Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cacuk dan weber

Dalam kasus cacuk menurut max weber, sosiolog jerman, birokrasi modern dilegitimasi oleh aturan formal yang dilandasi hukum.

14 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KASUS Cacuk" dan rigiditas birokrasi di Indonesia mengingatkan kita kepada Max Weber, seorang sosiolog Jerman yang banyak menaruh perhatian terhadap persoalan ekonomi. Bagi Weber, perkembangan ekonomi bukan hanya persoalan teknis, tapi juga agama. Kebangkitan ekonomi dalam masyarakat Eropa -- tulisnya dalam Prostestant Ethic and the Spirit of Capitalism -- bersesuaian dengan suatu sekte dalam Prostestan, yaitu apa yang disebut kaum Calvin. Penganut Calvinisme ini adalah para pengejar keuntungan yang tampak sekan-akan duniawi, tapi sebenarnya adalah refleksi dari dorongan agama, apa yang disebut beruf atau "panggilan" suci. Menumpuk kekayaan, dalam konsep "panggilan" itu, adalah suatu achievement adi-duniawi, karena setiap orang diharuskan berprestasi di hadapan Tuhan. Jadi, menjadi kapitalis yang sukses adalah juga bagian dari "panggilan" non-duniawi itu. Tapi Cacuk Sudarijanto, yang baru saja copot dari direktur utama PT Telkom, tidaklah ada hubungannya dengan sekte Calvin di atas. Namun, sedikitnya masih berhubungan dengan Weber. Sebagai seorang sosiolog yang berpandangan luas, Weber juga menaruh perhatian terhadap perkembangan lain. Dan yang relevan dengan "Kasus Cacuk" adalah tentang authority dan bureaucracy atau kewenangan dan birokrasi. Weber melihat bahwa dalam suatu masyarakat modern, keberadaan birokrasi merupakan hal yang tak terelakkan. Dalam beberapa hal, birokrasi justru menggantikan dominasi dan tertib-tertib lama yang mengatur pola kehidupan manusia. Inti birokrasi modern adalah rasionalis. Dalam konteks inilah, Weber bicara tentang legitimate authority dalam birokrasi, suatu bentuk "aturan permainan" baru yang menggantikan tertib lama. Dalam tertib baru itu (birokrasi modern) struktur kekuasaan dilegitimasikan oleh aturan formal yang dilandasi hukum (legal-rational authority). Kepatuhan terhadap kekuasaan tidak diukur oleh kreativitas seseorang. Melainkan oleh kemampuannya melaksanakan aturan-aturan baku tersebut. Konsekuensinya, pola hubungan yang bersifat hierarki menjadi tak terelakkan. Hanya dalam pola kerja birokratis, hubungan atasan-bawahan yang "kaku" terjadi. Logika yang ada di belakangnya adalah agar struktur kekuasaan bisa diperkuat, mempermudah sentralisasi perencanaan, koordinasi, dan lain lain. Dan yang terpenting, pengawasan yang terpusat atas disiplin dan kepatuhan dapat dilaksanakan. Cacuk, walau mungkin tak pernah mempertimbangkan teori "panggilan suci" di atas, mungkin telah terbuai "panggilan" mengejar achievement itu. Buktinya, selama menjabat direktur utama PT Telkom, ia pernah berucap, "BUMN (badan usaha milik negara) atau swasta sama saja. Yang membedakannya adalah pemiliknya." Bagaimanapun, ucapan ini adalah ungkapan dari semangat "panggilan" di atas. Tapi, secara logika, itu masuk akal. Karena Telkom telah berubah status menjadi persero (perusahaan perseroan), perilaku bisnisnya secara hukum pun sudah tak berbeda dengan swasta. Bukankah BUMN juga dituntut pemerintah untuk bertindak efisien, karena ia merupakan salah satu sumber dana pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional? Nah, jika kita berimajinasi, sesungguhnya Cacuk sedang bergerak dalam naluri bisnis beruf-nya Weber. Tapi segera ia berhadapan dengan konsep Weber yang lain: birokrasi, yang hierarkis, yang kepatuhan akan peraturan jauh lebih penting daripada kreativitas. Di sini, dengan tak terasa, Cacuk terbelit red tape, jaringan birokrasi yang memang cenderung bertele-tele. Seorang ahli administrasi, Peter Self, menulis hal-hal yang kini tampaknya dihadapi Cacuk. Dalam Administrative Theories and Politics-nya, ia menyatakan betapa bedanya operasi perusahaan swasta dengan pemerintah. Yang pertama "bebas", yang kedua "tidak". Self menulis, keputusan yang diambil pemerintah, dipandang dari sudut manajemen, sering terlihat aneh. Karena terlalu banyak pertimbangan politik, segala sesuatunya menjadi pekewuh, atau apa yang disebutnya sebagai awkward constraints jika dianalisa menurut organisasi bisnis. Dan BUMN, karena berkaitan dengan pemerintah, akan terus mengalami rasa pekewuh itu dalam setiap mengambil keputusan. Cacuk memang seharusnya berada di luar jaringan itu semua. Karya-karya pulasannya terhadap PT Telkom (kini semakin maju) seharusnya dikerjakan "di luar", tempat pekewuh tidak mempengaruhi tindakannya. *) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana di Monash University, Australia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus