Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wanita Agus Djaya

Agus Djaya mengadakan pameran tunggal di TIM Jakarta. beberapa karyanya sebagian besar menampilkan figur wanita sensual. pelukis ini adalah tokoh persagi.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA dibuka-buka, buku Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Sukarno yang lima jilid itu, agaknya yang paling sering dijumpai adalah reproduksi lukisan Agus Djaya. Lukisan-lukisan itu sebagian besar menampilkan figur wanita yang aduhai. Tak salah. Dalam pameran tunggal Agus 4-11 Agustus ini, di Taman Ismail Marzuki, pun bisa dilihat betapa figur wanita selalu tampil dengan sensual. Meski yang dilukiskan pose wanita sedang duduk, misalnya, tetap terasa adanya rangsang itu. Munculnya ciri ini -- kalau boleh disebut begitu -- bukanlah tanpa sebab. Agus, lahir 1913 di Pandeglang, Ja-Bar, dikenal sebagai pelukis yang mencari bentuk sendiri lewat pengamatan relief di candi-candi dan bentuk wayang kulit. Bentuk wanita pada Candi Prambanan misalnya, yang biasanya ditampilkan dengan dada yang menggelembung dan tubuh yang gempal, pun bisa dilihat pada lukisan salah seorang tokoh Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) ini. Untunglah ia tak hanya melukis wanita dari segi glamour-nya saja. seperti Basuki Abdullah. Realisme Agus memang lain dengan realisme Basuki Abdullah. Teknik Basuki mampu memotret figur 'lebih indah dari aslinya'. Yang disayangkan, watak yang dipotret tak muncul -- tenggelam oleh kemilauanya warna kulit atau pakaian sang figur. Pada Agus, yang kemilau-kemilau itu memang tak ada, walaupun yang lang sung ditangkap mata tetap penonjolan sensualitas. Namun pada karya Agus hal itu rasanya tampil dengan lebih jujur. Karenanya, rasa risih yang biasanya muncul bila melihat lukisan wanita Basuki Abdullah, tak ada. Ini terutama terasa pada karya-karya Agus yang lain. Dulu, di awal 50-an ia memang menghasilkan karya-karya yang memberikan sapuan warna yang mantap, dengan komposisi yang pas. Sensualitas lebih terasa muncul dari keseluruhan bidang lukisan. Itulah yang menyebabkan lukisannya terlihat enak: terasa kompak, tak ada bagian-bagian yang lebih ditonjolkan. Kini, pada karya-karya 70-an dan 80-an, terasa ada perubahan: ada penonjolan pada bagian-bagian tertentu figur-yang memang mau tak mau bagian itu menyuguhkan sensualitas dengan sendirinya. Penggarapan bagian lain, boleh jadi dinomorduakan. Yang ditonjolkan pada figur wanitanya, biasanya adalah dadanya. Sementara wajah, tangan dan tubuhnya mengesankan tak digarap sepenuhnya. Apalagi latar belakang figur, terasa hanya asal diisi. Karyanya Terasa Menurun Dari perubahan cara melukiskan wanita itulah, karya yang lain bisa dipahami. Poker misalnya, merupakan karya cat minyak, ditambah dengan kolase kartu dan guntingan gambar wanita. Lukisan yang dimaksudkan sebagai sindiran sosial ini -- melukiskan Gareng, Petruk dan Bagong yang naik derajat, bermain kartu, minum-minum dan ditunggui perempuan cantik -- tak begitu menggebrak. Kesatuan karya ini sama sekali tak terjaga. Kolase kartu dan guntingan gambar wanita lebih menonjol dari ketiga figurnya. Kalau pertama, lukisan ini seperti iklan yang menawarkan kartu. Tema-tema wayang, yang oleh beberapa pengamat senirupa dianggap merupakan kesenangan Agus, tak digarap dengan penuh. Barata Yudha, 1979, melukiskan Arjuna berdiri di kereta yang disaisi Batara Kresna, sedang menghamburkan panahnya. Yang diharap dari pengambilan tema seperti ini, tentulah adanya tafsiran dari pelukisnya. Yang digarap Agus, tak lebih dari sebuah ilustrasi saja, tanpa sikap. Munculnya Agus Djaya di zaman Persagi, lalau di zaman Jepang dan kemudian di masa revolusi, sesungguhnya bukan karena waktu itu belum banyak pelukis. Ia, waktu itu, dengan semangatnya memang menghasilkan karya-karya yang penuh greget, dan ada usaha pencarian sendiri yang ikut memberikan corak senirupa kita. Kalau kini karyakaryanya terasa menurun, barangkali ini soal biasa. Apalagi, ia memang berpendapat, mempertahankan idealisme dalam kesenian kini susah. Tak semua orang berduit tahu, mana lukisan yang bagus. Pelukis, dengan begitu, harus pula bersiasat agar lukisannya laku. Itulah Agus Djaya sekarang. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus