MEREKA bertempur mempertaruhkan segalanya. Tapi ketika kembali pulang, para veteran Perang Vietnam itu diperlakukan bagai orang buangan. Pemerintah AS sendiri enggan mengurus mereka. November 1982. Dari seluruh pelosok mereka berdatangan ke Washington DC, dan berhimpun di sana. Apa yang mereka lakukan? Menghadiri peresmian monumen peringatan bagi kawan-kawan mereka yang tewas di Vietnam. Monumen itu berupa dua bidang batu granit yang membentuk huruf V. Puluhan ribu nama terukir pada granit hitam yang halus mengkilat itu. "Mereka gugur dalam perang yang tak dihargai," tulis William Broyles Jr. di majalah Newsweek 22 November tahun itu. "Mereka memperjuangkan cita-cita yang tak jelas, dalam pertempuran yang dilanjutkan jauh melampaui titik harapan akan suatu kemenangan." Tapi itu bukan kesalahan mereka, kata Broyles. Ketika negara memanggil mereka, mereka datang, dan mereka bertempur sebagai kesatria. Pengorbanan mereka tak kurang dibanding rekan-rekan mereka dulu yang bertempur di Gettysburg dalam Perang Saudara AS, atau di Normandia dalam Perang Dunia 11. Tapi batu peringatan mereka bukan monumen bagi kemuliaan dan kemenangan, atau bahkan bagi suatu asas. "Monumen mereka itu hanya mengingatkan akan harga perang itu. Suatu bukti penjualan," tulis Broyles, yang juga pernah bertempur di Vietnam. Lagi pula, "bukti penjualan" itu tak didirikan pemerintah. Monumen itu dirancang Maya Ying Lin, arsitek dari Universitas Yale, dibiayai dengan US$ 7 juta, dan dana itu ternyata hampir seluruhnya dikumpulkan para veteran sendiri. Presiden Reagan pun tak hadir dalam upacara peresmian itu. Juga istrinya, Nancy - padahal ia ketua kehormatan suatu kegiatan yang dinamakan "Hormat Nasional kepada Veteran Vietnam". Tapi, yang terasa lebih pahit lagi ialah ini: tidak adanya bendera di pucuk monumen. Maka, dengan kesigapan bagai ketika merebut kedudukan musuh di Vietnam dulu, sejumlah veteran lantas merampas sehelai bendera dan tiangnya dari sebuah hotel di dekat tempat itu. Bendera itu mereka tegakkan dan mereka jaga siang malam. "Mereka tak perlu mengibarkan bendera untuk kita," ujar Terry McConnell, bekas marinir dari Cleveland yang kini menganggur. "Kita mengusahakannya sendiri. Kita selalu berusaha sendiri, dulu, dan selalu akan berusaha sendiri ." Dulu, ketika mereka pulang dari tugas perang, tak ada sorak gembira. Tak ada kalungan bunga, jangan dikata ciuman gadis cantik di pinggir jalan. Bahkan keluarga dan tetangga seperti malu menyambut mereka. Yang ada hanya celaan dan ejekan para demonstran pendukung perdamaian. Meski begitu, untunglah. Hari itu, bulan November di Washington DC, mereka bisa menengadahkan kepala. Mereka membikin suatu pawai, dan ternyata pawai itu dielu-elukan rakyat yang berdiri sepanjang jalan. "Sungguh lama waktunya menuju pulang," ujar Mark Bloom, bekas pilot helikopter di Vietnam. "Pertama kali sejak 12 tahun saya tak merasa sebagai orang asing." Namun yang merasa dirinya sebagai orang terbuang masih banyak. Veteran Vietnam semacam itu diberi julukan trip-wire vef, yang secara harfiah berarti "veteran tali pelatuk". Ketika perang masih mengamuk, pasukan Vietcong banyak memasang perangkap maut di rimba raya - satu jenis jerat ayun yang akan bekerja bila tali pelatuk yang tersembunyi terinjak atau tersentuh. Banyak serdadu AS yang, setelah rekan-rekannya menjadi korban terayun-ayun, menjadi terampil hingga bisa mengindera dan menjinakkan perangkap macam itu. Kepada merekalah mula-mula sebutan itu dikenakan. Sikap menolak dan acuh tak acuh masyarakat ketika mereka kembali dulu itu membuat mereka menjauhkan diri dan bersembunyi di wilayah hutan dan gunung. Banyak yang mendiami daerah rimba dan lembah di Negara Bagian Washington, AS sebelah barat, yang masih tak berpenduduk. Menurut Mike McWatters, 38, konsultan psikologi dan ahli problem kejiwaan para veteran itu, trip-wire vetbanyak berkumpul sekitar Forks di Semenanjung Olympic dan di daerah pedalaman Whatcom County. Dl Washington sebelah timur mereka menempati kawasan kosong di utara Spokane, juga di Kittitas County dan sepanjang Sungai Columbia di barat daya negara bagian itu. Mereka hampir tak pernah terlihat orang. Dan tak ada yang tahu berapa banyak jumlah mereka sebenarnya. Para bekas pejuang itu bisa bertahan berkat keterampilan yang mereka peroleh selama dalam dinas, khususnya lewat pertempuran yang lama di rimba raya. "Saya kenal seorang veteran yang masuk hutan dalam keadaan telanjang bulat," cerita McWatters. "Tak lama kemudian ia kembali sudah berpakaian lengkap, terbuat dari kulit binatang. Berat tubuhnya bertambah 20 kg dan memegang sen jata yang ia buat sendiri. " McWatters, bekas anggota angkatan laut yang sempat dua kali bertugas di Vietnam, mendirikan suatu program "perangkulan" untuk membantu para veteran yang menderita kelainan kejiwaan. Ia sendiri pernah menderita seperti itu, ceritanya, dan pernah menyembunyikan diri di pegunungan Adirondack di Negara Bagian New York selama dua tahun. Menurut Michael Vouri, wakil direktur Departemen Negara Bagian untuk Urusan Veteran, McWatters memang pandai menghubungi para trip-wire vetdan bisa meraih kepercayaan mereka. Para trip-wire vetitu sebenarnya bukan orang gila, kata Randy Fisher, direktur departemen itu. "Mereka itu orang-orang yang sangat terpengaruh dan bingung," ujar Fisher pula. "Mereka tak bisa menyesuaikan diri kerbali karena dihinggapi tegangan pasca-traumatis." Kemarahan yang membara, keganasan yang seperti tak terkendalikan dalam diri mereka, dan rasa tidak betah di tengah keramaian, menyebabkan mereka lari. Di tengah masyarakat yang rumit dan banyak tuntutannya, mereka mengalami frustrasi dan tak bisa mengendalikan perasaan. Tapi di tengah hutan rimba yang sunyi, mereka merasa yakin. Dan di sana mereka tetap hidup dengan kewaspadaan dan keahlian prajurit di medan perang. Seorang trip-wire vet biasanya akan tahu bila ada yang melanggar wilayahnya. Ini berkat berbagai peralatan alarem yang juga menggunakan "tali pelatuk" - meski tidak membahayakan - yang ia tempatkan di sekeliling "kerajaan"-nya. Jika bisa ditemukan seorang trip-wire vet, itu hanya karena ia sendiri memang ingin bertemu - dan itu sangat jarang. Mereka yang pernah bertemu menceritakan, umumnya "manusia hutan" itu mengenakan pakaian dari kulit binatang yang sebelumnya mereka jerat untuk dimakan. Biasanya mereka bersenjatakan sebilah pisau dan sepucuk senapan berburu. Mendiami pokok kayu berongga. Atau gua. Atau tempat perlindungan lain yang sengaja dibuat. Menurut perkiraan para pejabat urusan veteran Vietnam, jumlah mereka mungkin sekitar 1.000 orang. Dan baru kira-kira 85 orang di antaranya yang sekarang mulai kembali bergaul dengan masyarakat - muncul di berbagai tempat konsultasi psikologi yang memang diadakan untuk menanggulangi problem mereka. Musim panas lalu, Randy Fisher meminta McWatters melakukan suatu survei yang meliputi Negara Bagian Washington, untuk menentukan berapa banyak di antara 100.000 veteran di negara bagian itu - yang hanya sepertiganya pernah mengalami pertempuran nyata - yang memerlukan bantuan konsultasi tapi belum mengikuti suatu program. McWatters menemukan sekitar 1.000 orang. Di antara mereka terdapat yang cara hidupnya sudah serupa dengan para pengembara gunung di abad ke-19. Ia juga menjumpai suatu masyarakat kecil, yang terdiri dari sejumlah veteran yang sama sekali sudah tak bisa diharap, jauh terpencil di suatu daerah hutan. Ia menolak menunjukkan lokasi mereka. Ia juga memperoleh kabar dari para veteran yang mengenal veteran lain yang diketahui menghilang. Didukung suatu anggaran sebesar US$ 100.000 yang disediakan pemerintah daerah, Fisher dan McWatters akhirnya menetapkan lima wilayah yang perlu diberi program konsultasi. Departemen Negara Bagian untuk Urusan Veteran kemudian mengontrak sejumlah psikolog untuk mendirikan pos-pos itu - di Port Angeles, Bellingham, Ellensburg, Tri-Cities, dan Colville. Sejak pertemuan konsultasi itu secara resmi dimulai, Agustus lalu, sekitar 85 veteran mengikutinya. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mencakup sekitar 20 orang. Bruce Webster, psikolog dari Port Angeles yang menangani sekitar 100 veteran - termasuk sejumlah trip-wire vet - mengungkapkan bahwa di dasar problem mereka itu terdapat satu atau lebih kejadian traumatis. Itulah yang oleh para psikolog secara hati-hati diangkat ke kesadaran, kemudian dibicarakan dengan para veteran lain yang mungkin pernah mengalami trauma serupa. Baru proses pemulihan bisa dimulai. Di antara yang dibantu Webster terdapat Marvin, bekas marinir berusia 33 tahun, yang pernah menjalankan misi sangat berbahaya seorang diri di rimba Vietnam. Marvin, yang tak mau disebut nama belakangnya, lebih dari empat tahun bertempur di Vietnam sebagai anggota satuan tugas khusus. Waktu itu senjatanya terdiri dari delapan bilah pisau dan dua helai tali jerat. Sejak kembali ke AS 10 tahun lalu, ia tinggal di tengah hutan, melacak dan menjerat jenis satwa, berdiam di dalam gua atau pokok kayu - melarikan diri dari masa lalunya. "Satu-satunya keterampilan yang saya miliki ialah yang berguna bagi Mafia, sebagai tukang bunuh," ujarnya, menurut cerita Marlowe Churchill, The War Inside, di buletin GAMMA Januari lalu. Marvin, seorang trip-wire vetdan penduduk Forks sejak dua tahun lalu, merupakan contoh khas. Beberapa bagian dari riwayatnya memang tak bisa dibuktikan, tapi para konsultan yang pernah bekerja sama dengan dia yakin akan kebenaran ceritanya. Katanya, ia masuk dinas marinir sebagai calon berusia 17 tahun. Ia berasal dari daerah hutan di Colorado, tempat ia berburu sejak berumur delapan tahun. Ia terpilih sebagai anggota tim elite pembunuh, ketika atasannya tahu ia mampu mengenai sasaran 98 kali dari 100 kali tembakan dalam jarak 100 meter. Juga ia bisa melacak - bahkan mencium dan merasakan kehadiran binatang, sekalipun masih dalam jarak jauh . Atasannya lalu menempatkannya dalam satu pasukan yang terdiri dari anggota berbagai satuan militer. Dan menugaskannya seorang diri ke dalam rimba untuk melacak dan membunuh Vietcong. Menurut Marvin, ia sering memasuki permukiman Vietcong serta mencuri makanan dan perlengkapan medis, untuk keperluan dirinya sendiri. Jika perlu, katanya, ia makan daging monyet mentah. Satu-satunya hubungan dengan induk pasukan ialah di saat ia menerima tugas pembunuhan berikutnya. Terkadang pula, perintah yang diterimanya ialah membunuh anggota tentara AS yang lari atau serdadu Vietnam Selatan yang bekerja sama dengan musuh. Ia melacak berbagai tempat tawanan perang - dan hampir selalu menemukan tawanan Vietcong, prajurit Amerika, yang sudah dibunuh. "Banyak sekali yang tak diketahui umum - dan barangkali tak akan pernah mereka tahu - tentang apa yang terjadi di 'Nam'," ujar Marvin. "Setelah 18 bulan pertama, saya menjadi bosan membunuh. Dan hanya membunuh jika memang perlu sekali. Saya kehilangan kebuasan saya." Marvin, bertubuh atletis dengan berat 65 kg, memiliki energi tak terbatas dan mata yang tak kenal takut. Ia meninggalkan Vietnam tahun 1971 hanya setelah mengalami berbagai luka. Ia yakin, jika ia tidak terluka, atasannya pasti membunuhnya - karena berbagai kebuasan yang ia lakukan justru berdasarkan perintah mereka. Ia memang mengakui bersikap paranoid mengenai masa lampaunya, dan menyatakan ketidakpercayaan yang sangat terhadap setiap lembaga pemerintah. Sesudah meninggalkan tentara dan masa perawatannya di rumah sakit yang cukup lama, Marvin mengaku, ia menghilang ke hutan-hutan Colorado, Wyoming, Montana, dan akhirnya Semenanjung Olympic di Washington. Ia selalu menghindari kontak dengan manusia lain. "Saya tak sanggup bersentuhan," katanya. Ia juga termasuk mereka yang hidup dengan memburu satwa liar, menanggalkan kebanyakan pakaiannya - untuk mengurangi "bau manusia" - termasuk alas kaki, dan menempuh- jalan yang hanya bisa dilalui kambing gunung. "Peliharaannya" kini berupa seekor singa gunung jantan muda, katanya, yang ia latih hingga jinak. Marvin kembali ke masyarakat setahun yang lalu, untuk mengatasi paranoianya: dihinggapi mimpi buruk yang tak tertahankan. Dengan pertolongan Webster dan sejumlah veteran lain yang menyertai pertemuan konsultasi, ia tak lagi memandang dirinya sebagai korban permanen. Bahkan, dengan bantuan istrinya yang baru, ia mungkin bisa mendapat pekerjaan - yang pertama setelah meninggalkan pasukan marinir. Veteran lain ialah Bill Maier berusia 35 tahun. Ia putra seorang bekas kepala sekolah di Port Angeles. Di saat ia kembali pulang, Bill juga dikejar kenangan buruk. Berulang kali ia mengalami impian yang menakutkan: menembak seorang tua di perahu nelayan. Bagi Bill, hutan juga merupakan tempat berlindung. Tapi kemudian isolasi itu menjadi terlalu berlebihan. "Saya menjadi takut akan segala macam," ujarnya. "Saya harus keluar dari situ. Segala sesuatu seperti hendak menghimpit saya." Ia mencari bantuan Webster, yang pernah menjadi pelatih atletiknya ketika masih di sekolah menengah. Sekarang Bill malah sudah berusaha membantu veteran lain: bersikap hampir-hampir seperti seorang pendeta, memasuki daerah hutan di Semenanjung Olympic, mencari orang seperti Marvin agar bisa memperoleh bantuan. "Saya merasa diri saya semakin membaik," ujarnya. Problem psikologis para veteran Vietnam sebetulnya sama saja dengan problem veteran di manamana: bayangan berbagai pengalaman traumatis di dalam perang. Tapi cara yang ditempuh pemerintah AS untuk menanganinya itulah yang menjadi biang persoalan, menurut Webster. Dulu, dengan harapan bisa mengurangi jumlah korban "guncangan pertempuran", pihak militer mengirimkan satu rombongan untuk satu tahun dan kemudian menggantinya dengan yang baru. Tetapi, menurut dia, cara itu melahirkan jurangjurang di antara mereka yang pulang, yang hampir sudah tak memiliki daya penyesuaian dengan kehidupan sipil. Dalam waktu 36 jam, banyak dari mereka yang mengalami tercabut begitu saja dari tengah pertempuran. Mereka meninggalkan teman yang mungkin tak akan pernah bertemu lagi, untuk kembali ke daerah belakang, menumpang sebuah pesawat jet sipil, menuju sebuah pangkalan di Amerika Serikat. Dan di sini mereka disambut oleh para demonstran yang mencaci-maki. Tak seorang pun yang bisa diajak membahas pengalaman mereka. Tak seorang pun seperti mau mengerti makna perang itu, yang musuhnya sering tak terlihat atau tak terbedakan dari penduduk Vietnam umumnya. Tangan para komandan militer seakanakan terikat oleh para politisi. Dan kecenderungan rakyat Amerika agaknya seperti menentang - secara pribadi - terhadap mereka yang bertempur. Begitulah anggapan mereka, kata Webster. Kebanyakan para veteran Vietnam memang bisa mengatasi sikap agresif dan emosi mereka yang kisruh itu, dan akhirnya berhasil kembali bergaul. Tapi bagi banyak yang lain - terutama yang mengalami banyak pertempuran dan pembunuhan - trauma itu membara selama bertahun-tahun. "Di hutan sana," kata Webster, "terdapat orangorang hebat yang sebenarnya penuh kasih sayang, yang hanya ingin tak diganggu, dan yang berkata, 'Saya tak sudi hidup dalam suatu masyarakat yang meludahi saya dan melemparkan buah tomat ke muka saya'." Lewat petunjuk dari mulut ke mulut, Webster kemudian pelan-pelan mendekati beberapa dari orangorang ini - "agar mereka mengetahui bahwa ada orang yang memikirkan nasib mereka." Dan berikutnya, ia memulai proses penyembuhan, yang memang memakan waktu tak singkat. Delmar Sayres, misalnya, lama tak mampu mengungkapkan pengalamannya selama suatu periode traumatis dalam hidupnya. Sayres, 35, pulang dari Vietnam dengan catatan terpuji sebagai penembak di pintu helikopter. Tapi ia juga pulang dengan marah. "Para pengelak dinas tentara," katanya sebal. "Mereka bahkan lebih banyak mendapat pengakuan daripada kita. Mereka itu diampuni. Tapi apa yang kita peroleh?" Para pengelak wajib militer itu misalnya Mohammad Ali, yang memilih dicopot gelarnya sebagai juara tinju daripada berperang di Vietnam. Sayres, yang tinggal di Port Angeles, seperti kebanyakan dari 100.000 veteran Vietnam di Washington, merasa dikhianati pemerintah. Ia disambut para demonstran perdamaian setibanya di California, dulu dan tak ada yang membela. Ia hanya menemukan ketenangan di bar, dengan minum bir banyak-banyak. "Saya suka ke bar dan mencari gara-gara biasanya dengan orang yang lebih besar dari saya," kata Sayres yang tingginya 1,70 m itu. Ia baru saja mampu mengungkapkan perasaannya kepada Donna Jean, istrinya yang kedua yang baru beberapa bulan ia nikahi. Donna memang memahami perilaku agresif Sayres. "Saya dulu mengadakan surat-menyurat dengan tiga orang yang bertempur di Vietnam," katanya, "jadi saya mengerti betul keadaan di sana itu" Seperti sejumlah veteran lain yang ditangani Webster, Sayres juga menderita sindrom pasca-traumatis. Ia tak bisa mengatasi kenang-kenangan kepada satu pengalaman tertentu yang ia dapat dulu. Tapi ia tak mau mengungkapkannya. Rekan-rekannya mengatakan, "Ia mengalami banyak sekali, banyak sekali pembunuhan." Sayres hanya menuturkan, cara ia mengatasi ketakutannya dalam pertempuran dulu ialah membawa banyak minuman bir di saat terbang. "Pilot kita kebanyakan lulusan Harvard, dan salah satu di antara mereka mengisap madat. Saya tak mau terbang dengan dia kecuali ia sedang mengisap. Kalau ia tidak mengisap, ia tak bisa apa-apa." Dan tugasnya itu membawa Sayres ke wilayah Kamboja dan Laos, lama sebelum Amerika mengakui kenyataan bahwa perang di Vietnam sudah melampaui perbatasan negera itu. "Secara pribadi, peperangan itu tak banyak mempengaruhi saya," katanya. "Saya 'kan sukarelawan." Tapi yang tak disadarinya ialah bahwa perang itu sebenarnya sangat memukul dirinya. Ini kata penasihat Sayres. Kalau tidak, mana mungkin ia menderita impian buruk, atau kemarahan tak terkendalikan?, "Kehidupanku memang sangat rumit sejak saya kembali," tutur Sayres. "Saya bercerai dengan istri saya. Dan selama dua bulan bahkan tinggal di sebuah kedai minum. Sukar memerinci apa yang dilakukan pasukan dan apa yang saya lakukan sendiri." Sekarang ini, lampu terang masih selalu mengingatkannya pada lampu sorot di sekitar pangkalannya di Vietnam. Suara mengetak-ngetak mengingatkannya kepada musuh yang menggunakan tongkat kayu untuk mengukur jarak penembakan roket atau mortir ke pangkalan itu. "Seharusnya orang jangan marah kepada kita," ujarnya. "Seharusnya mereka marah kepada para politisi. Merekalah yang menyuruh kita, kapan kita harus menembak dan kapan tidak." Sayres kini belajar di sebuah sekolah montir diesel. Ia hanya mengharapkan pekerjaan yang tetlp, yang bisa membantunya melunasi sejumlah utang, dan melengkapi alat-alat rumah tangga pasangan baru itu. Dalam pada itu Steve Brown, pejabat pengadilan di Clallam County, menyaksikan cukup banyak veteran Vietnam di ruang kerjanya - karena melakukan pelanggaran kecil. "Mereka itu naik bis yang panas dengan jendela yang ditutup sama sekali - takut kalau ada orang melemparkan sebuah granat," katanya. "Akibatnya, mereka dengan sendirinya menghindari bis dan kerumunan orang." Brown sendiri bekas marinir yang memiliki gelar dalam psikologi, dan melakukan riset tentang tegangan pascatraumatis. Ia menyayangkan tidak adanya program konsultasi penyesuaian bagi para veteran, langsung begitu mereka tiba kembali di tanah air, seperti yang dulu diadakan bagi para veteran Perang Dunia ke-2 dan Perang Korea. Dan seperti Brown, Ed Watson, seorang pejabat pengadilan negara bagian, juga menyarankan para veteran yang mereka temui untuk berhubungan dengan ahli psikologi Webster. Watson sendiri jebolan tentara, dulu bertugas di Divisi Infanteri ke-21 di Vietnam. Katanya, sekarang ia bisa mengenali gejala para veteran yang menderita tegangan pasca-traumatis. "Saya sendiri menyadari bahwa saya bisa terpengaruh juga. Saya, misalnya merasa sangat tidak nyaman bila berada dalam gelap seorang diri." Lebih dari itu, Watson yakin bahwa ia terpengaruh zat kimia Agent Orange di Vietnam. Yang terakhir itu agak serius. Agent orange adalah zat pembasmi tanaman, disemprotkan dari udara untuk menggunduli hutan dan menghancurkan ladang-ladang pangan di kawasan yang ditandai sebagai basis Vietcong. Tapi akibat sampingnya ternyata bisa mengerikan, meski yang diidap tubuh Watson barangkali tak seberapa. The Best Photo Journalism, dari Asosiasi Fotografer Pers Nasional AS dan Sekolah Kewartawanan Universitas Missouri, jilid 7, menghidangkan beberapa kasus veteran di sekitar zat laknat ini. Suatu hari, di Pleiku, Vietnam, Jim Roxby kena semprotan agentorangedi mukanya. Dirumahsakitkan, ia mengalami pendarahan pada mata dan kebutaan selama sembilan hari. Dan sejak ia pulang ke AS, penglihatannya dan kesehatannya terus menurun. Lengannya kaku, kulit tangan dan torsonya mati, seperti kulit binatang. Jim menerima tunjangan dari Dinas Sekuriti Sosial. Douglas Rudolph dan Mike Milne juga menderita pada tulang dan otot. Milne lumpuh total. Keduaduanya tidak mendapat tunjangan dari Administrasi Veteran . Sedang Dan Jordan, ketika pulang pada tahun 1969 sudah membawa kelainan kulit. Gejala-gejala lain menyusul: kelainan otot, kehilangan rasa di kepala dan lengan, pendarahan, dan yang paling menyayat adalah ini: ketulian dan ketidaksempurnaan tubuh yang diderita anak-anaknya. Kedua bocah itu, Michael dan Chad, dilahirkan dengan jari tak lengkap - dan karenanya aneh bentuknya - dan kekurangan tulang pada lengan dan pergelangan . Penggunaan agent orange sendiri dihentikan pada 1971, meski sudah sejak awal -1962 - dikecam. Dan baru Juni tahun lalu Kongres AS memerintahkan Administrasi Veteran memulai penanggulangan berbagai gejala yang berhubungan dengan zat sadistis itu. Toh pemerintah AS tetap ogah mengakui adanya hubungan kuat antara penderitaan ribuan veteran dan obat semprot itu, menurut berkala yang kita kutip ini. Lepas dari soal agent orange, Ed Watson menandaskan, "Saya belum pernah men jumpai seorangveteran yang bebas dari problem. Saya pahami itu karena saya sendiri sangat benci kepada pemerintah waktu itu. Kita sebenarnya punya kesempatan memenangkan Perang Vietnam - tapi peluang itu kita sia-siakan. Kita benar-benar dijual para politisi, dan saya sendiri merasa dikhianati. Tapi istri saya seorang perawat psikis, sehingga bagi saya lebih mudah daripada yang lain." Di segi lain, kemarahan meledak dalam diri Dave Murray. Ia dari 1964 hingga 1968 bertugas di kapal suplai di Vietnam - dan terkenang kepada suatu peristiwa mengerikan yang mengguncangkan hidupnya. Sebagai ahli teknik mesin turbin yang belum berpengalaman bertempur, Murray suatu kali dikirim untuk memperbaiki mesin di sebuah pangkalan AS ketika pangkalan itu tiba-tiba diserbu Vietcong. Ia beserta seorang pelaut lain berhasil lari ke dalam rimba, berusaha menemukan jalan kembali ke kapal. Tiba-tiba keduanya sampai di suatu kampung yang juga baru digasak Vietcong. "Seisi kampung itu, setiap orang - laki-laki, perempuan, anak-anak - mereka ikat pada pohon, mereka bunuh. Perut mereka dibongkar. Saya marah luar biasa! Ini bukan perang lagi! Ini kegilaan. Mestinya tak seorang pun harus menyaksikan adegan semacam itu lagi!"Dan adegan mengerikan itu, yang dilihatnya 15 tahun lalu, masih juga menghantuinya. Semua veteran yang hadir di ruang Psikolog Bruce Webster itu pun mengangguk membenarkan. Mereka masing-masing juga menyaksikan kebiadaban sejenis itu, dulu. Wesbter, konsultan yang tampak terpelajar dan bersuara lembut, merumuskan tegangan pascatraumatis itu sebagai peristiwa yang tampaknya telah mereda, tapi mengakibatkan kelainan permanen dalam peri laku. Satu-satunya cara untuk sembuh ialah menyingkapkan pengalaman itu, lalu mencari jalan untuk menerimanya dengan rela. Setiap Kamis malam, Webster dan Charlene, istrinya, menuju Forks, sejauh 80 km, mengadakan pertemuan khusus dengan sejumlah kelompok veteran lain. Charlene, yang juga psikolog, menyelenggarakan acaranya di sebuah ruangan lain - dengan para istri veteran yang terganggu. Para istri itu, tentu saja, turut menderita oleh ulah suami mereka yang tak bisa tidur malam, yang mengalami paranoia atau ingatan kembali pada saat-saat yang menakutkan. Mereka yang hadir dalam pertemuan khusus di Forks dan Port Angeles memang telah menyaksikan lebih banyak pembunuhan daripada siapa pun. Empat orang-termasuk Marvin yang minta agar nama keluarga mereka tak disebut, agaknya termasuk yang paling serius: hanya mau bicara tentang masa lalu mereka dalam sebuah pertemuan khusus yang sangat emosional. Webster menanyakan apa sebenarnya yang paling membuat mereka marah. Jack, penebang kayu, bertugas di Vietnam sebagai anggota satuan pelacak yang terdiri dari 15 orang. Ia dikirim tahun 1970 dalam satuan Divisi Lintas Udara ke-82, dan menjalankan tugas yang sampai sekarang tetap rahasia. Ia memasuki wilayah Kampuchea dan Laos, kadang-kadang selama tiga bulan tanpa undur. Sekali, setelah suatu tugas yang amat berat, satuannya dijadwalkan untuk beristirahat di garis belakang dan menyaksikan pertunjukan oleh Pelawak Bob Hope. Tapi pada saat terakhir mereka diberitahu: penampilan mereka terlalu kotor. Sebagai gantinya, sekelompok prajurit lain dari daerah belakang, yang sedikit sekali mengalami pertempuran, diangkut dengan pesawat untuk menyaksikan hiburan itu. Mereka jauh lebih bersih, tentunya, dan lebih cocok untuk Bob Hope dan kamera televisi. "Kita menunggu di tengah rimba selama tiga hal i tak ada makanan, tak ada perintah - hanya duduk di sana, hingga mereka melupakan kita. Akhirnya para perawat anjing pelacak meminta makanan anjing, dan sebuah helikopter menjatuhkan kantung besar berisikan makanan anjing. Tak ada jatah prajurit. Sialan anjing itu! Akhirnya kita yang menyantap makanannya." "Itulah sikap mereka selama perang itu. Kita tak lebih dari daging anjing. Di situ terjadi kesemrawutan total - tak ada yang cocok atau yang beralasan . Mereka hanya memperhitungkan tubuh. Itulah sikap mereka." "Itulah sikap pemerintah terhadapmu sekarang," ikut bicara Bruce, bekas anggota satuan khusus angkatan laut (SEAL), yang melakukan serbuan di bawah air hanya bersenjatakan pisau dan bahan peledak pada tahun 1964. "Lihatlah soal Grenada dan Beirut. Pasukan itu ketika pulang digelari karpet merah. Karpet apa yang kita peroleh?" Tapi Bruce, yang dilatih menjalankan tugas berbahaya - yang sampai sekarang juga masih rahasia tak membuang waktu dengan merajuk. Ia melampiaskan dendamnya melalui perkelahian di kedai rn* num, seperti Sayres. Dan seperti juga sejumlah besar veteran lain, sesudah pulang Bruce mengalami sederetan perkawinan yang gagal - tiga kali. Para veteran itu tak terlalu senang membicarakan masa lalu, dan terutama marah karena dinas tentara melatih mereka sebagai "pembunuh unggul sematamata", kemudian melepaskan mereka tanpa memperhitungkan situasi transisi - dari sebuah perang yang akhirnya kehilangan makna. "Satu-satunya yang saya tahu ialah kekerasan," ujar Bruce. "Saya menyerapnya selama 20 tahun!" Ada orang yang menganggap para veteran itu tukang keluh yang tak ada habisnya, atau orang-orang yang sebenarnya tak mampu. "Kita ini unggul," kata Bruce. "Kita yang terbaik. Kita masih hidup. Dan saya sungguh tak peduli apa yang dipikirkan siapa pun." Bruce, yang dipecat Angkatan Laut, mengingat - dan tampaknya tak bisa melupakan - betapa ia terpaksa membunuh salah satu teman dalam timnya yang terluka agar ia bisa selamat dari kepungan musuh. "Tiga belas orang memasuki daerah itu, hanya dua yang lolos," katanya memberikan alasan. Jerry - yang meninggalkan dinas tentara setelah bertugas 12 tahun, termasuk di Vietnam sebagai anggota patroli pelacak jarak jauh - teramat marah karena tak seorang pun tampaknya mau mempekerjakan seorang veteran dengan latar belakang seperti itu. "Kita hanya terlatih untuk membunuh,' ujarnya. Ia, tanpa hasil, telah melam.lr 24 lowongan selama tahun lalu. "Sn ke Forks untuk membangun suatu hehidupan baru, tapi agaknya bagiku tak mungkin menemukan kebahagiaan," katanya, bagai nyanyian. Marvin, yang juga hadir, tampak gelisah - mengisap rokok tak hentihentinya ketika mendengarkan kisah rekannya. "Saya berteman dengan ini," katanya, sambil mengeluarkan sebilah pisau dari balik ikat pinggangnya. "Saya tak bisa melepaskannya." Webster memandang. Kemudian memintanya menyerahkan pisau itu. "Peganglah tangan saya, genggam sekuat-kuatnya," katanya kepada Marvin. "Sekarang, serahkan pisau itu. Pergunakan kekuatan yang sama dengan yang kau pakai menggenggam tangan saya, untuk melepaskan pisau itu." Marvin, yang matanya berkaca-kaca, akhirnya meloloskan barang itu ke tangan Webster. "Saya membawanya begitu lama," katanya, dengan suara terisak. "Saya tak mau membawa pisau lagi. Selama-lamanya. Saya tak lagi memerlukannya." "Kamu telah mengambil langkah yang sangat penting dalam hidupmu, Marvin," kata Webster. "Terima kasih untuk pisau ini. Dan sekali kamu serahkan, kamu tak akan memperolehnya kembali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini