Singh, Joga, yang sedang memangku kemenakannya, cepat-cepat membawa anak tujuh tahun itu bersembunyi di bawah velbet. Buta, kakak sulung Joga, bapak si anak tujuh tahun itu, lalu berdiri dekat pintu. Ia mendengar kata Jodhpur. Dan ia maklum, dialah yang dimaksudkan. Dengan dua atau tiga ratus Sikh, Buta pernah ditahan selama empat tahun, Juni 1984-September 1988, di benteng Jodhpur. Mereka dituduh teroris. Ia ditahan karena ketika operasi tentara untuk melumpuhkan kelompok Bhindranwale dilakukan, ia kebetulan berada di dalam kuil. Ia bukan teroris. Ia datang ke Kuil Emas dengan maksud menyerahkan sesaji untuk memperingati hari meninggalnya sang martir, yakni guru kelima yang dihukum mati oleh Kaisar Jahangir. Tapi toh ia harus mendekam empat tahun. Lelaki yang baru 32 tahun itu, yang wajahnya menunjukkan telah bertahun-tahun menderita, membuka pintu, dan lalu berdiri persis di depan ambang. "Di mana Buta Singh?" tanya si pemanggil. "Sayalah Buta Singh." "Ikut kami," sambung orang itu, lalu berpaling pada temannya, dan katanya, "ikat tangannya." Beberapa orang lalu menerkam Buta, dan mengikat tangannya. Buta berontak, sambil berteriak, "Tidak! Tidak!" Dua orang Singh menembak. Peluru menembus di bawah tulang rusuk Buta. Buta terhuyung, dan jatuh ke belakang, ke dalam ruang tengah itu. Ketika itulah, meledak teriakan di rumah itu. Ibu Buta menjatuhkan diri di tubuh anaknya, sambil berteriak, "Jangan bunuh dia!" Jarnail, saudara Buta, dan Balwinder, istri Buta, ikut menjatuhkan diri di atas tubuh Buta. Seorang Singh menarik rambut Balwinder, dan kemudian menembakkan AK-47-nya. Ayah Buta tiba-tiba lari keluar. Ia berlari menuju seorang Singh yang berdiri memegang AK-47. Ayah itu mencoba merebut senjata itu, tapi sebuah tembakan di kepalanya mengakhiri usahanya. Sesudah itu, delapan atau sembilan Singh itu pergi ke rumah di sisi kanan. Itulah tempat tinggal Natha Singh, paman Buta. Ketika pintu depan tak juga kunjung dibuka, mereka berjalan ke belakang rumah dan meloncati tembok rendah, masuk halaman. Natha- bapak lima anak, dan yang sulung perempuan, terkena polio- keluar menemui para Singh. Mereka minta Natha membawa mereka dengan traktornya ke rumah Baldev. Benar, kata mereka lagi, bahwa Baldev anggota gerakan mereka. Tapi orang itu sudah berkhianat, ia melanggar sumpah karena berani bersembahyang di sebuah kuil di Jalandhar. Baldev ternyata tak di rumah. Rupanya, begitu mendengar tembakan, ia langsung menghilang. Beberapa hari sebelumnya, ia telah menerima surat ancaman. Maka, Natha pun mengendarai traktornya pulang. Sesampai di depan rumah, Singh menembaknya mati. Esoknya, di rumah Buta, ditemukan selembar kertas bersimbah darah. Itulah keterangan mengapa Singh datang membunuh. Buta dan Natha Singh dituduh menjadi penyebab terbunuhnya dua Singh dua bulan lalu, di sekitar 2 km dari rumah Buta. Dua orang Singh itu dicari polisi, dan kepala salah seorang di antaranya berharga 30.000 rupee. Buta, saudaranya, ayahnya, ibunya, neneknya, serta seorang kemenakannya tewas. Juga Natha. Menurut keterangan polisi, Buta dibunuh karena ia menolak bergabung dengan para Singh. Oleh para Singh itu, bila Buta bergabung, gengsi mereka akan naik. Sebab, Buta dikenal sebagai orang yang dekat dengan Bhindranwale. Tapi ada informasi lain. Begitu bebas dari tahanan di Jodhpur, Buta mengajukan permohonan kredit minibus. Kesempatan ini memang terbuka bagi orang seperti Buta karena ia seorang sarjana muda. Gelar itu diraih Buta dalam tahanan- ia memanfaatkan waktunya untuk ikut kuliah. Beberapa hari kemudian ia pergi ke Jalandhar, untuk menanyakan adakah permohonannya dikabulkan atau tidak. Tapi Buta tak pulang ke rumah, ketika semestinya ia sudah pulang. Keluarganya bingung, lalu mencari tahu ke Jalandhar. Ternyata, Buta ditahan oleh Sentral Pasukan Polisi Cadangan. Sembilan hari kemudian ia baru dibebaskan. Mengapa ia ditahan, dan apa yang terjadi selama sembilan hari itu, tak seorang keluarga dan orang di kampung Buta tahu. Yang bersangkutan tak pernah bercerita tentang itu. Yang jelas, ketika pulang ke rumah Buta dalam keadaan takut. Dan sejak itu, ia selalu minta ditemani bila pergi ke luar kampung, untuk tujuan apa pun. Jadi, apa yang terjadi dengan Buta? Pembunuhnya mengatakan, ia bertanggung jawab atas terbunuhnya dua orang Singh. Polisi mengatakan, ia dihabisi karena menolak bergabung. Mungkin kedua alasan itu salah, atau semuanya benar. Itulah kenyataan yang kini merobek-robek Punjab. Mereka yang sedikit saja berjalan tak searah dengan kaum radikal atau Singh, atau teroris atau apa pun namanya, akan membayar dengan darahnya- dan darah itu tak pernah bisa dikembalikan. Inilah warisan dari Bhindranwale, yang menurut para Sikh radikal adalah tokoh yang kurang pikir. Yang mengakibatkan orang hanya berpikir lurus, hitam putih. Tapi menurut khalayak lapisan bawah Sikh, dialah orang yang bisa mengkhotbahkan gagasan-gagasan dan perjuangan Sikh secara gampang dipahami. Buta rupanya memang tak cocok dengan keadaan itu. Ia seorang sarjana muda, dan mungkin orang pertama dalam keluarganya yang mencapai pendidikan setinggi itu. Lihat saja potret dirinya di dinding rumahnya: sungguh tak serasi. Di situ ia berkaca mata, tapi guratan wajahnya adalah wajah yang keras- seperti wajah-wajah pembunuhnya. Ia seperti berada di simpang jalan. Cara berpikir pendek dan hitam putih telah mengakibatkan nyawanya melayang. Padahal, inilah potret keluarga yang punya masa depan. Tiga hari sebelum peristiwa itu, istrinya berniat membuka kursus Inggris untuk tingkat menengah, di dusun tetangga. Istri Buta memang berpendidikan dan, tampaknya, ide dan semangat kuliah Buta di penjara Jodhpur datang dari sang istri. "Ini hal yang sudah lama saya cita-citakan. Saya pikir impian saya segera terwujud,"kata istri itu pada seorang wartawan Hindustan Times. "Tak kusangka, pulangnya suamiku dari Jodhpur membawa bencana." Lebih mengenaskan adalah nasib keluarga Natha Singh, paman Buta. Istriya buta huruf dan anak sulungnya, perempuan, masih 14 tahun, terkena polio. "Saya tak tahu apa yang harus kulakukan. Seluruh duniaku sudah runtuh." Tapi satu kenyataan membuat heran Naipaul yang berkeliling di Punjab itu. Ia tak menyaksikan sendiri semua peristiwa pembunuhan itu. Ia merekonstruksikannya lewat cerita para sanak saudara. Yang ia herankan, mereka semua bercerita seolah-olah kejadian itu menimpa orang lain yang jauh, yang tak mereka kenal. Mereka bercerita begitu dingin, tanpa emosi. Jawaban datang kemudian, setelah kisah yang sama seperti yang dialami Buta ternyata terjadi pada banyak keluarga. Jadi mereka bisa bercerita dengan dingin, karena mereka tahu, mereka tak sendiri. Beribu, bahkan belasan ribu, keluarga lain mengalami nasib serupa. Yang juga sulit dipahami, mengapa para pembunuh itu menggunakan AK-47, senjata otomatis, yang bisa menyebarkan 32 peluru sekaligus hanya dalam waktu dua setengah detik. Maka, korban pun akan lebih banyak daripada sasaran sebenarnya. Ini memang sebuah teror dari sebuah monster yang menakutkan. Dan monster itu berupa sebuah gagasan abstrak yang begitu sederhana, yang meyakini tumpahnya darah sebagai jalan satusatunya. Lihat saja di sebuah dusun, AK-47 itu telah merenggutkan 26 nyawa kurang dari tiga menit. Di antara para korban adalah bayi yang baru sebulan, dan seorang kepala keluarga berusia 91 tahun. Perang, atau revolusi, memang bisa sangat kejam. Perangkah yang terjadi di Punjab? Revolusikah itu namanya? Dalam perjalanan pulang, penulis Naipaul bertemu dengan Sikh muda, tampan, dan rasanya kaya. Benar. Orang muda itu bercerita bahwa ia mendengar tentang Buta dan yang lain-lain. Tapi ia tak bisa apa-apa. Ia seorang pengusaha, dan sukses. Ia membangun rumah modern dengan toilet yang lancar airnya dan lain-lain. Tapi kini ia berpikir untuk meninggalkan rumahnya. Ia tak ingin bergabung dengan para radikalis. Ia tak mampu hidup seperti mereka. Maka, ia lebih baik pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus