Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Suara Akbar Roboh

Akbar kalah telak dalam konvensi calon presiden Partai Golkar. Karier politiknya belum habis?

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASA terlihat "dingin" dalam segala cuaca, Akbar Tandjung kelihatan agak "panas" Kamis pekan yang lalu ketika ia memimpin rapat pengurus pusat Partai Golkar di Slipi, Jakarta. Mendengar kawan-kawan dekatnya terus menggerutu tentang hasil konvensi Partai Golkar, yang dimenangi Wiranto Selasa pekan lalu, Akbar dengan suara keras berkata, "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Masih ada tugas yang jauh lebih penting."

Rapat itu memang bukan ajang evaluasi hasil konvensi. Akbar sebagai ketua umum partai kemudian mengajak kawan-kawannya kembali terfokus pada agenda utama rapat: mencari partai lain yang hendak diajak berkoalisi dan mencari calon wakil presiden yang akan mendampingi Wiranto.

Melangkah ke depan bagi politisi seulung Akbar memang lebih penting ketimbang terus meratapi kekalahan dua hari sebelumnya. Jika Wiranto pada 5 Juli mendatang menang dalam pemilu presiden, bukankah banyak hal menarik yang bisa dilakukan Partai Golkar dan tentu juga Akbar?

Toh para pendukung Akbar tetap sulit melupakan konvensi yang di atas kertas di tangan Akbar itu. Bayangkan. Begitu masuk arena konvensi, sebelum suara daerah dikumpulkan, Akbar sudah mendapat modal 18 suara dari pengurus pusat partai. Ketika putaran pertama Akbar unggul dengan 147 suara—dengan Wiranto di urutan dua (137 suara), Aburizal Bakrie dengan 118 suara, Surya Paloh 77 suara, dan Prabowo Subianto 39 suara—sebenarnya pendukungnya mulai khawatir. Akbar gagal mengumpulkan suara 50 persen plus satu untuk langsung menang di putaran pertama.

Tapi tim sukses Akbar masih menyisakan harapan. Mereka yakin suara Aburizal Bakrie dan Prabowo bisa melimpah ke tangan Akbar. Dengan itu, "Setidaknya 60 persen suara bisa diraih oleh Bang Akbar," kata Ferry Mursyidan Baldan, salah satu anggota tim sukses.

Ternyata kubu Wiranto juga mengincar suara untuk Aburizal. Jadilah Ical—panggilan Aburizal—dilobi kanan-kiri. Menjelang putaran kedua, Akbar mengutus Mohammad S. Hidayat, yang juga Ketua Kamar Dagang Indonesia, membujuk Ical agar mengalihkan suara pendukungnya untuk Akbar. Beberapa menit setelah perhitungan putaran pertama diumumkan, Hidayat mendekati Ical dan membisikkan sesuatu. Ical pun mengangguk dan tersenyum.

Rupanya, tidak mudah menafsirkan arti "senyum politik" Aburizal itu. Beberapa menit setelah pemungutan suara putaran pertama, Wiranto berpindah duduk di samping Prabowo Subianto. Bekas komandan dan anak buah itu sempat berbicara beberapa patah kata, kemudian keduanya tersenyum dan saling menggenggam tangan. Tak lama setelah itu, Wiranto bangkit keluar ruangan konvensi dan masuk salah satu ruangan di gedung itu. Di dalam ruangan sudah ada Aburizal Bakrie. Pertemuan itu singkat, hanya beberapa menit. Keduanya berpisah dengan senyum lebar dan tangan saling menepuk bahu.

Prabowo, Aburizal, dan Surya Paloh memang target utama tim kampanye Wiranto. Tommy Sutomo, manajer tim, mengakui bahwa mereka meminta ketiganya mengalihkan suara untuk Wiranto di putaran pertama. Tapi mereka menolak dan hanya mau mengalihkan suara pendukungnya pada putaran kedua. "Ini yang bikin kami deg-degan," kata Tommy kepada Koran Tempo.

Janji mengalihkan suara pada putaran kedua itu ditepati—entah dengan iming-iming apa. Di putaran kedua, Akbar hanya bisa meraih 227 suara dan Wiranto unggul dengan 315 suara, melebihi hitungan di atas kertas. Kejutan besar yang membalikkan perhitungan tim sukses Akbar.

Kemenangan Wiranto itu disambut sorak-sorai. Di lobi Balai Sidang Senayan, tempat konvensi berlangsung, para pendukung Wiranto meneriakkan yel-yel gembira begitu nama Wiranto disebut, tapi berubah menjadi "huuuuuuu" begitu nama Akbar disebut.

Kubu Akbar kecewa. Mahadi Sinambela, ketua tim sukses Akbar, pun tak bisa menutupi kegusarannya. Menurut dia, apa yang dilakukan Akbar sudah mati-matian. Tiap minggu dalam setahun terakhir, Akbar nyaris tak pernah ada di Jakarta. Ia selalu menyambangi daerah. Tentu tak cuma pengorbanan waktu, tapi juga biaya. "Yang bikin repot, tim sukses juga tidak all out membela Bang Akbar," kata dia lagi.

Dibandingkan dengan tim sukses calon lainnya, tim kampanye Akbar boleh dibilang tampil ala kadarnya. Tak ada aksi seni "menjual diri" yang canggih. Stan promosi Akbar di lobi Balai Sidang Senayan nyaris sepi dari kunjungan. Padahal dua stan lainnya, yaitu Surya Paloh dan Prabowo, ramai dengan gadis cantik yang siap membagikan berbagai suvenir, dari permen, koran gratis, buku, kaus, hingga majalah.

Tim sukses Wiranto punya cara sendiri. Stan mereka dinamai "Warung Wiranto". Berbagai fasilitas ditawarkan kepada para pemilik suara. Dari melayani penjualan tiket pesawat, bus, dan kereta api, voucher isi ulang berbagai merek, lengkap dengan foto dan profil Wiranto, sampai berbagai suvenir seperti T-shirt, kalung HP, dan pin. Masih ada lagi. Kopi, teh, dan sarapan pagi tersedia di kafetaria. Semuanya gratis, asalkan bisa menukarkan voucher yang dibagikan penjaga stan.

Kiat pemikat itu masih ditambah jurus mentraktir makan pengurus partai dari kabupaten dan provinsi, sehari sebelum acara konvensi dibuka. Acara makan siang itu dilakukan para kandidat tersebut secara berbarengan di hotel yang berbeda-beda. Wiranto, misalnya, mengajak pengurus daerah itu makan siang di markas mereka di Hotel Century Park, Senayan. Acara makan siang itu juga dihadiri Muladi dan Harmoko, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar.

Pada jam yang sama, Surya Paloh juga menggelar makan siang di Sheraton Hotel Media, Jakarta Pusat, dan Prabowo di Hotel Hilton. Setelah makan siang, mereka menerima oleh-oleh berupa paket T-shirt dan topi berwarna hitam.

Akbar bukan berpangku tangan. Dia juga mengumpulkan utusan daerah di Hotel Sahid beberapa jam sebelum konvensi digelar. Ini merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan serupa di Hotel Sahid sehari sebelumnya. Dalam undangan bertitel laporan hasil pemilu itu terselip kampanye halus Akbar Tandjung agar daerah memilihnya dalam konvensi.

Rupanya, sinyal Akbar terlalu halus dan sulit ditangkap. Sedangkan kandidat lain lebih gamblang. Wiranto menyediakan kamar hotel bagi peserta di markasnya, Hotel Atlet Century Park. Prabowo, Surya Paloh, dan Ical melakukan hal yang sama. Padahal panitia konvensi sudah menyediakan kamar sendiri bagi tiap utusan daerah.

Kamar hotel tidak lengkap tanpa uang saku. Begitulah, budaya yang mulai terdengar klise ini juga terdengar santer di konvensi: kandidat bersaing memanjakan pemilih dengan uang, seiring dengan maraknya kabar santer soal "uang saku" para utusan daerah. Jumlahnya pun beragam, dari Rp 15 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan, untuk tiga suara provinsi, ada kandidat yang berani membanting dana sampai Rp 500 juta. Tentu permainan begini sulit dibuktikan karena sangat tersembunyi dan dilakukan dengan uang cash. Kabarnya, sudah separuh dari dana itu yang cair. Separuh lagi menunggu kemenangan.

Berbagai jurus pemikat diluncurkan, banyaknya fasilitas yang diberikan belum tentu signifikan dengan dukungan yang digaet. Giliran dukungan suara dituai, tiba-tiba mereka menjadi sulit dikontak. "Kondisinya jauh berbeda. Dulu gampang dikontak. Sekarang? Kalau nomornya enggak ganti, pemilik nomornya yang ganti," kata Prabowo Subianto.

Itu juga yang dialami Akbar. Malah, menurut Akbar, mereka juga sulit ditemui di hotel. "Sudah disediakan kamar hotel, eh..., masih menginap di mana-mana," keluhnya. Wajar jika tim sukses Akbar merasa dikibuli oleh para utusan daerah. "Yang bikin parah, mereka berjanji akan memilih Bang Akbar, tapi nyatanya tidak," ujar Mahadi.

Loyalitas pada Akbar merosot? Fachrul Rozi, salah satu tim sukses Wiranto, membantahnya. "Masyarakat sudah dewasa untuk melihat dan memberikan suaranya pada orang yang siap bertarung dengan calon presiden dari partai lain. Jadi, bukan pemilihan ketua umum partai," ujarnya.

Mungkin benar. Dan karier politik Akbar memang terancam tamat. Apalagi ia sudah jelas menolak menjadi calon presiden dari partai lain—suatu kondisi yang masih hipotesis, karena memang belum terdengar ada partai yang menawarinya.

Jabatan Ketua DPR juga harus ditanggalkannya, mengingat ia tidak termasuk dalam daftar calon anggota DPR dari partainya. "Saya akan menyelesaikan tugas-tugas saya sebagai Ketua Umum Golkar dan mempertanggungjawabkannya pada musyawarah nasional Oktober mendatang," kata Akbar. Banyak yang bilang kans Akbar untuk tetap menjadi ketua umum pun berat.

Itu urusan nanti. Kini tugas utamanya tentu mencari calon wakil presiden untuk Wiranto. Sesuai dengan aturan konvensi, calon wakil presiden akan ditentukan oleh pengurus pusat partai dan calon presiden terpilih. Kabarnya, Wiranto lebih suka menimang-nimang calon wakilnya sendiri. Itu makanya ada pengurus partai yang kesal. "Jika caranya begini, mending kita semua mencoblos SBY dan Kalla. Toh mereka juga orang Golkar," teriak salah satu pengurus.

Mungkin ini ekspresi dari kubu yang kalah. Tapi, jika tidak segera didinginkan kubu Wiranto, kekecewaan begini bukan tidak mungkin mengganjal langkah bekas ajudan Presiden Soeharto itu ke pentas pemilu presiden pada 5 Juli nanti.

Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus