SUARA tokek, kata pecandu judi, bisa dijadikan pegangan untuk menerka nonor lotere. Itu baru sebatas spekulasi. Lain lagi di Lombok, Nusa Tenggara Barat: penginapan Rinjani di kawasan Senggigi lumayan panen berkat jasa si tokek. Penginapan kaum pelancong ini dibangun sekitar empat tahun silam. Suatu hari ada seekor tokek terjerembab dari pohon kelapa, dan ditaruh di salah satu kamar. Tak diketahui adakah tokek yang satu ini bercerita kepada kawannya betapa sedap tinggal dalam kamar ketimbang di pohon, tapi lambat laun di sebelas bungalo di situ kemudian ada tokeknya. Hotel kelas melati itu tersuruk 30 meter dari jalan raya. Hening dan sejuk diapit pepohonan kelapa. Kamarnya tak menyediakan televisi. Hiburan yang ada hanya berupa musik dari kaset di restorannya. "Tamu di kamar kan ingin istirahat," kata Yusuf, sang pemilik. Menurut karyawan perusahaan penerbangan Merpati ini, tamu yang menginap lebih dari separuh berasal dari mancanegara. Kembali pada cerita tokek, semula Yusuf berniat membuangnya. "Tapi dilarang oleh tamu dari mancanegara," kata Yusuf kepada Supriyanto Khafid dari TEMPO, "sebab, mereka bilang bisa jadi hiburan di sini." Memang, ketika tokek berbunyi silihsahut, tamu di restoran tampak menikmatinya. "Suara tape malah minta dimatikan," tutur Elly Nurmala, anak kedua Yusuf. Ia manajer di situ. Tokek...tokek...tokek. "Semula saya kira suara kambing," komentar Romy Engwall sambil terkekeh. Ia cewek remaja dari Swedia. Juga berbagai kesan lucu dialamatkan pada bunyi makhluk tokek, yang disebutnya secko itu. Begitu mendengar bunyi tokek, tamu spontan mendongak. Namun mereka rupanya tak puas sekadar memandang tokek di pojok lelangit ruangan. Ada yang menggodanya hingga si tokek turun. Tokek itu lalu ditaruh di meja, lalu mereka saling foto bersama. Atau direkam dengan kamera video. Lebih dari itu, orang dari Hotel Sheraton, Amerika Serikat, mengabadikan gambar tokek ini sebagai hiasan brosur mereka. "Majalah intern kami pun diberi nama Secko," kata Linda Sumual, Training Manager Sheraton Senggigi Beach Resort. Sejauh ini mereka belum latah untuk juga memelihara tokek di tiap kamarnya. Dan tokek di Pondok Rinjani ternyata bukan sekadar bunyinya yang dinikmati kaum pelancong bule tadi, tapi juga alat taruhan. Siapa kalah menebak hitungan bunyinya, dialah yang membayar makanan dan minuman. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini