DI pinggir Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Pusat, berdiri
beberapa rumah bertingkat. Entah bagaimana caranya yang
bersangkutan dapat mendirikan rumah tinggal di tempat yang
menurut peraturan tidak diperuntukkan bagi pemukiman. Pemda DKI
Jakarta sendiri, meski diprotes keras para pedagang, tak dapat
ditawar-tawar lagi meneruskan pembangunan pasar bertingkat di
lapangan parkir Petak Baru (Jakarta Kota). Padahal, menurut
rencana induk 20 tahun DKI sendiri, kawasan tersebut jalur
hijau.
Tak hanya Jakarta yang mengalami desak-mendesak antara kebutuhan
akan tanah dengan peraturan-peraturan. Setidaknya begitulah yang
digambarkan Simposium Hukum Perkotaan yang berlangsung di Hotel
Sari Pasific (Jakarta) pekan silam. Dihadiri sekitar 125 peserta
dari kalangan pemerintah, perguruan tinggi dan perorangan,
simposium yang diselenggarakan BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) bertujuan menginventarisasikan masalah yang timbul
dari perkembangan kota.
Sebenarnya, menurut Kepala Puslitbang BPHN T.M. Radhie, telah
ada peraturan yang berkenaan dengan perkembangan kota. Seperti
de statuten yang 1642 atau yang lainnya. Tapi, peraturan
peninggalan kolonial yang hanya mengatur perkembangan yang
bersifat fisik saja, dirasakan tak memenuhi kebutuhan sekarang.
Kertas kerja Pemda Palembang, misalnya, menyatakan bahwa
peraturan kolonial tentang rakit tak mencukupi kebutuhan lagi.
Pemukiman di atas air, yakni rumah rakit dan perumahan di
pinggir Sungai Musi, "saat ini menunjukkan ketidakteraturan."
Sedangkan sisa buangan dan limpahan minyak yang mencemari sungai
tak terliput dalam peraturan.
Dari Bandung ada cerita menarik-seperti dikernukakan dalam
kertas kerja Ir Suwardjoko Warpani MTCP, dari jurusan Tata
Pembangunan Daerah dan Kota ITB. Kotamadya Bandung telah
mengalami tiga kali perluasan wilayah administrasi. "Dan kini
masih menghen dakinya lagi," kata Suwardjoko. Padahal, katanya
lagi, setiap perluasan selalu menimbulkan perso?lan yang tidak
Sederhana.
Kawasan yang menjadi sasaran perluasan biasanya merupakan daerah
yan sudah berkembang. Sehingga, menuru Suwardjoko, "kabupaten
mana yang rela dan lapang dada melepaskan sebagian wilayahnya
kepada daerah lain?" Sementara banyak kotamadya dihadapkan pada
kesulitan lahan bagi kegiatan penduduknya yang senantiasa
berkembang.
Untuk menutupi segala kekurangan mengenai peraturan, menurut
Radhie, Pemda-Pemda biasanya mengeluarkan macam-macam Perda
(peraturan daerah). Mulai yang mengatur soal bangunan, makam
sampai ke soal sampah. Tapi yang diperlukan, menurut Radhie
lagi, adalah sebuah aturan yang bersifat nasional "Yang bisa
dijadikan guide bagi kota-kota yang ingin menelurkan peraturan
hukum bagi pengembangan wilayahnya."
Sekitar 10 tahun lalu sebenarnya Departemen PUTL (kini PU) telah
merancang Undang-undang Bina Kota. Bahkan RUU-nya telah sempat
masuk DPR. Namun, menurut Radhie, RUU tersebut belakangan
ditarik kembali. Karena, begitu pertimbangannya, undangundang
yang dirancangkan "dinilai belum komprehensif."
Dan simposium, menurut sambutan tertulis Menteri Kehakiman Ali
Said, menggali berbagai aspek perkotaan seperti tanah,
lingkungan hidup, pemukiman dan sebagainya. Dari situlah kelak
dapat disusun undang-undang yang lebih mencakup segala
aspek--tak hanya hal-hal yang bersifat fisik seperti diatur
tempo dulu. Dalam kata-kata dapat diutarakan Ketua Tim Perumus
Simposium Sardjono Jatiman: "Jangan sampai perkembangan kota di
Indonesia sama dengan di luar negeri: mengakibatkan sifat
individualistis warganya kian menebal."
Rumah bersusun, kata Sardjono, dari segi perencanaannya mestinya
dipikirkan agar penghuninya jangan merasa "hidup seperti di
kandang merpati." Sebab itu, sambut salah seorang peserta
Simposium, "membebani sebuah kota tak hanya membutuhkan
insinyur, tapi juga ahli sosiologi, psikologi dan sebagainya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini