DETEKTIF Dono lengah. Di saat harus waspada mengawasi
buronannya, ia justru asyik berajojing dengan seorang gadis di
suatu disko. Ia memperlihatkan kemahirannya di disko itu sambil
menirukan gaya John Travolta dalam film Saturday Night Fever.
Banyak pengunjung, termasuk rekannya, detektif Kasino, sampai
melongo dibuatnya.
Buronan mereka, seorang istri yang dituduh menyeleweng, tentu
saja memanfaatkan kelengahan kedua detektif partikelir itu.
Bersama pacar gelapnya, wanita itu dengan cepat minggat. Untuk
kesekian kalinya, Dono dan Kasino dari PT Kasino Bersama gagal.
Serangkaian kisah sial kedua detektif tersebut merupakan bagian
menarik dalam film Pintar-Pintar Bodoh sutradara Arizal. Di film
itu juga dipertunjukkan kesialan detektif Indro dan Dorman dari
PT Indro dan Konco -- saingan usaha PT Kasino Bersama --
melayani klien mereka.
Di luar dugaan, Pintar-Pintar Bodoh - sekalipun tak terlalu baik
sebagai film komedi -- ternyata menyedot 461 ribu penonton pada
putaran tahap atas dan sliding di Jakarta. Sampai Mei ini, ia
masih merupakan film komedi nasional yang paling banyak
ditonton. Tahun lalu rekor tertinggi dipegang film Kabut Sutra
Ungu (diperankan Yenny Rachman dan disutradarai Sjuman Djaja),
menyedot 488 ribu penonton.
"Prestasi film Pintar-Pintar Bodoh merupakan kejutan," sebut
Zulharmans Said, Direktur PT Perfin, pengedar film nasional
Keberhasilannya meraih penonton, katanya lagi, banyak dibantu
oleh popularitas Warung Kopi (Warkop) Prambors yang telah
dikenal luas lewat panggung dan rekaman kaset. Di film itu,
anggota Warkop Prambors -- Dono Kasino dan Indro -- bertindak
sebagai pemeran utama. Nanuk Mulyono yang masih sakit tak
ikut. Ia digantikan Dorman Borisman.
Nanuk hanya bermain dalam Mana Tahan -- film Prambors lainnya
--yang meraih 400 ribu penonton. Dalam Gengsi Dong -- juga film
Prambors yang meraih 230 ribu penonton -- ia juga tak ikut.
Pertengahan Mei ini, bila tak ada aral melintang film Prambors
keempat: Ge . . . Er (Gede Rasa) memasuki peredaran. Posternya
yang menyolok, misalnya, sudah terpasang di bioskop Mulia Agung,
Jakarta Pusat. Di situ tampak sedikit porno, Dono yang setengah
telanjang kaget mendekap sesuatu. Istrinya di rumah sempat risi
juga menyaksikan poster seperti itu. "Kalau mau dijadikan
poster, mbok ya jangan adegan itu dong yang dipasang," ujar Dono
menirukan "protes" istrinya.
Film mereka yang pertama, Mana Tahan terasa hanya
mengeksploatasi kekonyolan mahasiswa. Sejumlah mahasiswa yang
mondok di rumah seorang tante dikisahkannya menjumpai pengalaman
lucu. Tapi karena hanya menonjolkan visualisasi akting yang
dibuat-buat, serangkaian adegan dalam film itu terasa konyol.
"Saya ingin mengejek keadaan dengan cara berseloroh tapi tidak
konyol," kata Dono.
Kritik dengan seloroh memang bisa dilakukan Warkop Prambors di
atas panggung -- dalam bentuk sejumlah guyon (joke) pendek. Di
film yang menghendaki cerita utuh, cara seperti itu dianggap tak
bisa ditempuh.
Nawi Ismail yang menyutradarai Mana Tahan dan Gengsi Dong lebih
banyak menampilkan joke tadi secara visual -- tidak verbal
seperti di panggung. Ia sengaja menjadikan film tersebut sebagai
tontonan dagelan kasar (slapstick). "Sebab sasaran film itu
adalah masyarakat menengah ke bawah," ujarnya. "Bila mereka
disuguhi tontonan macam penampilan Warkop Prambors di panggung,
film itu tak akan termakan . "
Di luar dugaan komedi macam itu menarik banyak penonton.
Zulharmans menyebut bahwa film Warkop Prambors menandai
kembalinya suatu periode yang pernah dicapai beberapa film yang
diperankan Benyamin Syuaib beberapa tahun lampau. "Masyarakat
memang masih menginginkan suatu masalah dikemukakan dengan
ringan dan penuh tawa, ' ujarnya.
Namun sutradara Nawi mengaku ia semula sangat sulit mendapatkan
ide cerita humor. Hingga ia kemudian memasukkan sejumlah
pengalaman anggota Warkop Prambors ke dalam film itu.
Semula PT Parkit Films, produser Pintar-Pintar Bodoh, juga
menemui kesulitan mendapatkan ide cerita. Membuat film komedi,
demikian Raam Punjabi dari PT Parkit, lebih sulit dibanding
melodrama. Ia mengungkapkan bahwa ide membuat biro jasa detektif
partikelir dalam Pintar-Pintar Bodob diperolehnya setelah
menonton Mr Boo, film Hong Kong. "Lebih baik menjiplak yang baik
daripada membuat asli, tapi jelek," kata Raam ketawa.
Baik Dono maupun Kasino mengaku mereka agak canggung ketika
pertama kali beraksi di depan kamera. Karena mereka sering salah
berdialog, pengambilan suatu adegan kadang diulang sampai
sepuluh kali. "Dengan mengambil banyak gambar dalam setiap
adegan, saya jadi punya banyak pilihan dalam editing," ujar
Nawi, 63 tahun. Untuk Mana Tahan, ia menghabiskan sekitar 120
can film.
Di depan kamera, kesulitan Dono maupun Indro antara lain tak
bisa mendengar tawa spontan dari penonton. "Kami cuma bisa
meraba-raba apakah suatu adegan berakibat lucu atau tidak," kata
Kasino. "Sering terjadi adegan yang kami anggap tidak lucu,
ternyata justru menyebabkan penonton ketawa terpingkal-pingkal,"
tambah Dono.
Ingin Bertahan 10 Tahun
Sampai kini Warkop Prambors sudah bermain dalam empat film. Tiga
film lagi yang diperani kelompok ini segera menyusul. Tapi
mereka berpikir-pikir dengan mumpung populer. "Saya ingin
menghindari kejenuhan penonton," sebut Kasino. "Saya tak ingin
punya 13 mercy (mobil Mercedes - red.) dalam tempo singkat, tapi
hanya bertahan setahun. Saya masih ingin bertahan sepuluh
tahun," tambah Dono.
Dengan upaya melawak di panggung, film dan rekaman kaset,
kelompok Warkop Prambors -- beranggotakan Drs. Wahyu Sardono,
Drs. Kasino, Indrojoyo dan Nanuk Mulyono -- bisa hidup
sejahtera. Kasino dan Indro, misalnya, sudah tinggal di rumah
sendiri di Jalan Pulo Nangka Timur, Jakarta. Untuk sementara
Kasino merasa cukup hidup dengan hanya melawak. Sedang Dono
menambah penghasilan sebagai asisten dosen di Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial UI. Dari sana Dono sebulan memperoleh tambahan Rp 5.500.
Sementara Indro dan Nanuk masih kuliah, masing-masing di
Fakultas Ekonomi Univ. Pancasila dan FIS UI.
Warkop Prambors semula hanya terdiri dari Kasino dan Nanuk yang
mengisi acara Siaran Pencinta Alam (1973) di Radio Prambors
Jakarta. Setahun kemudian masuk Rudi Badil dan Dono. Keempatnya
kemudian mengelola acara tengah malam di stasiun radio swasta
niaga itu: Obrolan di Warung Kopi. Kemudian Indro bergabung
(1976) ketika masih pelajar SMA di Jakarta.
Dari siaran radio, kelimanya sering pula diajak mengisi acara
api unggun dalam perkemahan. Pernah pula mereka melawak ketika
SMP IX Jakarta menyelenggarakan pesta 1976 di Bali Room Hotel
Indonesia. Baru dua tahun kemudian mereka berani tampil secara
komersial. "Sebelumnya kalau kami dapat honor, sering kami
habiskan makanmakan di Pecenongan bersama kawankawan," kata
Kasino. Kini honor mereka begitu besar, tak bisa dihabiskan di
restoran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini