SAMBIL memegang gelas minuman, seorang diplomat Inggris di
Jakarta menggamit temannya. Dia berbisik: "Hei, listen, resepsi
ini adalah resepsi terakhir di rumah ini." "Maksud anda?" "Iya,
karena rumah ini harus segera diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia, untuk museum."
Ruangan rumah yang luas berpermadani krem itu, 27 April malam
penuh tamu. Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia T.J.
O'Brien dan istri, mengadakan resepsi pamitan, karena masa
jabatannya telah berakhir. Dan memang, malam itu adalah resepsi
terakhir Kedubes Inggris yang diadakan di rumah itu. Sebab Juni
1981, kontrak sewa rumah itu akan berakhir.
Rumah itu terletak di Jalan Imam Bonjol No 1, Jakarta Pusat. Di
sinilah di ruangan bawahnya, teks proklamasi dimuat. Waktu itu,
16 Agustus 1945, bulan puasa, golongan pemuda yang tidak
menyukai hubungan yang terlalu erat antara Sukarno-Hatta dengan
pihak Jepang, telah menculik kedua pemimpin tersebut. Mereka
diamankan di Rengasdengklok.
Tetapi Mr. Ahmad Subardjo segera membawa kembali Sukarno-Hattake
Jakarta karena kemerdekaan harus segera diproklamasikan .
Karena suasana waktu itu amat genting, Subardjo beranggapan
bahwa rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol
No. 1 (waktu itu bernama Myako-dori No. 1) adalah daerah yang
aman. Sebab Maeda adalah Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut
(Kaigun) Jepang di daerah kekuasaan angkatan darat (Rikugun)
Jepang, yaitu Jawa dan Sumatera. Pihak Rikugun menentang keras
proklamasi. Dan rumah Maeda dianggap mempunyai kekuasaan ekstra
teritorial yang tidak bisa dicampuri pihak angkatan darat
Jepang.
Lewat pkl. 22.00 tanggal 16 Agustus, Sukarno-Hatta tiba di
Myako-dori No. 1. Beberapa pemuda kemudian turut memenuhi tangga
teras depan rumah itu. Menurut otobiografi Subardjo (Kesadaran
Nasional), bersama Maeda, Sukarno-Hatta tak lama kemudian
meninggalkan rumah tersebut untuk bertemu dengan Mayor Jenderal
Yamamoto, Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer) Jepang di
Indonesia waktu itu. Pkl. 02.00 dinihari, Sukarno-Hatta dan
Maeda kembali.
Yamamoto ternyata tetap menentang proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Untung saja, seorang kolonel AD Jepang turut serta ke
Myako-dori. Myoshi, kolonel itu, sependapat dengan Maeda untuk
memberi kesempatan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
"Sekeliling meja bundar duduklah Sukarno, Hatta, Maeda, Myoshi
dan saya sendiri. Dekat saya, agak ke belakang, duduk sekretaris
saya, Soediro Sukarni dan B.M. Diah, yang ikut mendengarkan
perundingan meja bundar tersebut. Sukarni kelihatannya
gelisah-resah ia keluar-masuk ruangan seperti ada sesuatu yang
dipikirkannya", (Subardjo, hal. 331).
Pkl. 03.00 pagi, Sukarno mencoretkan penanya dan berbunyilah
kalimat: "Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia. " Kalimat pertama yang sederhana dan
pendek ini kemudian diperdebatkan. Sementara itu, Maeda kembali
ke kamar tidurnya di ruang atas. Beberapa orang keluar masuk
dapur, untuk mengambil minuman dan makanan yang disediakan oleh
pembantu rumahtangga Maeda untuk makan sahur.
Waktu sahur hampir habis. Semua ingin merampungkan teks
proklamasi sebelum fajar menyingsing. Sedangkan di pelataran
depan, semakin banyak pemuda berkumpul. Di balik tiang besar
penyangga gedung, beberapa puluh mata mengawasi kegiatan di
dalam.
Pukul 04.00 pagi, teks rampung diketik oleh Sayuti Melik.
Sukarno kemudian membacakannya dengan suara lantang. Kemudian
untuk beberapa saat, ribut lagi mempersoalkan tentang siapasiapa
yang harus dicantumkan namanya di bawah teks tersebut. Tapi satu
persatu persoalan dirampungkan. Begitu pula desakan Sukarno agar
proklamasi dibacakan di pekarangan rumahnya, Jalan Pegangsaan
Timur 56 (kini Jalan Proklamasi) -- bukan di lapangan Ikada
(kini lapangan Monas) seperti diusulkan beberapa pemuda.
Pukul 06.00, semuanya selesai. Semua berjanji akan berkumpul
kembali pada pukul 10.00, tanggal 17 Agustus, untuk menyaksikan
pembacaan proklamasi. Waktu semua peserta bubar, Maeda masih
tidur di ruang atas rumah itu.
Nassau Boulevard
Selama zaman pemerintahan kolonial Belanda, rumah di Myako-dori
atau Imam sonjol itu biasa disebut Engelandhuis atau British
House. Jalannya bernama Nassau Boulevard, termasuk kawasan Nieuw
Gondangdia.
Rumah tersebut dibuat perusahaan asuransi Belanda, Nilmij van
1859 untuk kediaman Konsul Jenderal Inggris. Setelah selesai
pada 1932, Nilmij dan pemerintah Inggris mengadakan kontrak sewa
untuk jangka waktu 30 tahun -- 1932 sampai 1962.
Waktu itu sewanya 750 rupiah sebulan. Setelah Nilmij van 1859
digantikan PT Asuransi Jiwasraya, pada 1960 kontrak diperbarui.
Kontrak sewa diperpanjang untuk 20 tahun lagi, sampai 1980,
dengan sewa Rp 3.000/bulan. Tahun 1967, sewa naik menjadi US$
700. Tahun 1972, berubah lagi menjadi US$ 1500. Dan terakhir,
1977-1980, US$ 1800 sebulan. Tapi tahun lalu kontrak
diperpanjang lagi sampai Juni 1981, juga dengan sewa US$ 1800
sebulan.
Dengan luas bangunan 641 m2, rumah itu memiliki pekarangan 4.380
m2. Sementara itu, pemerintah Inggris telah membeli sepotong
tanah di belakangnya yang kini jadi kolam renang. Berikut wisma
tamu di pekarangan belakangnya.
Engelandhuis itu sendiri memang mempunyai riwayat yang unik.
Ketika Jepang berkuasa di tahun 1942, rumah itu ditempati Kaigun
Jepang. Pada 1946, ketika Jakarta dikuasai Belanda kembali, ada
dua diplomat Inggris kembali menempati rumah tersebut. Yaitu Sir
Achibald Clark Kerr (yang kemudian bergelar Lord Inverchapel)
dan Lord Killearn. Ratu Elizabeth 11 ketika berkunjung ke
Indonesia pada 1974, mengadakan resepsi di rumah ini.
Baru pada 1950, Sir D.K. Derwent secara resmi menjadi Duta Besar
Inggris untuk Indonesia yang peruma dan menempati rumah di Jalan
Imam Bonjol No. 1 itu. Sampai 1981, telah ada 10 orang duta
besar bergantian tinggal di situ.
Tidak banyak perubahan terjadi di rumah itu sampai sekarang.
Hanya pintu yang tadinya menghubungkan ruang makan dengan dapur,
kini telah ditutup. Ruang sebelah dalam itu kini jadi bagian
ruang tamu. Ruang depan sebelah kanan, kini juga dijadikan ruang
makan,.
Sebuah meja bundar antik gaya Victoria, mendominasi ruangan
pertama. Di ruang tamu lainnya, ada sebuah piano besar, beberapa
stel kursi dan perabot lainnya. Semuanya dalam tataan yang rapi
dan sedap dipandang.
Pada tangga yang dibuat dari kayu yang kokoh, permadani merah
terhampar. Biasanya, tamu-tamu wanita diperbolehkan ke atas
kalau hendak ke kamar kecil. Lantai ruang atas itu ditutup oleh
kayu besi yang selalu dipelihara sehingga mengkilat terus. Ada
empat kamar tidur besar di tingkat atas ini.
Hanya pada pesta-pesta besar, seperti malam akhir April lalu,
pintu besar yang menuju pekarangan dibuka. Sebuah teras yang
berlantai ubin biasa, dengan cahaya listrik yang redup, bisa
memuat sekitar 100 orang tamu berdiri dalam resepsi. Sekitar 200
meter dari rumah induk, ada lagi sebuah rumah bertingkat satu,
inilah wisma tamu. Tidak jauh dari wisma tersebut, sebuah kolam
renang ukuran sedang membentang.
Pemerintah Indonesia akan menjadikan rumah itu "Gedung Naskah
Proklamasi Rl 1945 ". "Berita tentang museum itu mulai kami
dengar sejak 1972," kata Alan E. Furness, Wakil Duta dari
Kedutaan Inggris, "yaitu ketika Duta Besar Combs".
Dan kini, kedutaan besar Inggris di Jakarta sedang repot mencari
rumah untuk duta besarnya yang baru, Robert Brash. "Sulit
mencari rumah yang sebagus dan sebesar Imam Bonjol 1," kata
Furness.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini