KALAU ada tagihan pajak lewat pos, irulah pajak khusus. Tagihan
tersebut menimbulkan kegemparan kecil di kalangan penduduk
Jakarta. Padahal pajak khusus sudah diberlakukan berdasar Perda
no. 1 tahun 1972 dan diperkenalkan kepada khalayak sejak 1974.
Jelas bukan produk baru dan kalau ada wajib pajak yang
terperanjat, ini semata-mata karena "tidak ada penerangan
sebelumnya," seperti dikatakan A.Hartoyo, 57 tahun, seorang
pensiunan pegawai sipil. "Saya sama sekali tidak tahu tentang
pajak khusus itu, tiba-tiba saja harus membayar Rp 103.500 dalam
jangka 3 tahun," tuturnya menjelaskan.
Seperti diketahui, tagihan pajak khusus dikirim langsung ke
pemilik tanah atau persil atau kapling dan pembayarannya
dilakukan sendiri di Kantor Dinas Pajak di Jalan Kebon Sirih.
Sampai kini sudah 20 lokasi di lingkungan DKI ditetapkan sebagai
sasaran pajak khusus. Tapi yang kena tagihan baru 6 lokasi,
yaitu Tomang Barat, Tomang Timur, Slipi, Tebet, Cawang dan
Rawamangun.
Menurut keterangan Kepala Dinas Pajak DKI Drs. Arsyad Siagian
semua lokasi yang jalanjalannya dibangun oleh Pemda DKI pasti
terkena pajak khusus.
Kecuali tanah milik pemerintah, tempat ibadat, lembaga sosial
(rumah sakit, rumah yatim-piatu), lembaga ilmiah (sekolah,
laboratorium) dan lembaga lain yang dianggap gubernur bebas
pajak. Kepala Dinas Pajak ini membantah keras dugaan yang
mengatakan bahwa pajak khusus itu cuma satu cara yang ditempuh
DKI untuk mengumpulkan dana tambahan bagi pembangunan kota.
Ia pun membantah tatkala dikatakan bahwa pajak itu tiba-tiba
saja digalakkan. "Operasionalnya tetap berjalan," katanya tegas,
sesudah sebelumnya menguraikan bahwa pajak khusus sebetulnya
ditarik untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan Pemda
DKI untuk pembangunan jalan. "Pemerintah membangun jalan dulu,
penduduk tinggal menikmatinya. Biaya yang sudah dikeluarkan
harus dikembalikan, supaya dapat membangun jalan di lokasi
lain," tambah Arsyad.
Tak Lancar
Pajak khusus sebenarnya berakar pada UU Pembentukan Kota (Seads
Vorming Ordonantie, Stbl. 1948 No 168). Tapi dulu prakarsa
pembuatan jalan datang dari penduduk yang jika sudah mencapai
kesepakatan lantas mengajukan permohonan kepada Pemda. Pada saat
itu mereka sudah siap dengan dana 60% dari biaya keseluruhan.
Sisanya ditanggung pemerintah. Sekarang justru terbalik. Menurut
Siagian, sekarang cuma 40% yang ditanggung penduduk. "Karena
banyak penduduk yang bebas pajak khusus yaitu mereka yang
terkena proyek MHT," ujar pejabat Krsebut. Proyek MHT (Moh.
Husni Thamrin) ialah proyek perbaikan kampung dengan biaya
pinjaman Bank Dunia..
Penagihan pajak khusus tersebut tak begitu lancar. Hambatan
pertama datang dari penduduk yang merasa penghasilannya terlalu
rendah untuk membayar pajak tersebut. Hambatan kedua dari kaum
spekulan, yang karena tahu akan dibangun jalan, langsung saja
melipatgandakan harga tanah. Untuk menghindarkan hal-hal
semacam itu, Siagian berpendapat, sebaiknya pajak dikenakan pada
waktu jalan baru pada tahap perencanaan.
Besar-kecil tarif pajak tergantung letak persil. Persil yang
berbatasan langsung dengan jalan raya dikenakan 70% x 60% x «
dari biaya jalan. Sedangkan persil yang berdampingan dikenakan
30% x 60% x «. Tapi faktor lain juga ikut menentukan, Seperti
besar-kecilnya jalan yang dibangun, panjang-lebar sisi persil
serta biaya pembangunan jalan per meter.
Menurut Siagian, pajak khusus sebenarnya tidak terlalu berat,
karena cukup dibayar sekali dan bisa diangsur. Bahkan bagi
mereka yang membayar lunas sebelum batas waktu diberi potongan
10%.
Tapi apa yang dialami Nyonya Panut justru sebaliknya. Pajak
khusus keluarga Panut, tetangga Hartoyo di kawasan Tomang itu,
seluruhnya Rp 98.000. Mereka sudah membayar angsuran dan
diperkirakan lunas tahun 1979. Tiba-tiba, tahun itu juga terkena
denda Rp 7.000, karena dianggap belum lunas. "Saya yang membayar
pajak itu jadi heran juga. Sebetulnya saya memang harus membayar
Rp 150.000, tapi karena ada teman yang kerja di Kantor Pajak,
saya menawar," kata Nyonya Panut yang bekerja di Apotik Tomang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini