Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah nyanyian tentang peru

Gambaran dan kehidupan di peru, dulu dan kini. dikisahkan oleh mario vargas llosa. (sel)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA abad sebelum terbitnya novel George Orwell 1984 dan Ensiklopedi Besar Soviet, orang Inca sudah lebih dulu memanipulasikan masa silam untuk kepentingan politik. Tiap raja, yang bertahta di ibu kota Cuzco, selalu didampingi dewan amauta - para bijak bestari - yang tugasnya "membongkar-pasang" sejarah. Itu "dalam upaya membuktikan bahwa mereka telah mencapai puncak kejayaan", kata Mario Vargas Llosa dalam The New York Times Magazine (TNYT) 20 November 1983. Bayangan kebesaran memang menjadi iming-imingan semua penguasa, dulu dan kini. Tapi sejarah dibuat menyimpang begitu jauh, keluh Mario, dan segala ikhtiar merekonstruksikannya jadi sia-sia. Mario Vargas Llosa - ini bukan nama sepele lahir di kota kecil di Lembah Andean. Ia menerima pendidikan di Bolivia, terus ke Universidad Nacional de San Marcos, Lima, dan Universidad de Madrid, Spanyol. Kemudian menjadi wartawan dan penyiar, termasuk di televisi Prancis dan kantor berita AFP, Paris. Bekas presiden PEN Club ini juga mengajarkan Sastra Amerika Latin, baik di Peru maupun di luar. Menerima sejumlah penghargaan, terakhir (1967) Romulo Gallegos Prize, Mario cukup banyak menulis novel - paling belakangan berjudul Perang di Akhir Dunia. "Arequipa, kota tempat aku lahir, terletak di Lembah Andean di Peru Selatan," begitu ia memulai A Passion for Peru di TNYT. "Terkenal karena semangat kependetaan dan pemberontakannya, para ahli hukumnya, gunung-gunung api, kejernihan langit, rasa gurih udangnya, dan sifat udiknya." Keluarga Llosa pindah dari Arequipa di tahun pertama kelahiran Mario, dan tidak pernah menetap di sana lagi. Tapi ia mengaku dirinya "lebih Arequipa", dan menganggap olok-olokan orang Peru lainnya terhadap mereka sebagai pernyataan iri hati belaka. "Bukankah kami bicara Spanyol paling murni? Bukankah kami yang memiliki bangunan Santa Catalina yang mengagumkan, wisma biarawati yang mampu menampung 500 penghuni? Bukankah kami yang memiliki gempa bumi paling dahsyat, dan sejumlah revolusi besar dalam sejarah Peru?" Ia menetap di Cochabamba, Bolivia, dari usia 1 sampai 10 tahun. Apa yang dapat dikenangnya tentang kota masa kecilnya itu adalah: buku-buku tentang Sandokan, para pangeran jagoan Abad Pertengahan Eropa, Tom Sawyer dan Sinbad, karya-karya Nostradamus dan Cagliostro, dan kumpulan sajak "mengasyikkan" yang selalu dicobasembunyikan ibunya. "Aku membacanya bukan karena paham, tapi karena daya pikat birahi yang membuatnya terlarang." Dan di situ agaknya kepengarangannya dimulai. Merasa buku yang sedang dilahapnya berakhir secara tidak masuk akal, Mario kecil acap membuat sendiri bab baru atau ending, baru untuk buku itu. Hidup di luar negeri mempertebal keyakinannya bahwa hal yang terbaik bagi seseorang adalah menjadi orang Peru. Gagasannya tentang Peru lebih bertumpu pada Inca dan para conquistador, penakluk Spanyol, ketimbang pada luas nyata negeri itu sendiri - yang tidak dilihatnya lagi sampai 1946. Itulah saat keluarganya beranjak kembali dari Cochabamba ke Piura, tempat kakeknya dikenal sebagai pejabat tinggi. Mereka melawat ke seluruh negeri, dan singgah di Arequipa. Diingatnya rasa kagumnya ketika menyaksikan laut untuk pertama kalinya di Camana. Ia merengek dn merajuk-rajuk, sampai kakeknya menghentikan mobil agar sang cucu dapat menikmati lebih lama ombak yang datang bergulung. Seekor kepiting menggigitnya: "Tapi cinta pertamaku kepada pantai Peru tidak pernah berakhir." Negeri yang dicintainya itu digambarkannya bagai sepotong gurun sepanjang 1.400 mil. Ada lembah-lembah sempit, terpotong-potong oleh sejumlah sungai yang berduyun turun dari Pegunungan Andes. Bibir pantai Atlantik turut pula mempersempit kawasan. Tidak hanya itu. Kaum Indian, yang mencoba bertahan dalam sikapnya yang fanatik sambil mencerca hadirnya tradisi Spanyol, juga menyerbu daerah pantai. Kawasan tepi air itu mereka nilai sebagai tempat empuk bagi pendaratan pengaruh asing. Mereka sendiri menganggap sebagai tragedi bahwa pusat kehidupan politik dan ekonomi Peru berpindah dari siera, pedalaman bergunung-gunung, ke wilayah pesisir. Yaitu dari Cuzco, ibu kota Kemaharajaan Inca, ke Lima. Ini, kata mereka, menandai awal sentralisme yang mencekik dan mengubah Peru menjadi sejenis laba-laba. Akibatnya, negeri itu besar di kepala (Lima, ibu kota), tapi lemah di pinggang dan ekor. Sebagai seorang Arequipa, dan seorang dari siera, Mario merasa lebih condong berdiri di sisi penduduk Pegunungan Andes dalam setiap polemik dengan orang pesisir. Tetapi, jika harus mengambil satu di antara tiga - pantai, pegunungan, dan rimba Amazon - pengarang itu lebih senang memilih pemandangan berpasir dan bergelombang. Hendaknya tahu, tiga kawasan itulah yang memisah-misahkan Peru sejak dulu. Kawasan pantai menandai batas luar Kemaharajaan Inca, peradaban yang tumbuh membesar dari Cuzco. Peradaban Inca sebenarnya bukan satu-satunya kebudayaan pra-Spanyol di Peru, tapi yang paling tangguh. Wilayahnya juga mencakup - kini Bolivia, Equador, sebagian Chili, Colombia, dan Argentina. Dalam masa relatif singkat, 150 tahun, Inca menundukkan belasan negeri dan rakyatnya. Mereka membangun jalan-jalan, jaringan pengairan, benteng-benteng. Juga mengembangkan pemerintahan berikut perangkat administrasinya dan mampu memberi makan anak negeri - hal yang tak terpenuhi oleh pemerintah pengganti, baik penjajah maupun pribumi. "Meski demikian, saya tidak pernah menyukai Inca," tulis Mario. Ia mengaku terpesona oleh monumen-monumen seperti Machu Picchu dan Sacsahuaman. Tetapi melankoli orang Peru - ciri menonjol dalam karakter mereka - mungkin justru lahir dalam masa Inca, katanya. Masyarakat mereka yang birokratis, dan dicetak dalam disiplin "manusia semut", dianggapnya bagai mesin giling pelindas kepribadian individu. Agar tetap mampu mengendalikan bangsa-bangsa yang telah ditaklukkannya, Inca menggunakan cara ini: penanaman kepercayaan terhadap dewa-dewa mereka dan penerapan sistem aristokrasi pada para kepala suku dan raja kecil. Ada pula kaum mitimae, orang-orang patuh yang dicabut dari tanah asalnya kemudian dicangkokkan ke kalangan baru di suatu tempat yang jauh. Syair ratapan kaum yang terbuang ini sempat lahir, di antaranya syair Quechua - satu di antara sedikit yang terselamatkan. Isinya menangisi tanah kelahiran yang hilang. *** Orang Inca memiliki quipus, sistem penghafalan yang mampu merekam jumlah - tapi tidak mengenal tulisan. "Dan saya yakin, mereka tidak menginginkannya karena bisa menjadi ancaman bahaya bagi masyarakat mereka." Seni mereka konon kaku dan dingin. Tidak memiliki fantasi dan kecekatan seperti yang dipunyai dua budaya pra-Spanyol lain - Nazca dan Paracas. Dua peradaban terakhir itu dikatakan mampu menciptakan mantel bulu yang sangat indah dan tenunan gambar yang mengagumkan, yang warna dan keindahannya bisa bertahan hingga kini. Lepas dari Inca, orang Peru harus menanggungkan mesin pelindas yang lain: Spanyol. Kaum cnquistador itu membawa serta bahasa mereka - yang menjadi bahasa anak negeri kini. Juga agama Katolik. Ada pula lembaga sensor, yang malahan mampu meredamkan semua jenis karya sastra. Mereka bisa menuding - dan menghukum - siapa yang dianggap ingkar dan bid'ah. "Ini tak lain penudingan dan penghukuman terhadap kaum yang berani berpikir," komentar Mario. Masa kolonial berarti eksploatasi orang Indian dan kulit hitam. Terbentuknya kasta-kasta ekonomi, yang katanya masih berlangsung sekarang, menjadikan Peru sebuah negeri yang semakim besar jurang perbedaannya. Sedang kemerdekaan hampir tidak mengubah masyarakat negeri itu. Mereka terbagi dalam golongan minoritas yang menikmati kehidupan enak dan modern dan mayoritas rakyat yang papa. Semua rezim yang pernah berkuasa tidak mampu memperkecil perbedaan itu. Dua tahun di Piura terekam semua dalam kenangannya. Orang-orangnya yang terbuka, dangkal, senang lelucon, dan penuh perasaan. Pada saat itu chicha - minuman dari jagung - sangat nikmat. Mereka menari tondero penuh gaya. Hubungan mereka dengan orang cholo - orang meztizo, keturunan kulit putih dan Indian dan dengan kulit putih lebih serasi ketimbang di negeri lain. Sikap tak resmi dan kekasaran mereka justru mengurangi perbedaan sosial. Dan, seperti keturunan Latin lainnya, mereka romantis. Para perayu melagukan serenada di bawah balkon rumah perawan. Jika orangtua sang gadis tidak setuju, ambil jalan pintas: bawa lari si gadis ke suatu ladang pertanian untuk beberapa hari. Kemudian, melalui perembukan antara keluarga, datanglah akhir yang bahagia. Piura konon kota menawan. Di dekatnya ada sebuah distrik yang disebut La Mangacheria, penuh bangunan yang terbuat dari bambu dan tanah liat. Inilah tempat asal chicha yang terbaik. Lalu La Gallinacera, distrik di antara sungai dan kanal. Dua daerah bertetangga ini bermusuhan, dan acap mengakhirinya dengan perkelahian. Rumah Hijau adalah nama sebuah lokalisasi WTS, harap tahu. Dibangun di tengah padang pasir, sangat hidup jika malam tiba: terang di antara remang, riuh di antara bisik. Para orangtua Selesia memandangnya dengan was-was dan geram. Sementara bagi anak-anak, seperti digambarkan Mario, itu "tempat yang menakutkan dan memesonakan .... Aku menghabiskan berjam-jam mempercakapkannya, mencuri-curi intip, dan mengkhayalkan apa yang sedang berlangsung di dalamnya...." Dalam berbagai bangunan kayu yang lapuk itu, orkes dari Mangacheria bermain dengan asyik mengingatkan orang Jakarta kepada Planet Senen, dulu. Para hidung belang dari Piura pun berdatangan untuk makan, mendengarkan orkes, dan memperbincangkan bisnis. Dan bercinta, tentu. Sepasang-sepasang terbaring di luar, di bawah langit terbuka, di bawah bintang-bintang, di hamparan pasir yang hangat. Kenangan ini tak pupus dari ingatan. Novel La casa verde - Rumah Hijau - diakui Mario lahir di sana. Di samping tentang kompleks WTS, Rumah Hijau juga bercerita tentang pengelabuan terhadap sekelompok petualang dari negeri Amazon. Dalam karya itu ia mencoba menggabungkan dua wilayah Feru: padang pasir dan hutan belantara - yang perbedaan keduanya begitu jauh. Kenangannya akan Piura juga turut menghasilkan sejumlah karya sastra awalnya, seperti Los jefes, Para Pemimpin. *** Pertama kali Mario ke Lima ketika ia baru saja melepaskan masa kanaknya. Lima pada 1940-an masih kota kecil yang aman dan damai, kendati tetap menipu. Mereka tinggal di kompartemen yang kedap air. Yang kaya dan mapan di Orantia dan San Isidro. Kelas menengah yang lebih mampu di Miraflores. Golongan di bawahnya menetap di Magdalena, San Miguel, dan Barranco. Dan yang miskin di La Victoria, Lince, Bajo el Puente, dan El Porvenir. Anak-anak golongan mampu konon tidak pernah menyaksikan saudara-saudaranya yang miskin tahu pun tidak bahwa mereka ada. Yang miskin itu hidup di lingkungan mereka sendiri - di tempat-tempat yang rapuh dan terasa jauh, tempat laknat dan dosa bersarang. "Seorang anak dengan latar belakang seperti aku, jika tidak meninggalkan Lima, akan hidup sepenuhnya di bawah ilusi," tutur Mario. Yaitu sebuah negeri khayali yang hanya ditinggali kulit putih berbahasa Spanyol dan mestizo. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa jutaan orang Indian - sepertiga penduduk negeri itu berbicara bahasa Quechua dan hidup dengan cara yang sepenuhnya berbeda. Sang pengarang merasa beruntung keluar dari lingkungan sumpek itu. Tapi hanya sampai 1950 karena tepat pada tahun itu ia tertimpa trauma, begitu pengakuannya. Ayahnya, yang mengetahui si Mario menulis puisi, menakut-nakutinya: hidup masa depan penyair alangkah suramnya, karena pasti terancam kelaparan. Kejantananmu, kata sang ayah, juga akan luruh - karena dipercaya bahwa seorang penyair adalah homoseks. Dalam upaya melindunginya dari serangkaian bahaya ini, sang ayah memilihkan tempat yang dianggap paling aman: Akademi Militer Leoncio Prado. Itulah satu-satunya lembaga pendidikan di Peru yang merupakan ajang 'pembauran' bagi semua tingkat sosial dan warna kulit. Dan ia berterima kasih kepada akademi itu karena, antara lain, pengalaman dua tahun di sana menjadi bahan baku bagi novelnya yang pertama, La ciudady los perros, Kota dan Anjing-anjing. Begitu terbit, buku itu mendapat sambutan seru: 1.000 buah dibakar dengan segala tata upacara di halaman Akademi. Beberapa jenderal mencercanya habis-habisan. Seorang di antaranya berkata, buku itu memuat "jalan pikiran bejat". Yang lain, yang imajinasinya lebih jalan, menudingnya sebagai dibiayai Equador yang ingin menjatuhkan prestise angkatan bersenjata Peru. *** Dalam masa 20 tahun terakhir, jutaan emigran dari siera turun ke Lima. Memang, jauh-jauh datang dari gunung hanya untuk hidup dalam gubuk-gubuk reyot di lingkungan yang papa. Tidak seperti angkatan Mario, anak-anak kelas menengah Lima kini dapat menyimak realitas negerinya hanya dengan membuka jendela kamarnya. Dewasa ini, si miskin penjaja keliling, gelandangan, pengemis, tukang copet, tukang jambret - bisa ditemui di mana-mana. Berpenduduk hampir enam juta, Lima kini menghadapi segunung masalah: sampah di mana-mana, transportasi yang brengsek, perumahan yang langka, dan kejahatan. Akibatnya, ibu kota Peru itu kehilangan daya pikatnya: lingkungan kolonialnya, balkon-balkonnya yang romantis, ketenangan, dan kemeriahan pestanya. Namun itulah ibu kota Peru yang sesungguhnya. Semua lapisan penduduk negeri dan permasalahannya terhidang di sana. Kata orang, benci dengan mudah luluh dalam cinta. Bagi Mario ada benarnya. Ia telah mencerca Lima begitu seringnya, tapi kota itu telah mendorong banyak hal timbul dalam dirinya. Kabut, misalnya, yang menutupi kota itu dari Mei sampai November, malahan membangkitkan impresi yang mendalam bagi seorang Herman Melville. Dalam Moby Dick, ia menyebut Lima sebagai "kota paling aneh dan paling menyedihkan." Mario sendiri menyukai garua yang dimiliki Lima. Itulah gerimis yang tak kelihatan, yang terasa bagai ribuan laba-laba kecil meraba-raba wajahmu. Ia membuat segala sesuatu lembab dan basah. Mario menyukai pantai-pantainya, airnya yang dingin, dan gelombangnya yang besar. Ia menyenangi stadion, tempat ia acap datang memberikan dukungan bagi kesebelasan sepak bola Universitario de Deportes. Cesar Moro, surealis Peru, pernah menandatangani sajaknya dengan kata-kata: "Lima, yang Menakutkan." Tahun-tahun selanjutnya, seorang penulis lain yang bernama Sebastian Salazar Bondy menggunakan ungkapan itu sebagai judul sebuah esei. Dalam tulisan itu ia menyangkal mitos tentang Lima sebagai kota ideal bagi kisah, dongeng, dan lirik lagu creol. Ia mempertentangkan kota yang dianggap bersuasana Moor dan Andalusia itu - para wanita setengah bercadar yang mencoba mengundang minat para tuan ber-wig panjang - dengan kenyataan Lima yang keras, kotor, dan buruk. Yang benar, Lima mungkin tidak secantik atau seburuk yang dicanangkan berbagai pihak. *** Kendati secara garis besar merupakan kota tanpa kepribadian, Lima masih mempunyai sejumlah tempat memikat. Berupa plaza-plaza tertentu, asrama biarawati, gereja, dan arena adu sapi yang bernama Acho. Kota itu telah menjadi arena seperti itu sejak masa kolonial. Dan orang Limena terbilang sama ahlinya di bidang itu, dan sama langkanya, dengan rekan-rekannya di Mexico City atau di Madrid. Bagi orang Peru, diktator militer sama akrabnya dengan adu tarung sapi. Generasi Mario sudah hidup di bawah pemerintahan diktator militer lebih lama ketimbang dalam masa pemerintahan demokratis. Pemerintahan diktator pertama yang langsung dialaminya sendiri adalah di bawah Jenderal Manuel Apolinario Odria, 1948-1956. Jenderal Odria berkuasa dengan menendang Jose Luis Bustamante y Rivero, ahli hukum dari Arequipa dan sepupu kakek Mario. Mario sendiri pernah bertemu Bustamante di Cochabamba ketika pengacara itu menginap di rumah kakeknya. Diingatnya, betapa pintarnya orang itu berbicara, sehingga membuat calon pengarang ini melongo. Mario tambah kagum ketika Bustamante menyelipkan selembar uang kertas ke dalam genggamannya, sebelum pergi. Bustamante seorang independen. Ia menolak tekanan, baik dari kiri maupun kanan - seorang pemimpin yang menjunjung kemerdekaan berpendapat, hak-hak serikat karyawan, dan partai politik. Pemerintahannya hanya berlangsung tiga tahun - diakhiri dengan kup Odria, yang diramaikan oleh demonstrasi di jalan-jalan, kejahatan politik, dan ancaman berbau darah. "Bustamante tokoh langka dalam jajaran kepala pemerintahan Peru," katanya tentang tuan berdasi yang jalannya seperti Charlie Chaplin itu. Ia konon keluar dari rumah kepresidenan dalam keadaan semiskin ketika masuk. Ia mampu bersikap toleran terhadap para musuh dan keras terhadap sahabat dan kerabat - hingga tak ada yang dapat menuduhnya pilih kasih. Ia menghargai tinggi hukum, sampai pada tingkat berani mempertaruhkannya dengan bunuh diri politik. Bersama Jenderal Odria, barbarisme kembali mewabahi Peru. Kendati Odria sendiri akhirnya terbunuh, pemenjaraan dan pengusiran orang Peru dalam masa delapan tahun pemerintahannya tak tertandingi oleh hal yang sama di negeri diktator Amerika Selatan lainnya pada masa itu. Dan bagai imbalan, korupsi lebih merajalela. Para pegawai kantor menarik laci meja dan mengangakan kantung untuk setiap urusan. Kebohongan, penyogokan, saling backing, penggelapan, fitnah, penyelewengan, menjadi gaya hidup yang melumuri seluruh negeri. Di masa itulah, 195, Mario memasuki Universidad Nacional de San Marcos untuk belajar hukum dan sastra. Ini adalah universitas nasional sekuler yang memiliki tradisi nonkonformis, dengan reputasi akademisnya yang bagus. Dan diktator militer mencoba membelejeti universitas itu. Ada profesor yang dikucilkan atau dibuang. Pada 1952, serangkaian pembersihan memenjarakan puluhan mahasiswa. Iklim curiga menguasai ruang belajar, dan penguasa menanam mata-mata di kalangan mahasiswa dan pelajar. Partai politik terpaksa bekerja di bawah tanah, dan kaum Aprista serta komunis - lawan ulet saat itu - bergerak ilegal. Segera setelah masuk San Marcos, Mario aktif di Cahuide - yang bersama golongan komunis mendapat hajaran - yang mencoba bangkit kembali. Mereka lebih banyak bertemu diam-diam dalam sel-sel kecil, mendiskusikan Marxisme, dan bekerja sama dengan Aprista termasuk di universitas, untuk mencari dukungan bagi perjuangan proletariat. Sukses besar mereka adalah pemogokan di kampus untuk mendukung aksi mogok buruh kendaraan bermotor. Waktu itu Stalinisme sedang berkuku, dan realisme sosial merupakan estetika kesusastraan resmi partai. "Itulah saatnya, kupikir, awal masa murung perkembangan Cahuide," ujar Mario. Oleh pengaruh Jean-Paul Sartre, yang sangat dikaguminya, ia dengan perlahan dan rada bimbang membenamkan diri dalam materialisme dialektika dan sejarah. Tetapi ia mengaku merasa ganjil dengan teori realisme sosial - yang meniadakan misteri dan sastra dengan pendekatan subyektivisme untuk kepentingan mesin propaganda. Ia terkenang pada hari-hari debat seru tentang sastra. Dalam suatu diskusi, ia menuding Bagaimana Baja Ditempa karya Nikolai Ostrovski sebagai novel tidak estetis sambil membela Andre Gide yang dekaden. Tak ayal seorang rekannya menyerangnya habis-habisan. Tak heran. Ia telah melahap dengan rakusnya buku-buku dari pengarang kagumannya - yang oleh kaum Marxist dianggap "penggali kubur kebudayaan Barat". Mereka adalah: Henry Miller, James Joyce, Ernest Hemingway, Marcel Proust, Andre Malraux, Luis Ferdinand Celene, Jorge Luis Borges, dan terutama William Faulkner. Diingatnya, betapa mencekamnya Cahaya di Bulan Agustus, Palem Liar. Ketika Aku Terbaring Mati, Suara Amarah. Mencoba menyerap bias pengertian yang ganda, kiasan, serta kekayaan textual dan konseptual yang dituangkan dalam rangkaian kata pilihan. Ini semuanya menuntut kecakapan tinggi dalam menuturkan kisah. Para raksasa sastra dari masa remajanya telah tenggelam kemudian. Sartre salah seorang yang hasil karyanya tidak dibacanya lagi. Namun, Faulkner tetap pengarang besar bagi Mario, dan setiap mengulang membaca karyanya, menambahkan keyakinan akan nilainya yang summa - yang terbanding dengan karya-karya klasik besar. Pada 1950-an, mereka yang di Amerika Latin membaca karya-karya Eropa dan Amerika, dan cenderung melupakan hasil pengarangnya sendiri. Tapi "ini telah berubah," kata Mario bersemangat. Tentunya, ia tidak menyebut nama Mario Vargas Llosa. Peristiwa yang dinilainya sangat penting adalah ketika ia bertemu dengan kepala sekuriti penguasa militer. Orang ini paling dibencinya - setelah Odria. Saat itu Mario anggota delegasi Federasi Mahasiswa San Marcos. Begitu banyak mahasiswa berada dalam bui, dan sebagian besar tidur di lantai tanpa alas. Itu mendorong mereka mengumpulkan dana dan membeli selimut. Tapi, ternyata, membawanya masuk ke penjara La Penitencieria tidak gampang. Mereka bilang, hanya kepala sekuriti Don Alejendro Esparza Zanartu yang berhak mengeluarkan izin masuk. Lalu diputuskan, lima anggota delegasi dikirim menghadap beliau. Mario salah seorang. Mereka datang ke kantor kementerian di Plaza Italia, dan bertemu dengan tampang yang menyebalkan. Sosok manusia yang paling ditakuti itu ternyata seorang lelaki kecil berpotongan kumuh dalam usia 50. Wajah keriput menjijikan ini bersikap acuh tak acuh. Ia membiarkan para utusan berbicara dengan gemetar. Setelah omongan rampung, ia tetap menatap tamunya tanpa berkata-kata - seolah merasa aneh akan kekhawatiran mereka. Kemudian membuka laci mejanya, mengeluarkan selebaran Cahuide - yang menyerang dia. "Aku tahu siapa di antara kalian yang telah menulis salah satu dari artikel ini," katanya akhirnya. "Aku tahu di mana kalian bertemu untuk mencetaknya, dan apa yang kalian rencanakan dalam rapat-rapat gelap." la berusaha tampil mahatahu, dan sekaligus contoh menyedihkan dari tokoh tanggung. Bicaranya dalam tata bahasa yang jelek. Inteligensinya nol. Dalam masa tanya jawab itu, Mario memperoleh ilham untuk novelnya yang kemudian berjudul Conversacion en la Catedral, Percakapan dalam Katedral. Novel itu ditulisnya 15 tahun kemudian. Di sana ia mencoba menggambarkan bagaimana kediktatoran seperti Odrista mampu merusakkan kehidupan sehari-hari anak negeri. Masa belajar anak-anak mereka, pekerjaan, cinta, malahan impian dan ambisi mereka. Memerlukan waktu lama baginya untuk merangkaikan jalinan segepok perwatakan dan episode. Tentang pertemuan biasa antara diktator terdahulu - dengan tukang pukul dan pengawalnya - dan wartawan, putra usahawan yang berjaya di bawah rezim itu. Percakapan menyelusuri seluruh novel. Ketika bukunya terbit, bekas kepala sekuriti yang sudah pensiun dari kegiatan politik dan bergiat di bidang amal itu memberi komentar begini, "lika Mario Vargas Llosa yang dulu datang menemuiku, aku dapat mengemukakan hal-hal lainnya lagi." *** "Sama seperti Akademi Militer Leoncio Prado membantuku belajar tentang Peru, kewartawanan juga membuka banyak pintu negeriku," tulis Mario lebih jauh. Dalam masa libur tahun keempat sekolah menengah, ia menjadi reporter berita daerah, kemudian berita kepolisian, La Cronica. Sangat merangsang rasa ingin tahunya ketika ia malam-malam pergi ke kantor polisi untuk mengumpulkan berita. Berita kejahatan, perampokan, perkelahian, dan kecelakaan menjadi sasaran utama. Acap diikuti dengan pelacakan kasus sensasional seperti pembunuhan "Kupu-kupu Malam", tentang seorang WTS yang mati ditikam di El Porvenir. Itu menggiringnya ke pusat pelacuran di Lima, boite (ruang dansa) yang gemerlapan, dan bar-bar yang penuh mucikari dan homoseks. Pada saat itu perbedaan antara wartawan dan penjahat, sedikitnya dengan kaum gelandangan, hampir kabur. Usai merampungkan tugasnya, Mario acap kembali ke kafe remang-remang bersama rekannya. Para waiter-nya Cina. Lantai kafe ditaburi serbuk gerjaji yang tebal, agar muntahan pemabuk segera terserap. Di rumah-rumah WTS, reporter mendapat lindungan keamanan dari polisi - karena di sana acap terjadi pembunuhan. Dalam masa-masa akhirnya di universitas, Mario menangani buletin berita untuk stasiun radio Panamericana. Ia mendapat kesempatan menyimak langsung, dari dalam, kegiatan opera picisan. Perwatakan yang disuguhkan di sana seragam, berlebih-lebihan, perkasa, dan dalam selera yang jelek. Itu tampaknya diangkat dari serial surat kabar abad ke-19. Tapi mereka memiliki massa penonton yang luas. Dan esok hari setelah pertunjukan, di jalan-jalan Lima dapat didengar pembicaraan tentang pementasan Hak untuk Dilahirkan dari Felix B. Caignet. Dunia panggung penuh gemerlapan ini mendorong lahirnya karya Mario yang lain, La tia yulia y el escribidor, Bibi Julia dan Penulis Skrip. Ia merampungkan studinya di universitas pada 1957. Tahun berikutnya ia mengajukan tesis dan menerima beasiswa untuk gelar doktor di Madrid. Dan justru pada saat itulah datang tawaran aneh: melawat ke pedalaman Amazon. Seorang antropolog Meksiko, Juan Comas, akan mengadakan ekspedisi sepanjang hulu Sungai Maranon. Di sinilah suku-suku Aguaruna dan Huambisa hidup. Ia menerima tawaran dengan penuh rasa terima kasih. Berminggu-minggu berada di antara suku-suku penghuni sepanjang hulu sungai lalu menjadi pengalaman tak terlupakan. Ia berkesempatan menengok sisi lain dari negerinya yang seribu wajah. Berangkat dari Lima ke Chicais berarti melompat ke luar dari abad ke-20 ke zaman batu. Berarti pula mengadakan hubungan dengan penduduk setengah telanjang, yang hidup di bawah kondisi primitif yang ekstrem. Mereka inilah yang dieksploatasi tanpa ampun oleh pedagang tengkulak, yang membeli karet dan kulit binatang mereka dengan harga sangat rendah - dan memberi hukuman berlipat ganda kepada yang mencoba lari dari dominasi dagang mereka. Ketika mereka tiba di permukiman Urakusa, kepala suku Aguaruna yang bernama Jum datang menemui. Sangat menghibakan melihat tampang dan mendengarkan penuturannya. Ia disiksa karena berusaha mendirikan koperasi. Di desa yang penduduknya masih tampak liar itu, di Maranon hulu, Mario menyaksikan - dan tersentuh oleh - upaya mereka melawan alam. Tetapi Amazon tidak cuma penderitaan, kekejaman, dan persekongkolan orang Peru dengan berbagai mentalitas berbeda. Ia juga dunia pesta gila, saling adu otot, sasaran empuk manusia kota yang seperti menemukan bonanza dari alam liar yang belum terjamah. Sungai membentang dan hutan perawan. Makhluk di atas dan di bawah air bagai muncul dari dongengan. Para lelaki dan wanita menantang keganasan alam. Di sanalah konon ia menemukan apa yang oleh Isaiah Berlin disebut "kebenaran yang saling bertentangan". Di Santa Maria de Nieva, desa yang didirikan sebuah misi pada 1940-an, para suster membuka sebuah sekolah untuk gadis Indian. Karena gadis-gadis itu tidak mau hadir secara sukarela, mereka digiring masuk kelas oleh hansip. Ada sebabnya. Seusai dididik kaum misionaris, beberapa di antara mereka putus hubungan dengan keluarga. Apa yang lalu terjadi dengan mereka? Mereka kembali ke "masyarakat", melintasi Santa Maria de Nieva - para insinyur, serdadu, tengkulak lalu menjadikan mereka pelayan. Gawatnya, para misionaris tidak sadar akan akibat keseluruhan proses "pendidikan" itu. Mereka seperti hendak memperagakan pengabdian dan kepahlawanan suci mereka sendiri. Mereka tinggal di dalam kondisi luar biasa sulit. Dan begitu sungai banjir, isolasi nyaris komplet. *** Mario jadi berangkat ke Eropa, meninggalkan negerinya kembali, sampai dengan 1974. Ia berusia 22 tahun ketika berangkat dan 38 tahun saat kembali. "Dalam banyak hal, aku menjadi pribadi yang berbeda saat kembali," ia mengaku. Namun, hubungan batin dengan tanah kelahirannya tak pernah retas. Itulah hubungan yang lebih mungkin didefinisikan dengan bantuan kiasan ketimbang gagasan. Peru, bagi Mario, adalah jenis penyakit yang tak tersembuhkan. Perasaannya terhadap negeri itu kuat dan pahit. Novelis Juan Carlos Onetti suatu kali berkata, perbedaan antara dia dengan Mario terletak pada: Mario menikahi kesusastraan, sementara Onetti menzinahinya. Mario sendiri merasa hubungannya dengan Peru lebih bersifat perzinahan ketimbang perkawinan penuh dengan kecurigaan, nafsu, dan perkosaan. Ia berjuang dengan sadar melawan semua bentuk nasionalisme - yang dinilainya sebagai kegagalan besar umat manusia dan alibi sebuah gerombolan bandit. Tapi yang benar, semua peristiwa tanah airnya menggusarkan atau mempermuliakan negerinya melebihi peristiwa di negeri lain. Apa yang terjadi di Peru, dan apa yang gagal dilakukan di sana, menyentuh dirinya dengan intim dan tak terelakkan. Cacat yang dipunyai Peru diakuinya akan mengganggu pikirannya benar. Ia telah melempar kritik keras terhadapnya - termasuk kritik yang tidak jujur. Tapi ia percaya, di dalam kritik, Peru dan Mario bisa menjalin solidaritas. "Kendati aku acap membenci Peru, tapi kebencian itu - seperti kata Penyair Cesar Vallejo dalam salah satu baris sajaknya - akan selalu tersentuh kelembutan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus