SEORANG Amerika berdahi lebar, berkumis kaku, dan berkaca mata konservatif bulan lalu keluar masuk sejumlah gedung di Jakarta. Setiap masuk satu ruangan, matanya dengan saksama mengamati segalanya: tinggi ruang, lebar, panjang --entah apa lagi. Apa yang ia cari? Albert K. Webster, yang mengunjungi Studio V Radio Republik Indonesia, Gedung Teater Utama Taman Ismail Marzuki dan Balai Sidang Senayan, datang dengan tekad yang agak mustahil: ingin menemukan sebuah bangunan yang memenuhi syarat untuk pertunjukan orkes besar yang tak kepalang tanggung. Jangan kaget: orkes itu bernama The New York Philharmonic Symphony Orchestra. Ia akan main di Jakarta September yang akan datang. Dirigen: Zubin Mehta sendiri. Pergelaran Orkes Simfoni New York itu, di ibu kota Republik Indonesia jelas suatu peristiwa bersejarah yang merepotkan. Bukan cuma karena jumlah pemain yang 110 orang itu. Tapi karena Jakarta bukan kota musik klasik Barat - atau mungkin bukan kota musik apa pun yang memerlukan ruang dengan kemampuan akustik yang piawai. Di luar keheningan Studio V, tempat Orkes Simfoni Jakarta secara teratur (atau tak begitu teratur) main, yang ada praktis hanya pentas untuk musik bar dan musik dangdut. Atau yang sedikit lebih rapi dari itu. Bagaimana Webster, yang menyiapkan kedatangan Mehta dan orkesnya di sini, akan mengatasi soal pelik itu? Yang pasti, bagi Webster, "penonton yang duduk paling belakang harus bisa mendengar pertunjukan kami sama baiknya dengan penonton paling depan." Dengan kata lain. Ia tak mengharap hadirin datang cuma untuk merasakan sebuah prestise - sambil bengong. Prestlse, memang: The New York Philharmonic Symphony Orchestra adalah orkes simfoni tertua di Amerika Serikat, dan ketiga tertua untuk ukuran dunia. Pergelaran pertama orkes ini terjadi pada 7 Desember 1842, di Apollo Room, 410 Broadway, New York, setelah April tahun yang sama Ureli Corelli Hill mendirikan Philharmonic Society of New York. Hill, yang juga seorang dirigen, agaknya berhasil menarik bukan hanya orang musik yang berbakat, tapi juga para pemberi uang dan - yang sering dilupakan di kesenian Indonesia - manajer yang cakap. The New York Philharmonic tumbuh tak tertandingi oleh orkes simfoni lain di New York. Malah kemudian sejumlah orkes simfoni melebur diri ke sana. Salah satu caranya mengukuhkan nama pada waktu Amerika cuma dikenal sebagai pemilik musik koboi - ialah dengan mengundang para dirigen tamu dari Eropa. Salah satunya scbuah impor tersohor dari Jerman: Richard Strauss. Tapi lebih penting dari komponis Jerman itu ialah Arturo Toscanini, yang memimpin orkes besar itu antara 1929 dan 1936. Pemegang baton dari Italia itu, dengan rambut putih orang bijaksana, pada dasarnya scorang Napoleon orkes besar: Jemus, diktator, komandan nomor satu. Ia, yang memimpin pergelaran tanpa partitur (ia buta ayam, tapi ingatannya bukan main) seolah memetik melodi dari langit, lalu membentuk sebuah sosok yang punya detail, dan, seperti kata seorang kritikus, "yang konsepsi bentuknya secara esensial bersifat klasik." Kemasyhuran dengan Toscanini kini dibayangi oleh ketenaran dengan Mehta. Zubin, yang lahir di Bombay pada 1939, adalah orang India keturunan Parsi pertama yang menjulang setinggi itu ke depan orkes. Pada umur 22 tahun, ia memenangkan hadiah pertama kompetisi diri Ken di Livcrpool. Yang mungkin akan menyebabkan Mehta cocok untuk perjalanan ke Asia kini ialah: ia tak repot dengan tempat-tempat yang sulit. Sebelum memimpin The New York Philharmonic, ia dirigen di Los Angeles Philharmonic. Suatu ketika ia membawa orkes itu bermain di sebuah gereja orang hitam. Tindakan ini diulanginya dengan rombongan New York. Pada 1980, The New York Philharmonic bermain di sebuah gereja Baptis di daerah miskin Harlem. Tentu, yang dihadapi Mehta adalah orang-orang hitam yang berpakaian seenaknya. Mereka tak duduk anggun, tapi ada yang nongkrong di jendela gereja, atau mondar-mandir di gang antara kursi-kursi. Dan, kadang, suat-suit penonton seperti hendak bersaing dengan musiknya itu sendiri. Mehta terganggu? "Malah menyenangkan, dan memberikan pengalaman baru kepada para pemain kami," tutur Albert Webster, managing director New York Philharmonic itu kepada James Lapian dari TEMPO. Tapi tentu bukan untuk cari pengalaman baru bila Webster. untuk pertunjukan September nanti diJakarta, akhirnya memilih Balai Sidang Senayan meskipun gedung itu akustlknya sangat kurang memadai. Ia tak memilih Studio V RRI, yang dipujinya sebagai a lovely hall, karena daya tampung studio itu kecil. "Kami malu kalau pergelaran kaml hanya disaksikan sedikit penonton," kata Webster. Lagi pula, Balai Sidang itu masih bisa dikoreksi di sana-sini untuk mencapai akustik yang lumayan. Yang dicari agaknya memang bukan kesempurnaan teknis. Perjalanan ini lebih merupakan muhibah Mehta untuk berkenalan dengan dunia di luar Amerika dan Eropa dunia tempat ia dilahirkan. Selain Indonesia, ia akan mengunjungi Jepang, Taiwan, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan akhirnya India, tentu. Dana perjalanan panjang dan mahal ini disokong Citibank. Menurut Webster, hasil penjualan karcis dan piringan hitam diperkirakan hanya akan menutu 60% dari anggaran. Untuk informasi Anda: harga karcis di Jakarra Rp 3. 000 sampai Rp 25. 000 - akan lebih mahal dari tiket lakon Smantri-Skosrono di TIM malam tahun baru 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini