Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pajak Itu Mengagetkan

Tagihan pajak khusus di Jakarta kepada pemilik tanah atau persil atau kapling yang kena pembangunan jalan jalan, berdasarkan perda no.1 th 1972, mengalami hambatan karena wajib pajak tidak tahu menahu peraturan.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada tagihan pajak lewat pos, irulah pajak khusus. Tagihan tersebut menimbulkan kegemparan kecil di kalangan penduduk Jakarta. Padahal pajak khusus sudah diberlakukan berdasar Perda no. 1 tahun 1972 dan diperkenalkan kepada khalayak sejak 1974. Jelas bukan produk baru dan kalau ada wajib pajak yang terperanjat, ini semata-mata karena "tidak ada penerangan sebelumnya," seperti dikatakan A.Hartoyo, 57 tahun, seorang pensiunan pegawai sipil. "Saya sama sekali tidak tahu tentang pajak khusus itu, tiba-tiba saja harus membayar Rp 103.500 dalam jangka 3 tahun," tuturnya menjelaskan. Seperti diketahui, tagihan pajak khusus dikirim langsung ke pemilik tanah atau persil atau kapling dan pembayarannya dilakukan sendiri di Kantor Dinas Pajak di Jalan Kebon Sirih. Sampai kini sudah 20 lokasi di lingkungan DKI ditetapkan sebagai sasaran pajak khusus. Tapi yang kena tagihan baru 6 lokasi, yaitu Tomang Barat, Tomang Timur, Slipi, Tebet, Cawang dan Rawamangun. Menurut keterangan Kepala Dinas Pajak DKI Drs. Arsyad Siagian semua lokasi yang jalanjalannya dibangun oleh Pemda DKI pasti terkena pajak khusus. Kecuali tanah milik pemerintah, tempat ibadat, lembaga sosial (rumah sakit, rumah yatim-piatu), lembaga ilmiah (sekolah, laboratorium) dan lembaga lain yang dianggap gubernur bebas pajak. Kepala Dinas Pajak ini membantah keras dugaan yang mengatakan bahwa pajak khusus itu cuma satu cara yang ditempuh DKI untuk mengumpulkan dana tambahan bagi pembangunan kota. Ia pun membantah tatkala dikatakan bahwa pajak itu tiba-tiba saja digalakkan. "Operasionalnya tetap berjalan," katanya tegas, sesudah sebelumnya menguraikan bahwa pajak khusus sebetulnya ditarik untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan Pemda DKI untuk pembangunan jalan. "Pemerintah membangun jalan dulu, penduduk tinggal menikmatinya. Biaya yang sudah dikeluarkan harus dikembalikan, supaya dapat membangun jalan di lokasi lain," tambah Arsyad. Tak Lancar Pajak khusus sebenarnya berakar pada UU Pembentukan Kota (Seads Vorming Ordonantie, Stbl. 1948 No 168). Tapi dulu prakarsa pembuatan jalan datang dari penduduk yang jika sudah mencapai kesepakatan lantas mengajukan permohonan kepada Pemda. Pada saat itu mereka sudah siap dengan dana 60% dari biaya keseluruhan. Sisanya ditanggung pemerintah. Sekarang justru terbalik. Menurut Siagian, sekarang cuma 40% yang ditanggung penduduk. "Karena banyak penduduk yang bebas pajak khusus yaitu mereka yang terkena proyek MHT," ujar pejabat Krsebut. Proyek MHT (Moh. Husni Thamrin) ialah proyek perbaikan kampung dengan biaya pinjaman Bank Dunia.. Penagihan pajak khusus tersebut tak begitu lancar. Hambatan pertama datang dari penduduk yang merasa penghasilannya terlalu rendah untuk membayar pajak tersebut. Hambatan kedua dari kaum spekulan, yang karena tahu akan dibangun jalan, langsung saja melipatgandakan harga tanah. Untuk menghindarkan hal-hal semacam itu, Siagian berpendapat, sebaiknya pajak dikenakan pada waktu jalan baru pada tahap perencanaan. Besar-kecil tarif pajak tergantung letak persil. Persil yang berbatasan langsung dengan jalan raya dikenakan 70% x 60% x « dari biaya jalan. Sedangkan persil yang berdampingan dikenakan 30% x 60% x «. Tapi faktor lain juga ikut menentukan, Seperti besar-kecilnya jalan yang dibangun, panjang-lebar sisi persil serta biaya pembangunan jalan per meter. Menurut Siagian, pajak khusus sebenarnya tidak terlalu berat, karena cukup dibayar sekali dan bisa diangsur. Bahkan bagi mereka yang membayar lunas sebelum batas waktu diberi potongan 10%. Tapi apa yang dialami Nyonya Panut justru sebaliknya. Pajak khusus keluarga Panut, tetangga Hartoyo di kawasan Tomang itu, seluruhnya Rp 98.000. Mereka sudah membayar angsuran dan diperkirakan lunas tahun 1979. Tiba-tiba, tahun itu juga terkena denda Rp 7.000, karena dianggap belum lunas. "Saya yang membayar pajak itu jadi heran juga. Sebetulnya saya memang harus membayar Rp 150.000, tapi karena ada teman yang kerja di Kantor Pajak, saya menawar," kata Nyonya Panut yang bekerja di Apotik Tomang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus