BAHRINSYAH termangu-mangu di depan gubuknya. Ketika pekan lalu ditemui TEMPO, janda yang tinggal di Desa Tambon Baroh, Aceh Utara ini tengah memperhatikan kambingnya dengan sedih. Anak kambing usia dua bulan itu, seusai merumput, kini terkapar kaku di pekarangan. Napasnya tersengal-sengal, mulutnya berbuih. Binatang ini juga mengeluarkan bau pesing yang menusuk. Aroma tak sedap itu sudah sangat dikenali oleh Bahrisanda. Bagi penduduk Tambon, kematian kambing dengan gejala seperti itu bukan hal baru. Bau pesing kambing yang merebak ke seantero kampung juga gejala yang biasa. "Itu bau amoniak yang sudah menjadi makanan kami sehari-hari. Dan kami tak pernah tahu kapan datangnya," kata Hasrawali, salah seorang penduduk. Tak hanya itu. Dusun Tambon Baroh juga sering dikejutkan letupan-letupan kecil seperti mercon. Meski sering didengar, tak urung penduduk terganggu rasa cemas. Setiap kali mendengar letupan, ratusan penduduk cemas berlarian melawan arah angin. Soalnya, mereka harus menjauh dari kejaran gas amoniak. "Jika terdengar letusan-letusan seperti itu lalu asap keluar, mata kita diserang. Tak hanya mata jadi perih dan berair, tapi juga napas jadi sesak dan terasa mual," ujar Ismail Efendi, ketua Dusun I di Tambon Baroh. Warga menuding PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), yang berlokasi di sana, sebagai sumber bencana. Sikap ini didasarkan pada pengalaman para korban. Setidaknya mereka pernah mengalami empat kali kebocoran gas dari pabrik pupuk itu. Dan pengalaman buruk tak selalu bisa menjadi guru yang baik. Kenyataannya, meski berulang kali terjadi kecelakaan, keadaan di desa yang dihuni 1.050 jiwa itu tak kunjung membaik. Kecemasan dan kekhawatiran akhirnya membuat ratusan penduduk berbondong meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Sebuah surat protes ke Menteri Perindustrian akhirnya pekan lalu dikirim oleh LBH. LBH mempersoalkan dampak pengoperasian pabrik di dusun itu, yang dinilai merugikan lingkungan dan masyarakat. Penderitaan berkepanjangan ini telah bermula sejak tahun 1988. Saat itu terjadi kebocoran gas amoniak di PIM. "Ratusan orang sulit bernapas. Ada yang berjalan terhuyung-huyung dan ada pula yang pingsan," tutur Ismail. Dan belum lagi trauma itu hilang, empat bulan kemudian Dusun Tambon kembali diguncang ledakan amoniak dari pabrik yang sama. Itu sebabnya, bersama 120 kepala keluarga lainnya, Ismail menggugat PIM ke pengadilan, yang sampai kini masih harus menunggu proses kasasi. Di tengah menunggu putusan dewi keadilan itu, musibah serupa terus bermunculan. Tak hanya dari PIM, tapi juga dari pabrik lain yang juga berlokasi di sana, yaitu PT Asean Aceh Fertilizer (AAF). Di antara rentetan musibah, ada musibah berskala besar yang menimpa lebih dari 800 warga. "Tak hanya manusia yang menjadi korban. Udang di tambak, burung burung yang dipelihara di sangkar, ikut mati. Bangkai kodok pun berserakan di mana-mana," kata Bahrisanda. Menurut Direktur LBH Medan, Alamsyah Hamdani, terulangnya kecelakaan yang sama membuktikan bahwa perusahaan tak serius memecahkan persoalan. Apalagi penyebabnya juga sama, yakni macetnya alat pengatur tekanan amoniak yang menyebabkan lepasnya katup pengaman amoniak. Tak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi. Sebab, ketika dihubungi, baik PIM maupun AAF belum bersedia memberi konfirmasi. Yang jelas, pemberian ganti rugi kepada warga rupanya bukanlah penyelesaian yang dikehendaki penduduk. "Kami tak tahan menanggung kecemasan terusmenerus dan menjadi langganan pencemaran," kata mereka. G. Sugrahetty Dyan K., Sarluhut Napitupulu, Munawar Chalil, dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini