SEBUAH iklan, yang menawarkan kapling tanah matang, mengundang
warga kota berduyun-duyun menyerbu loket Perumnas. Yakinlah,
dalam pikiran mereka terbayang kesempatan membeli tanah murah
secara mencicil. Bagaimana boleh dilewatkan?
Tapi, sesudah berjubel membeli formulir Rp 400, pekan lalu, para
peminat kecewa. Marsudi, seorang karyawan swasta yang pagi
sekali sudah muncul di loket Perumnas Klender, nampak terduduk
lesu sehabis membaca formulir dan mafhum ternyata Perumnas
menjual tanahnya secara kontan.
Begitu pula halnya dengan P. Sianturi, 44 tahun, kepala SMEA I
PSKD. Karyawan swasta yang termasuk Golongan III itu kelihatan
termangu-mangu. "Saya sungguh kecewa," ujarnya tak bersemangat.
"Perkiraan saya, karena yang menjual tanah itu Perumnas, bisalah
dicicil. Tak tahunya . . . " Tapi Bambang, 32 tahun, seorang
pengemudi taksi, masih mencoba mengharap tanah yang ditawarkan
itu bisa dibayar beberapa kali. Semenura seorang lelaki baya
justru tak dapat menahan amarahnya. "Bagi yang berduit, kenapa
Perumnas musti ikut campur? Mereka kan bisa beli rumah lewat
real estate," katanya garang.
Tudingan kemarahan itu secara tak langsung ditangkis Direktur
Pengusahaan Pengelolaan Perumnas, Widodo Poerbokoesoemo. Harap
diketahui, katanya, kapling tanah matang itu memang ditawarkan
khusus bagi golongan masyarakat ini: Setingkat lebih tinggi dari
penghuni rumah-rumah Perumnas, tapi masih belum sanggup membeli
rumah dan tanah dari perusahaan real estate, atau Papan
Sejahtera.
"Mereka itu juga harus diperhatikan," kata Widodo serius.
"Mereka kan bagian dari masyarakat juga." Ia tidak menyebut
persis masyarakat yang hendak dicapai tersebut bisa disamakan
dengan pegawai negeri golongan berapa atau karyawan swasta
tingkat yang mana. Tapi SK Menteri PU (No. 158/ KPTS/1980) ada
menyebut beberapa hal. Antara lain ditetapkan, 95% kapling
Perumnas tersebut diperuntukkan instansi pemerintah dan
perusahaan swasta. Sisanya dijatahkan bagi peminat perorangan.
Subsidi Silang
Jelaslah, kesempatan pemilikan rumah jadi mengecil sekali bagi
orang-orang seperti Marsudi, Bambang dan Sianturi. Akhirnya
mereka merasa terkecoh iklan Perumnas, yang bukan saja tidak
memperinci penjatahan tanah bagi pemohon perorangan, tapi juga
tidak menjelaskan pembeliannya secara tunai. Adapun luas tanah
matang, yang akan dijual tunai itu hampir 50 hektar dan'
tersebar di Klender (ada 392 kapling, Rp 15.000 per meter),
Bekasi (145 kapling, Rp 9000/m), Tangerang (903 kapling, Rp
8500/m), Depok Tengah dan Depok Timur (1080 kapling, Rp
12.000/m). Dari hasil penjualan diperkirakan Perumnas bisa
memperoleh dana hampir Rp 5« milyar.
Mengapa baru sekarang dijual? "Memang sekaranglah saatnya,"
tandas Drs. Wihara Gumelar, Ka. Humas Perumnas. Dikatakannya,
lingkungan Perumnas di empat kawasan tersebut boleh dibilang
sudah mapan. Walau masih ada yang belum dihuni, menurut Gumelar,
rumah-rumah itu secara administratif sudah terisi (lihat box).
Diakui Widodo, secara hukum sebenarnya tidak tepat kalau
dikatakan Perumnas menjual tanah. Lebih cocok kalau dikatakan,
Perumnas yang mempunyai hak pengelolaan atas tanah, mengalihkan
atau memberikan hak guna bangunan ataupun hak pakai tanah itu
kepada pihak lain. Dari penyerahan hak tersebut tak ada salahnya
Perumnas menerima pemasukan uang.
Widodo menyatakan, kapling tanah matang memang sudah
dipersiapkan lama untuk dijual. Bahkan sudah tersedia sejak
rumah-rumah Perumnas dibangun. Tujuannya, katanya, tak lain
untuk menutup "kerugian" Perumnas yang uk dapat dielakkan.
Karena, di samping membangun rumah, perum tersebut juga harus
menyediakan dana pembuatan jalan, gang, saluran air, dan
lain-lain.
Dana semacam itu diharapkan dapat ditutup dari penjualan kapling
unah matang. Dan jika dana yang terkumpul masih tersisa, kelak
akan dimanfaatkan Perumnas membangun rumah-rumah lain. "Ini yang
disebut subsidi silang," ungkap Widodo. Nah, untuk pertama kali
secara resmi dipermaklumkan: Perumnas rugi! Kerugian itu bisa
saja dikatakan sebagai kerugian yang semu.
Hanya lebih banyak diragukan adalah, baik keterangan Widodo
maupun SK Menteri PU tersebut di atas, yang sama-sama
membersitkan kesan yang juga semu. Misalnya pasal yang
menyebutkan: "Sasaran penjualan kapling tanah matang ialah
golongan masyarakat yang lebih mampu dengan maksud agar dapat
memberikan subsidi kepada golongan yang kurang mampu." Maka
bermunculanlah pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Bukankah sejak
mula sudah jelas bahwa tiap rumah Perumnas disubsidi Pemerintah?
Bagaimana mungkin Perumnas mengatur golongan masyarakat yang
lebih mampu untuk berfungsi seperti Pemerintah, memberi subsidi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini