BILA dibuka-buka, buku Lukisan dan Patung Koleksi Presiden
Sukarno yang lima jilid itu, agaknya yang paling sering dijumpai
adalah reproduksi lukisan Agus Djaya. Lukisan-lukisan itu
sebagian besar menampilkan figur wanita yang aduhai.
Tak salah. Dalam pameran tunggal Agus 4-11 Agustus ini, di Taman
Ismail Marzuki, pun bisa dilihat betapa figur wanita selalu
tampil dengan sensual. Meski yang dilukiskan pose wanita sedang
duduk, misalnya, tetap terasa adanya rangsang itu.
Munculnya ciri ini -- kalau boleh disebut begitu -- bukanlah
tanpa sebab. Agus, lahir 1913 di Pandeglang, Ja-Bar, dikenal
sebagai pelukis yang mencari bentuk sendiri lewat pengamatan
relief di candi-candi dan bentuk wayang kulit. Bentuk wanita
pada Candi Prambanan misalnya, yang biasanya ditampilkan dengan
dada yang menggelembung dan tubuh yang gempal, pun bisa dilihat
pada lukisan salah seorang tokoh Persagi (Persatuan Ahli-ahli
Gambar Indonesia) ini.
Untunglah ia tak hanya melukis wanita dari segi glamour-nya
saja. seperti Basuki Abdullah. Realisme Agus memang lain dengan
realisme Basuki Abdullah. Teknik Basuki mampu memotret figur
'lebih indah dari aslinya'. Yang disayangkan, watak yang
dipotret tak muncul -- tenggelam oleh kemilauanya warna kulit
atau pakaian sang figur.
Pada Agus, yang kemilau-kemilau itu memang tak ada, walaupun
yang lang sung ditangkap mata tetap penonjolan sensualitas.
Namun pada karya Agus hal itu rasanya tampil dengan lebih jujur.
Karenanya, rasa risih yang biasanya muncul bila melihat lukisan
wanita Basuki Abdullah, tak ada. Ini terutama terasa pada
karya-karya Agus yang lain.
Dulu, di awal 50-an ia memang menghasilkan karya-karya yang
memberikan sapuan warna yang mantap, dengan komposisi yang pas.
Sensualitas lebih terasa muncul dari keseluruhan bidang lukisan.
Itulah yang menyebabkan lukisannya terlihat enak: terasa kompak,
tak ada bagian-bagian yang lebih ditonjolkan.
Kini, pada karya-karya 70-an dan 80-an, terasa ada perubahan:
ada penonjolan pada bagian-bagian tertentu figur-yang memang mau
tak mau bagian itu menyuguhkan sensualitas dengan sendirinya.
Penggarapan bagian lain, boleh jadi dinomorduakan. Yang
ditonjolkan pada figur wanitanya, biasanya adalah dadanya.
Sementara wajah, tangan dan tubuhnya mengesankan tak digarap
sepenuhnya. Apalagi latar belakang figur, terasa hanya asal
diisi.
Karyanya Terasa Menurun
Dari perubahan cara melukiskan wanita itulah, karya yang lain
bisa dipahami. Poker misalnya, merupakan karya cat minyak,
ditambah dengan kolase kartu dan guntingan gambar wanita.
Lukisan yang dimaksudkan sebagai sindiran sosial ini --
melukiskan Gareng, Petruk dan Bagong yang naik derajat, bermain
kartu, minum-minum dan ditunggui perempuan cantik -- tak begitu
menggebrak. Kesatuan karya ini sama sekali tak terjaga. Kolase
kartu dan guntingan gambar wanita lebih menonjol dari ketiga
figurnya. Kalau pertama, lukisan ini seperti iklan yang
menawarkan kartu.
Tema-tema wayang, yang oleh beberapa pengamat senirupa dianggap
merupakan kesenangan Agus, tak digarap dengan penuh. Barata
Yudha, 1979, melukiskan Arjuna berdiri di kereta yang disaisi
Batara Kresna, sedang menghamburkan panahnya. Yang diharap dari
pengambilan tema seperti ini, tentulah adanya tafsiran dari
pelukisnya. Yang digarap Agus, tak lebih dari sebuah ilustrasi
saja, tanpa sikap.
Munculnya Agus Djaya di zaman Persagi, lalau di zaman Jepang dan
kemudian di masa revolusi, sesungguhnya bukan karena waktu itu
belum banyak pelukis. Ia, waktu itu, dengan semangatnya memang
menghasilkan karya-karya yang penuh greget, dan ada usaha
pencarian sendiri yang ikut memberikan corak senirupa kita.
Kalau kini karyakaryanya terasa menurun, barangkali ini soal
biasa.
Apalagi, ia memang berpendapat, mempertahankan idealisme dalam
kesenian kini susah. Tak semua orang berduit tahu, mana lukisan
yang bagus. Pelukis, dengan begitu, harus pula bersiasat agar
lukisannya laku. Itulah Agus Djaya sekarang.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini