Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebelas Draf Menuju Kabinet Superkompromi

Kabinet Gus Dur dibentuk dengan kompromi politik yang kental. Tidak profesional tapi mungkin mudah diterima konstituen politik Indonesia.

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK julukan diberikan orang untuk Kabinet Persatuan Nasional yang Selasa pekan lalu diumumkan Presiden Abdurrahman Wahid. Ada yang menyebutnya Kabinet Toshiba karena, seperti produk elektronik, menteri-menteri yang dipasang dalam kabinet itu digaransi kualitas dan integritasnya oleh Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Jenderal Wiranto. Ada pula yang menyebutnya Kabinet Pelangi. Soalnya, kabinet ini menyimpan banyak tokoh dari berbagai partai dan kekuatan politik sehingga "warna" politiknya bermacam-macam. Lalu, yang lain menyebutnya Kabinet Superkompromi karena sangat menggambarkan kompromi politik Gus Dur dengan banyak partai politik. Bahwa kabinet berisi 35 menteri ini bak gado-gado, semua orang sudah mafhum. Di dalamnya ada "kawan-kawan" Amien Rais seperti Bambang Sudibyo, Yahya Muhaimin, atau Al Hilal Hamdi. Juga ada orang-orang dekat Gus Dur seperti Alwi Shihab atau K.H. Tholhah Hasan. Tidak ketinggalan masuknya personel barisan Banteng Perjuangan, misalnya Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi. Dari rimbun Beringin datang Mahadi Sinambela atau Bomer Pasaribu. Sedangkan dari kubu Cilangkap hadir Susilo Bambang Yudhoyono atau Agum Gumelar. Gus Dur memang berusaha mengakomodasi semua kepentingan. Itu kelihatan sejak pertemuan pertama di Wisma Negara, dua hari setelah Gus Dur dilantik. Dalam pertemuan yang dihadiri Amien Rais, Alwi Shihab, Nur Mahmudi Ismail, dan Al Hilal, "Kiai Wisma Negara" itu menegaskan bahwa ia menginginkan kabinet yang singset: 19 menteri dan 6 menteri negara. Jadi, total dibutuhkan 25 menteri. Formasi sintal ini merupakan rekomendasi Tim Lima NU yang terdiri atas K.H. Mustafa Bisri, K.H. Imron Hamzah, Ahmad Bagdja, Said Agil Siraj, Tholhah Hasan, dan Arifin Junaidi. Dalam pertemuan di Wisma Negara itu memang belum banyak nama yang muncul. Menurut Yusuf Faishal, ekonom PKB yang akan dipercaya Gus Dur duduk di Dewan Ekonomi Nasional, pertemuan malam itu lebih mengonsentrasikan diri pada format kabinet. Tapi, menurut keterangan beberapa sumber lain, sejumlah nama sudah disebut-sebut. Gus Dur, misalnya, sudah menyebut Alwi Shihab sebagai Menteri Luar Negeri dan Tholhah Hasan sebagai Menteri Agama. "Bahasa pesantrennya, keduanya itu labudda minhu, tidak bisa tidak," cerita Amien Rais. Ketua MPR ini juga sudah menenteng nama Yahya Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan, Al Hilal Hamdi sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, Hatta Radjasa, dan bendahara PAN asal Cirebon, Ir. Soenoto. Yang menarik, menurut Yusuf Faishal, dalam pertemuan itulah nama Sekretaris Jenderal PAN Faisal Basri mulai disebut-sebut sebagai kandidat menteri di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin). Cuma, Basri langsung di-cut oleh seorang tokoh PAN yang hadir. Siapa? Amien Rais? "Itu seribu persen fitnah," kata Amien ketika ditanya wartawan TEMPO Purwani Dyah Prabandari. Tapi, bahwa Amien kelihatannya menguasai gelanggang, itu dibenarkan oleh Wakil Sekjen PAN Al Hilal maupun Yusuf. Soalnya, Amien memang yang paling punya konsep—katanya diambilnya dari draf kabinet bayangan yang telah lama disusun PAN. Artinya, di kertas, Amien unggul. Setelah pertemuan di Wisma Negara itu, malamnya Amien bertemu lagi dengan Akbar Tandjung, Wiranto, dan Al Hilal di kamar Ketua MPR itu, nomor 3609, di Hotel Mulia, untuk menyatukan sikap. Keempatnya lalu sepakat menghidupkan kembali jabatan menteri koordinator (menko), yang sebelumnya dihapuskan. Tujuannya agar tugas presiden bisa lebih ringan. Sabtu, Gus Dur berziarah ke Jombang. Pertemuan penggodokan kabinet dilanjutkan malamnya. Di sana, hasil pertemuan Mulia dibacakan tapi masih tanpa nama-nama. Namun, ketika usulan menko dihidupkan kembali dibacakan, dua nama langsung nongol. Keduanya adalah Kwik Kian Gie sebagai Menko Ekuin dan Wiranto sendiri sebagai Menko Politik dan Keamanan. Gus Dur kontan mengangguk setuju. Kemudian, mulailah nama-nama menteri dibicarakan secara terbuka. Nama Marwah Daud Ibrahim—tokoh Golkar pro-Habibie yang konon dititipkan Habibie kepada Akbar Tandjung—dinominasikan sebagai Menteri Informasi dan Telekomunikasi, departemen yang sedianya akan dipakai untuk menggantikan Departemen Penerangan. Gus Dur, katanya, langsung setuju. Tapi nama Marwah rontok beberapa hari kemudian karena—menurut cerita Al Hilal—ada bisikan intel ke telinga Gus Dur yang menyebutkan Marwah disebut-sebut terlibat demo mahasiswa Ujungpandang yang mendeklarasikan Negara Indonesia Timur. Pada hari itu juga politik akomodasi Gus Dur semakin tampak. Ia, misalnya, menanyakan siapa kalangan profesional Kristen atau Katolik yang bisa masuk. Amien lalu mengusulkan Wakil Gubernur Lemhannas Purnomo Yusgiantoro untuk duduk di kursi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Wiranto mendukung karena, menurut dia, Yusgiantoro pintar. Tapi belakangan nama ini dirontokkan oleh Gus Dur sendiri. "Kalau orang pinter-pinter banget, sebaiknya jadi kepala badan saja. Menteri itu tidak perlu pinter-pinter banget," kata si Gus santai seperti ditirukan sumber TEMPO. Selanjutnya yang dipersoalkan adalah posisi Menteri Pendidikan Nasional. Semula, yang sudah manteng di posisi itu adalah pengamat politik A.S. Hikam. Tapi nama yang disorongkan Gus Dur itu "ditorpedo" Amien Rais yang menyodorkan nama Yahya Muhaimin. Gus Dur mengalah. Tapi ia tidak menghendaki nama Hikam keluar. Soalnya, menurut seorang sumber dari kalangan dalam Ciganjur, Hikam adalah titipan beberapa kiai NU. Walhasil, nama peneliti LIPI bertubuh tambun itu nyangsang ke posisi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sampai Sabtu malam, komposisi kabinet sudah berkembang menjadi 19 menteri, 6 menteri negara, dan 2 menteri koordinator. Minggu, Gus Dur pergi ke Bali untuk sebuah seminar. Minggu malamnya, pertemuan Wisma Negara dilanjutkan. Tapi kabarnya, sebelum Gus Dur ke Bali, Al Hilal sempat menitipkan pesan Poros Tengah kepada Gus Dur melalui Yeni, putri Gus Dur. Isi pesan itu: mohon dihidupkan satu jabatan menko lagi, yakni Menko Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, untuk menampung aspirasi kalangan Islam. Menko Kwik Kian Gie dan Wiranto dipandang mewakili kalangan nasionalis dan militer. Dua nama pun disodorkan Hilal: Hamzah Haz atau Zarkasih Nur. Malamnya, sekitar pukul 20.00, nama Hamzah pun lolos. Tapi problem lain lagi muncul. Wiranto ternyata membawa perkembangan baru dari markas Cilangkap. Posisi Kepala Staf Angkatan Darat, yang semula disiapkan untuk Kepala Staf Teritorial Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata diputuskan akan diisi oleh Letjen Tyasno Sudarto, yang sebelumnya Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais). Karena itu, Wiranto mengusulkan agar SBY—begitu nama Susilo biasa disingkat—ditempatkan sebagai Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). Lalu, Wiranto juga mengusulkan agar Agum dijadikan Menteri Tenaga Kerja. Tarik-menarik terjadi karena tadinya Amien menghendaki Mentamben dipegang Al Hilal. Gus Dur lalu mencari solusi: Hilal akan dijadikan Menteri Negara Pengembangan Pertambangan—posisi yang terkesan di cari-cari. Tapi belakangan Hilal malah dilempar sebagai Menteri Transmigrasi. Pada hari Minggu itu juga isu kedaerahan masuk. Erna Witoelar, yang sebelumnya diplot menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup, digeser Sonny Keraf, yang disodorkan Megawati. Sonny adalah aktivis PDI Perjuangan dari daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Erna belakangan harus lengser ke posisi Menteri Negara Permukiman. Lalu, ikatan "politik balas budi" juga mengemuka. Nama Yusril Ihza Mahendra, yang sebelumnya tidak "dihitung", mendadak muncul atas usulan seorang anggota MPR utusan golongan. Argumentasinya, Yusril telah melempengkan jalan kepada Gus Dur menuju kursi presiden ketika ia mengundurkan diri sebagai calon presiden dari Partai Bulan Bintang. Bagaimana dengan Megawati? Menurut keterangan Yusuf Faishal, dalam pertemuan-pertemuan pertama, Mega cuma mesam-mesem. Baru belakangan ia ikut urun rembuk. Si Mbak menyodorkan nama Tjahyo Kumolo dan Laksamana Sukardi. Tapi, menurut Gus Dur, pos yang tersedia cuma dua—salah satunya sudah diisi Kwik. Mega lalu memilih Laksamana. Selasa, pukul 9 pagi, pertemuan dilanjutkan. Nama Hasballah M. Saad nongol untuk memenuhi tuntutan perlunya menteri asal Aceh, yang tengah bergolak. Sebelumnya, nama Hasballah beradu keras dengan Farkhan Hamid (Sekretaris PAN Aceh) dan Usman Hasan. Akhirnya, Hasballah—kabarnya mendapat rekomendasi dari Kepala Bais Letjen Tyasno Sudarto—lolos. Total jenderal, dari pembicaraan awal sampai Selasa pagi, Gus Dur telah mengoreksi 11 kali draf susunan kabinet. Pengumuman akhirnya dibacakan Wakil Presiden Megawati pada pukul 12.10 WIB. Seorang pengamat agak risau dengan kompromi berat ini. "Ibarat kapal, dia penuh sesak oleh kompromi dan sukar bergerak maju," katanya galau. Kini tinggallah Gus Dur membuktikan apakah harga kompromi yang dilakukannya sepadan dengan harapan besar rakyat untuknya. Arif Zulkifli, Edy Budiyarso, Leanika Tandjung, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus