Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Livi Zheng mengaku sulitnya mencari rekan kerja perempuan yang bisa membantunya dalam membuat film. Bahkan di luar negeri sekali pun, Livi Zheng merasa sendiri dan tak bisa berbagi beban tugas dengan sesama perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kamu merasa seperti satu-satunya perempuan di bidang itu karena di sekitarmu laki-laki semua," kata Livi Zheng kepada Tempo. "Tapi kondisi itu tidak terlalu mengganggu karena aku tomboy dan punya banyak teman laki-laki."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati Livi Zheng tidak merasa ada kendala dalam bekerja di dunia film di Amerika Serikat, dia pernah membuktikan sulitnya mencari asisten perempuan. "Dari 350 pendaftar, hanya dua yang perempuan."
Sejatinya Livi Zheng memang membutuhkan rekan kerja perempuan. Salah satu alasannya, tak perlu pesan dua kamar ketika bepergian dan kerap sulit mencari dua tempat terutama jika sedang mengikuti acara. "Saya sudah menunggu untuk mendapat lebih banyak kandidat perempuan, tapi tidak ada. Hanya dua itu saja," ucap perempuan kelahiran Blitar, 3 April 1989, ini.
Livi Zheng berbagi pengalaman di kampus UK Petra Surabaya, 4 November 2015. FOTO: Kurniawan Arief.
Ketika berkenalan dengan industri film di Amerika, Livi Zheng sudah 'kenyang' dengan penolakan. Setelah 32 kali mendapat jawaban 'no', akhirnya film karyanya "Brush with Danger" meluncur pada 2014. Ketika itu, Livi Zheng berhadapan dengan tiga stigma yang disematkan orang ketika baru mengenalnya: perempuan, orang Asia, dan masih muda. Namun tiga hal itu tak menghentikannya untuk meraih mimpi.
Bukannya tak mau membangun karier di Indonesia, Livi Zheng menjelaskan memulai karier sebagai sutradara di Amerika adalah satu-satunya pilihan untuknya. "Sebenarnya saya tidak punya pilihan karena saya sekolah di sana dan keluarga selalu mendorong untuk punya cita-cita yang tinggi," ucapnya. Livi Zheng mengenyam pendidikan S1 di jurusan ekonomi di University of Washington dan mengambil S2 di bidang film di University of Southern California.
Frasa cita-cita yang tinggi itu kemudian diterjemahkan, 'kalau mau masuk industri film, ya harus ke Hollywood. Kalau mau main game, bikin game sendiri'. Livi Zheng dan keluarga sejak awal sudah siap dengan berbagai tekanan dan tantangan yang akan dihadapi di industri film. "Keluarga sangat mendukung. Mereka bilang, 'kalau kamu gagal, itu bagian dari proses'," ucapnya.
CATATAN KOREKSI: Berita ini diubah pada 8 September 2019 untuk memperbaiki akurasinya.