Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Masih ketawa bersama prambors

Dono, indro, kasino yang tergabung dalam warung kopi prambors sudah menyelesaikan 4 film. dan 3 film menyusul. banyak kegiatan mereka. (fl)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DETEKTIF Dono lengah. Di saat harus waspada mengawasi buronannya, ia justru asyik berajojing dengan seorang gadis di suatu disko. Ia memperlihatkan kemahirannya di disko itu sambil menirukan gaya John Travolta dalam film Saturday Night Fever. Banyak pengunjung, termasuk rekannya, detektif Kasino, sampai melongo dibuatnya. Buronan mereka, seorang istri yang dituduh menyeleweng, tentu saja memanfaatkan kelengahan kedua detektif partikelir itu. Bersama pacar gelapnya, wanita itu dengan cepat minggat. Untuk kesekian kalinya, Dono dan Kasino dari PT Kasino Bersama gagal. Serangkaian kisah sial kedua detektif tersebut merupakan bagian menarik dalam film Pintar-Pintar Bodoh sutradara Arizal. Di film itu juga dipertunjukkan kesialan detektif Indro dan Dorman dari PT Indro dan Konco -- saingan usaha PT Kasino Bersama -- melayani klien mereka. Di luar dugaan, Pintar-Pintar Bodoh - sekalipun tak terlalu baik sebagai film komedi -- ternyata menyedot 461 ribu penonton pada putaran tahap atas dan sliding di Jakarta. Sampai Mei ini, ia masih merupakan film komedi nasional yang paling banyak ditonton. Tahun lalu rekor tertinggi dipegang film Kabut Sutra Ungu (diperankan Yenny Rachman dan disutradarai Sjuman Djaja), menyedot 488 ribu penonton. "Prestasi film Pintar-Pintar Bodoh merupakan kejutan," sebut Zulharmans Said, Direktur PT Perfin, pengedar film nasional Keberhasilannya meraih penonton, katanya lagi, banyak dibantu oleh popularitas Warung Kopi (Warkop) Prambors yang telah dikenal luas lewat panggung dan rekaman kaset. Di film itu, anggota Warkop Prambors -- Dono Kasino dan Indro -- bertindak sebagai pemeran utama. Nanuk Mulyono yang masih sakit tak ikut. Ia digantikan Dorman Borisman. Nanuk hanya bermain dalam Mana Tahan -- film Prambors lainnya --yang meraih 400 ribu penonton. Dalam Gengsi Dong -- juga film Prambors yang meraih 230 ribu penonton -- ia juga tak ikut. Pertengahan Mei ini, bila tak ada aral melintang film Prambors keempat: Ge . . . Er (Gede Rasa) memasuki peredaran. Posternya yang menyolok, misalnya, sudah terpasang di bioskop Mulia Agung, Jakarta Pusat. Di situ tampak sedikit porno, Dono yang setengah telanjang kaget mendekap sesuatu. Istrinya di rumah sempat risi juga menyaksikan poster seperti itu. "Kalau mau dijadikan poster, mbok ya jangan adegan itu dong yang dipasang," ujar Dono menirukan "protes" istrinya. Film mereka yang pertama, Mana Tahan terasa hanya mengeksploatasi kekonyolan mahasiswa. Sejumlah mahasiswa yang mondok di rumah seorang tante dikisahkannya menjumpai pengalaman lucu. Tapi karena hanya menonjolkan visualisasi akting yang dibuat-buat, serangkaian adegan dalam film itu terasa konyol. "Saya ingin mengejek keadaan dengan cara berseloroh tapi tidak konyol," kata Dono. Kritik dengan seloroh memang bisa dilakukan Warkop Prambors di atas panggung -- dalam bentuk sejumlah guyon (joke) pendek. Di film yang menghendaki cerita utuh, cara seperti itu dianggap tak bisa ditempuh. Nawi Ismail yang menyutradarai Mana Tahan dan Gengsi Dong lebih banyak menampilkan joke tadi secara visual -- tidak verbal seperti di panggung. Ia sengaja menjadikan film tersebut sebagai tontonan dagelan kasar (slapstick). "Sebab sasaran film itu adalah masyarakat menengah ke bawah," ujarnya. "Bila mereka disuguhi tontonan macam penampilan Warkop Prambors di panggung, film itu tak akan termakan . " Di luar dugaan komedi macam itu menarik banyak penonton. Zulharmans menyebut bahwa film Warkop Prambors menandai kembalinya suatu periode yang pernah dicapai beberapa film yang diperankan Benyamin Syuaib beberapa tahun lampau. "Masyarakat memang masih menginginkan suatu masalah dikemukakan dengan ringan dan penuh tawa, ' ujarnya. Namun sutradara Nawi mengaku ia semula sangat sulit mendapatkan ide cerita humor. Hingga ia kemudian memasukkan sejumlah pengalaman anggota Warkop Prambors ke dalam film itu. Semula PT Parkit Films, produser Pintar-Pintar Bodoh, juga menemui kesulitan mendapatkan ide cerita. Membuat film komedi, demikian Raam Punjabi dari PT Parkit, lebih sulit dibanding melodrama. Ia mengungkapkan bahwa ide membuat biro jasa detektif partikelir dalam Pintar-Pintar Bodob diperolehnya setelah menonton Mr Boo, film Hong Kong. "Lebih baik menjiplak yang baik daripada membuat asli, tapi jelek," kata Raam ketawa. Baik Dono maupun Kasino mengaku mereka agak canggung ketika pertama kali beraksi di depan kamera. Karena mereka sering salah berdialog, pengambilan suatu adegan kadang diulang sampai sepuluh kali. "Dengan mengambil banyak gambar dalam setiap adegan, saya jadi punya banyak pilihan dalam editing," ujar Nawi, 63 tahun. Untuk Mana Tahan, ia menghabiskan sekitar 120 can film. Di depan kamera, kesulitan Dono maupun Indro antara lain tak bisa mendengar tawa spontan dari penonton. "Kami cuma bisa meraba-raba apakah suatu adegan berakibat lucu atau tidak," kata Kasino. "Sering terjadi adegan yang kami anggap tidak lucu, ternyata justru menyebabkan penonton ketawa terpingkal-pingkal," tambah Dono. Ingin Bertahan 10 Tahun Sampai kini Warkop Prambors sudah bermain dalam empat film. Tiga film lagi yang diperani kelompok ini segera menyusul. Tapi mereka berpikir-pikir dengan mumpung populer. "Saya ingin menghindari kejenuhan penonton," sebut Kasino. "Saya tak ingin punya 13 mercy (mobil Mercedes - red.) dalam tempo singkat, tapi hanya bertahan setahun. Saya masih ingin bertahan sepuluh tahun," tambah Dono. Dengan upaya melawak di panggung, film dan rekaman kaset, kelompok Warkop Prambors -- beranggotakan Drs. Wahyu Sardono, Drs. Kasino, Indrojoyo dan Nanuk Mulyono -- bisa hidup sejahtera. Kasino dan Indro, misalnya, sudah tinggal di rumah sendiri di Jalan Pulo Nangka Timur, Jakarta. Untuk sementara Kasino merasa cukup hidup dengan hanya melawak. Sedang Dono menambah penghasilan sebagai asisten dosen di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI. Dari sana Dono sebulan memperoleh tambahan Rp 5.500. Sementara Indro dan Nanuk masih kuliah, masing-masing di Fakultas Ekonomi Univ. Pancasila dan FIS UI. Warkop Prambors semula hanya terdiri dari Kasino dan Nanuk yang mengisi acara Siaran Pencinta Alam (1973) di Radio Prambors Jakarta. Setahun kemudian masuk Rudi Badil dan Dono. Keempatnya kemudian mengelola acara tengah malam di stasiun radio swasta niaga itu: Obrolan di Warung Kopi. Kemudian Indro bergabung (1976) ketika masih pelajar SMA di Jakarta. Dari siaran radio, kelimanya sering pula diajak mengisi acara api unggun dalam perkemahan. Pernah pula mereka melawak ketika SMP IX Jakarta menyelenggarakan pesta 1976 di Bali Room Hotel Indonesia. Baru dua tahun kemudian mereka berani tampil secara komersial. "Sebelumnya kalau kami dapat honor, sering kami habiskan makanmakan di Pecenongan bersama kawankawan," kata Kasino. Kini honor mereka begitu besar, tak bisa dihabiskan di restoran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus