Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Cendera mata dari cindua mato

Penulis : mursal esten jakarta : intermasa, 1992. resensi oleh: umar yunus

14 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CINDUA Mato, yang dulu terkenal di atas panggung dan sebagai mitos, kini tampil di sebuah buku. Dan buku karya Mursal Esten yang baru diterbitkan dalam seri Ildep (Indonesia Linguistics Development Project) ini, diangkat dari disertasinya di Universitas Indonesia, 1990. Buku Mursal ini bertolak dari karya Wisran Hadi, yang memenangkan hadiah sayembara penulisan sandiwara 1977. Ia melihat hubungan intertekstual, kontramitos, dan memparodi mitos Cindua Mato. Ada pertentangan. Saling percaya pada mitos ditukar dengan saling curiga pada sandiwara. Pada mulanya dipertanyakan kehamilan Bundo Kanduang: karena minum air kelapa gading sakti atau digauli seorang pria. Juga hubungan Cindua Mato dengan Dang Tuanku yang penuh kecurigaan. Cindua Mato dituduh telah menodai Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku. Cindua Mato dianggap suka menggauli wanita yang bukan istrinya. Sandiwara tak membentangkan apa yang diutarakan mitos. Kehidupan puritan Minang berubah menjadi kebebasan seks. Juga terjadi perubahan peristiwa. Puti Bungsu hanya tampil dalam penceritaan. Ia bukan tokoh sandiwara. Menurut Mursal, Puti Bungsu memang sumber konflik, namun persoalan ada pada orang lain. Terutama pada tokoh Cindua Mato yang memang hadir pada setiap putaran cerita. Dan pertentangan antara Pagaruyung dan Sikalawi, seperti dalam mitos, karena memperebutkan seorang perempuan. Ini digunakan Mursal sebagai landasan pembicaraan. Kerangka pembicaraan diberikan Mursal pada pendahuluan, tentang pengertian mitos dan intertekstualitas. Bab dua, "Tradisi dan modernitas dalam kaitan perkembangan kebudayaan di Indonesia dan Minangkabau" membicarakan latar budaya yang dianggapnya bertanggung jawab untuk kelahiran sandiwara Wisran. Pada bab tiga, "Analisa dan interpretasi teks sandiwara 'Cindua Mato' karya Wisran Hadi", Mursal bicara tentang sandiwara Wisran. Dan pada bab empat, "Mitos Cindua Mato dalam kaba", ia membahas berbagai versi kaba tentang Cindua Mato. Bab lima, "Bakaba, randai, dan sandiwara di dalam teks Cindua Mato Wisran Hadi" membawa kita kepada konstruksi sandiwara. Dan bab enam adalah "Analisis dan interpretasi hubungan antara Cindua Mato di dalam kaba dan Cindua Mato di dalam sandiwara". Ada lagi wawancara Mursal dengan Wisran Hadi dan teks sandiwaranya. Mursal berhasil memperlihatkan dialog antara tradisi dan modern yang pertama kali saya terkesan pada Boenga Rampai Dr M. Amir (1940). Sebagian artikelnya ditemui juga pada Polemik Kebudayaan Achdiat K. Mihardja (1948), hanya saja istilahnya kini saya pinjam dari dialogik Bakhtin, yang oleh Kristeva diperkenalkan sebagai intertekstual. Mursal menumpukkan perhatian kepada bagaimana Cindera Mata yang ditulis Wisran Hadi mengontramitos Cindua Mato, memparodinya. Tapi Mursal membatasi diri kepada fenomena sastra, tak melibatkannya dengan implikasi budaya. Cindera Mata adalah pernyataan sikap budaya Wisran terhadap mitos yang membesarkannya. Dari tak percaya, menyangsikan seorang hamil hanya karena minum air kelapa gading atau meragukan "ada apa-apa" antara Cindua Mato dan Puti Bungsu setelah sekian lama berdua dalam perjalanan menyusuri hutan lebat. Ini mendorong Wisran mendemitefikasikan suatu yang begitu "suci" bagi orang Minang. Dan sekali suatu demitefikasi dilakukan, ia akan pergi ke mana saja. Dan ini adalah suatu sikap budaya. Tapi, sekali lagi, sayang, Mursal tak melanjutkan pembicaraannya ke arah ini. Mungkin ada pertimbangan tertentu yang menghalangi Mursal melakukannya. Tugasnya hanya membuka mata orang pada fenomena ini, sehingga mereka terdorong untuk melanjutkannya. Atau Mursal sengaja membatasi untuk menghindarkan disertasinya melantur ke mana-mana. Kedua fenomena ini memang dapat dirasakan. Ada pertanyaan yang dapat diajukan setelah membaca buku ini. Apakah ini hanya fenomena sastra tanpa ada implikasi budaya? Kalau memang demikian, apakah tak mungkin ini hanya semacam kegilaan sastra, muncul akibat ingin menciptakan sesuatu yang baru? Kesan ini bisa ditangkap dari judul buku Mursal yang menyarankan bentuk sandiwara yang modern memanfaatkan bentuk penyampaian kaba dan randai tradisional. Dengan berbicara tentang hubungan intertekstual antara cerita mitos dan sandiwara, Mursal telah bergerak keluar dari yang disarankan judul bukunya. Judul bukunya lebih menyarankan peran tradisi dan modernitas dalam konstruksi sandiwara, yang dapat dilakukan tanpa perlu melibatkan cerita. Tapi "penyimpangan" bentuk ini saya rasa menarik, memberi bobot dalam buku ini, dan mengajak orang untuk melanjutkannya pada dialog dalam dirinya. Dan saya rasa ini yang diinginkan Mursal bila berbicara tentang Cindera Mata dan Cindua Mato. Mungkinkah Cindua Mato hanya suatu "cendera mata"? Sesuatu yang tetap jadi pertanyaan saya sampai kini. Umar Junus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus