Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Makassar, Sulawesi Selatan, peringatan wafatnya Pangeran Diponegoro diadakan oleh keluarga keturunannya. Acara haul atau peringatan wafatnya Diponegoro yang ke-169 pada 8 Januari 2024 itu berlangsung sederhana saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo mengunjungi kompleks makam Diponegoro. Terlihat seorang perempuan paruh baya menyapu dedaunan yang jatuh di sekitar makam Diponegoro. Kuburan itu terlihat paling besar dibanding yang lain dengan atap pelindung yang tinggi. Sang Pangeran dimakamkan berdampingan dengan istrinya, Raden Ayu Ratu Ratna Ningsih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusara pemimpin Perang Jawa (1825-1830) itu terletak di Jalan Diponegoro, Kampung Melayu, Kota Makassar. Makam putra-putri dan pengawal Diponegoro juga berada di dekatnya. Di area permakaman ini, terdapat musala. Diponegoro mewasiatkan adanya musala itu, yang dibangun pada Maret 1849. Di kompleks itu, tinggal pula Raden Hamzah Diponegoro, keturunan kelima Diponegoro.
Senin malam, 8 Januari 2024, keluarga keturunan Diponegoro menggelar tahlilan. Lantunan Yasin menggema di area permakaman dalam acara haul yang berlangsung pada pukul 21.00-23.30 Waktu Indonesia Tengah.
Makam Pangeran Diponegoro Jalan Diponegoro, Kampung Melayu, Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 2024. Tempo/Didit Hariyadi
“Setiap tahun kami adakan di sini (permakaman),” kata Asriah, 46 tahun, istri Raden Harto Diponegoro, saat ditemui di kompleks makam Diponegoro, 12 Januari 2024. Raden Harto adalah keturunan kelima Diponegoro. Istrinya, Asriah, selalu membersihkan area permakaman.
Bukan hanya keturunan Diponegoro, sejumlah anggota Majelis Taklim Al Hikmah dan orang-orang Jawa yang tinggal di Makassar pun meramaikan acara haul tersebut. Peringatan wafatnya Diponegoro tahun ini, diakui Asriah, tak semeriah pada tahun-tahun sebelumnya. Tak jarang keturunan Raja Tallo dan Raja Gowa hingga anak Hamengku Buwono X mengikuti peringatan ini. “Dulu hadir semua raja, ada juga orang dari keraton,” ujar Asriah.
Roger Allan Kembuan, dosen sejarah di Universitas Sam Ratulangi, Manado, dalam penelitian tesisnya berfokus pada komunitas orang Jawa di Manado, Tondano, dan sekitarnya. Mereka adalah keturunan Kiai Mojo, para pengikut, pasukan, serta punakawan Diponegoro. Roger menjelaskan, daerah Minahasa pada abad ke-18 hingga ke-19 menjadi alternatif pengasingan para tahanan politik dan mereka yang dianggap mengganggu ketenteraman penguasa Belanda. “Mereka eksil dari Perang Jawa. Rombongan pertama dari Kiai Mojo dan pengikutnya yang ditangkap lebih dulu, baru rombongan Pangeran Diponegoro dan punakawannya,” tutur Roger kepada Tempo, 11 Januari 2024.
Kiai Mojo ditangkap lebih dulu bersama pasukan tangguhnya, ditempatkan di sekitar Tondano. Baru sekitar tiga bulan kemudian rombongan Diponegoro datang. Rombongan Diponegoro ditempatkan di Manado, tepatnya di Benteng Nieuw Amsterdam. Di Manado, dia diterima oleh Residen Manado D.F.W. Pietermaat. Dia ditempatkan di sana selama tiga tahun sebelum dipindahkan ke Makassar.
Diponegoro diceritakan didampingi oleh punakawannya, yakni Roto, Merta Leksono, Sataruna, dan Banteng Wareng. Roger menemukan arsip daftar tahanan negara, yakni tahun 1833, 1843, 1847, dan 1852. Pada awalnya nama-nama punakawan ini ada di arsip 1833, tapi kemudian pada 1839 keempat orang itu dibawa ke Tondano lagi. Pada saat awal tiba di Manado, Diponegoro meminta didampingi dua pemuka agama anak buah Kiai Mojo, yakni Haji Ali dan Haji Tayib. Tapi mereka menolak permintaan itu dan hidup di Tondano.
•••
SEBUAH film animasi pendek berdurasi 16 menit 43 detik berjudul Diponegoro 1830 disukai 1.500 pemirsa sejak 6 Februari 2023. Film animasi ini telah diputar hampir 15 ribu kali. Film ini diproduksi oleh Chulat Studio dan Jalak Lawu dengan sutradara Gata Mahardika dan Subiyanto. Produser dan penulis naskahnya adalah Subiyanto dan Peter Carey berdasarkan catatan Mayor Ajudan François Victor Antoine de Stuers dan rekannya, Kapten Johan Jacob Roeps, selama perjalanan mengawal Pangeran Diponegoro dari Magelang, Jawa Tengah, ke Batavia.
Potongan film animasi pendek "Diponegoro 1830" saat adegan Pangeran Diponegoro akan menaiki kapal menuju pengasingan di Manado, yang diproduksi oleh Chulat Studio dan Jalak Lawu. YouTube @JalakLawu
Bermula dari kisah penangkapan Diponegoro di Magelang, seperti dalam lukisan Raden Saleh, film ini diawali adegan istri Diponegoro yang berlari dan bersimpuh hendak menahan Sang Pangeran yang menenangkannya. Diponegoro melirik salah satu petinggi Belanda, lalu memberikan isyarat kepada dua pengikutnya. Mereka bertatapan, lalu Pangeran hanya menggeleng dan disambut dengan anggukan dua pengikutnya. Ia seperti meminta mereka tidak melakukan apa pun atas penangkapan itu. Diponegoro pun masuk ke kereta yang membawanya disertai seorang punakawan dan dijaga dua petinggi Belanda. Kereta menjauh melewati para pengikutnya. Diponegoro membuang pandangan ke luar jendela. “Bagaimana sampai begini, bagaimana bisa saya sampai begini,” ujarnya.
Kereta lalu berhenti di benteng, Fort de Ontmoeting, sebelum sampai di Semarang. Mereka beristirahat di sana. Di tempat itu, Diponegoro dipersilakan makan malam ala Belanda, bersantap di meja dengan penerangan lilin. Esoknya, mereka meneruskan perjalanan menuju Semarang. Kesehatan Diponegoro tampaknya terganggu. Ia terbatuk-batuk, dipegangi punakawannya. Di Semarang, Diponegoro mendapat janji bahwa istrinya, RA Ratu Ratna Ningsih, dan penasihat agama akan didatangkan untuk mendampinginya. Diponegoro mengakui tak banyak mengetahui soal agama kecuali dari apa yang mereka sampaikan dan ajarannya. “Mereka adalah orang-orang yang selalu saya andalkan, tapi mereka kini adalah orang-orang yang telah meninggalkan saya,” ucap Diponegoro.
Dua pengawal Diponegoro kemudian menanyai putra sultan itu tentang penyebab perang. Mulanya Diponegoro enggan menjawab dengan berkata, “Carilah jawaban di Yogyakarta.” Tapi tak lama kemudian ia berkisah tentang penyebab perang itu, yakni pematokan tanah di Tegalrejo. Setelah ditanam, patok dicabut, tapi kemudian tanah dipatok lagi esoknya hingga terjadilah perang. Diponegoro lalu melarikan diri ke Selarong diikuti oleh laskarnya. Dia menampik anggapan bahwa ia telah menyiapkan perang itu. Uang sebesar 3.000 gulden dan beras pun tak dibawanya. Bagian peperangan ini dibuat dengan subtil, sketsa monokrom hitam-putih.
François Victor Henri Antoine ridder de Stuers, mayor ajudan dan menantu Jenderal Hendrik Merkus de Kock, yang mengawal perjalanan Pangeran Diponegoro dari Magelang ke Batavia. Buku Peter Carey, Percakapan Dengan Diponegoro
Pangeran Diponegoro menunggu keputusan tentang nasibnya. Tak lama kemudian, datang kabar bahwa ia harus diasingkan ke Manado. Ada rasa sedih yang menggelayuti hati Diponegoro. Dia pun meminta maaf kepada ayah-ibunya atas peristiwa itu. Di Batavia, dia sempat dilukis oleh A.J. Bik. Dia didandani oleh istrinya, berpakaian ulama seperti yang dikenakannya pada saat Perang Jawa—dengan serban, baju koko leher terbuka, dan kancing kayu serta jubah luaran—dengan selempang di dada dan keris Kiai Bondoyudo. Pipinya agak cekung dan tulang pipinya menonjol karena serangan malaria tropis. Diponegoro merasa sedang tidak sehat ketika dilukis. Dia juga sempat menagih janji yang memperbolehkannya naik haji. Ia sangat mendambakan perjalanan ke Tanah Suci. Tapi kedua pengawalnya tak bisa memberikan jawaban.
Lantas berangkatlah Diponegoro ke Manado dengan sebuah kapal. Belanda berjanji bahwa pengasingan di Manado tak ubahnya tempat peristirahatan. Sebuah gambar kapal dengan tiang-tiang tinggi, korvet Pollux, berlayar menjauh dan makin kecil di lautan. Burung camar beterbangan, seperti melepas kepergian Diponegoro.
Pada usia menjelang 44 tahun, Diponegoro pergi ke Manado. Perjalanan ke Manado menandai berakhirnya tiga tsunami yang ia rasakan selama hidupnya. Ia menyebutkan tsunami pertama terjadi pada awal 1793. Sebagai anak kecil, ia dibawa keluar dari Keputren Keraton ke Tegalrejo dan dibesarkan oleh nenek buyutnya yang kuat dan cerdas. Tsunami kedua terjadi pada 11 Juli 1825 ketika Belanda menyerbu dan membakar habis kediamannya. Tsunami terakhir adalah ketika ia dikhianati, ditangkap, dan dibuang ke Manado. Setiap tsunami itu, dia mengungkapkan, adalah momentum yang tidak ada jalan kembalinya.
“Umur saya menjelang 44 tahun, saya akan pergi ke pengasingan dengan api yang tak akan pernah padam,” ujarnya. Film animasi ini digarap dalam nuansa yang gelap dan sedih, diiringi suara gesekan rebab yang liris. Subiyanto sebelumnya menggarap film berjudul Simpang Masa yang berisi percakapan Ronggowarsito, Mangkunegoro IV, dan Raden Saleh tentang Jawa.
Perjalanan Diponegoro setelah penangkapan dimulai dari Magelang sebelum menggunakan jalan darat ke Semarang. Dari Semarang, perjalanannya melintasi jalur laut dengan kapal. Setelah berada di Batavia hampir tiga pekan, berangkatlah dia dengan korvet Pollux menuju Manado. Rutenya dari Batavia menyusuri Laut Jawa ke arah Surabaya dan Madura di Jawa Timur, menuju Nusa Tenggara, lalu membelah laut melewati Pulau Tukang Besi, yang sekarang disebut Wakatobi. Kapal lalu terus bergerak hingga mendarat di Tondano, lalu ke Manado dengan Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle yang bertanggung jawab mengawal Diponegoro.
Sepanjang perjalanan, kondisi kesehatan Diponegoro naik-turun. Malaria membuat kondisinya tak stabil. Dari catatan Knoerle, Diponegoro mencoba bertahan dengan daun sirih. Untuk mengatasi mabuk laut, dia mengkonsumsi ubi jalar kering. Ada pula kentang dan singkong. Dia pun mengkonsumsi rimpang seperti kencur, jahe, dan kunyit. Dari catatan Knoerle pula Diponegoro diketahui menyukai minuman anggur putih yang diminumnya jika kondisinya agak menurun untuk mengatasi malarianya. Persediaan sirih selalu diupayakan, seperti ketika mereka melewati kawasan Surabaya dan Madura.
Dalam perjalanan laut, Diponegoro beberapa kali mengundang Knoerle ke kabinnya. Kasur tidurnya terbuat dari jerami. Mereka banyak berbincang tentang Islam serta asal-usul dan silsilah sultan sambil menikmati hidangan. Kadang roti beras diantarkan kepada Diponegoro, juga hidangan ayam masakan juru masak Diponegoro. Ada kalanya Knoerle mengajak Diponegoro naik ke geladak untuk sekadar menikmati udara laut.
Peter Carey menyiapkan buku Percakapan dengan Diponegoro sejak 50 tahun lalu. Ia memulainya dengan skripsi dan disertasi di University of Oxford, Inggris, tentang Diponegoro dan asal-usulnya. Saat itu dia menyiapkan disertai dengan mengumpulkan bahan untuk satu biografi yang lengkap. “Saya sudah sadar bahwa ada beberapa laporan dan saksi mata yang mengawal Diponegoro sejak ia ditangkap di Magelang pada Minggu, 28 Maret 1830,” ujarnya kepada Tempo melalui sambungan aplikasi pertemuan.
Carey menjelaskan, ada tiga tahap percakapan yang ditulis, yakni dengan menantu Jenderal Hendrik Merkus de Kock, seorang mayor ajudan De Kock, dan seorang penerjemah resmi militer Belanda, Johan Jacob. Mereka mengawal Diponegoro dari Magelang melalui Ungaran pada malam pertama dan delapan malam di Bojong, Semarang. Mereka kemudian ke Batavia menggunakan kapal dayung selama kira-kira dua minggu dan menyerahkannya kepada pejabat Batavia di Staadhuis (kini Museum Jakarta). Ia ditahan kira-kira tiga minggu sebelum berlayar ke Manado, ketika sudah ada keputusan mengasingkan Diponegoro seumur hidup di Sulawesi.
Diponegoro awalnya diasingkan di Manado sebelum dibawa ke Makassar. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru menugasi ajudannya mengawal Diponegoro dari Batavia hingga Manado melalui satu pelayaran yang cukup panjang. Kurang-lebih tiga minggu, selama 3 Mei-20 Juni 1830, dia terus bercakap-cakap dan bersentuhan dengan Diponegoro. Yang lebih singkat adalah pertemuan Diponegoro dengan anak bungsu Raja Belanda, Pangeran Hendrik Sang Pelaut.
Menurut Carey, percakapan ini mewariskan laporan yang cukup menarik. Dua yang pertama ditugasi pemerintah Hindia Belanda untuk semacam operasi intelijen, mengumpulkan informasi lengkap mengenai Diponegoro—siapa dirinya, bagaimana cara berpikirnya, apakah dia pemimpin yang saleh, sejauh mana pengetahuannya tentang Islam, dan bagaimana asal-usulnya.
Meski menjadi intel yang ditugasi mengawal Diponegoro, lambat laun mereka mengenal dan terkesan pada Diponegoro. Mereka justru menjadi akrab dan banyak berbagi cerita. Carey mengumpulkan data ini dan menerjemahkannya dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dengan penuh catatan kaki untuk menjadi buku. “Saya mengawali dengan satu prakata,” tuturnya. Prakata itu tentang sosok bersejarah seorang pangeran dan kerajaan dengan dua orang Belanda dan satu orang Jerman. Ia memberikan judul “Insider Outsider”. Mereka berasal dari kalangan atas atau elite Belanda, tapi mempunyai perspektif yang tidak konvensional.
Dari tiga percakapan ini, dia menerangkan, ada satu jendela untuk melihat kepribadian seorang Diponegoro lebih detail. Sebelumnya hanya ada segelintir referensi tentang dia sebagai anak sulung sultan. Buku ini bisa melengkapi gambaran seorang Diponegoro. “Bagaimana dia yang seorang Islam, juga kepercayaan bersentuhan dengan dunia gaib, berhadapan dengan Ratu Kidul, dan sebagainya.”
Carey mengaku menghadapi kesulitan ketika menyusun buku ini. Carey mengungkapkan, hampir setiap paragraf harus diberi catatan, apakah Diponegoro benar, apakah dia bisa dipercaya untuk membuktikan, ataukah ia membual.
•••
PANGERAN Diponegoro sepertinya sudah menyiapkan nasib keluarganya sepeninggalnya. Menurut catatan yang ditemukan Peter Carey, Diponegoro seperti telah menyiapkan pintu kematiannya dan meninggalkan sejumlah wasiat pada 1848-1849. Ia meminta pemerintah Belanda menghubungkannya dengan putranya yang masih hidup. Mereka diasingkan di Ambon, Maluku; dan Sumenep, Madura.
Sejarawan Peter Carey di kantor redaksi Tempo, Palmerah, Jakarta, Oktober 2015. Tempo/Charisma Adristy
Ia juga menerima surat dari ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, di Yogyakarta. Jika memungkinkan, ia ingin bisa bertemu. Namun rupanya kondisi sang ibunda cukup payah untuk dapat menempuh pelayaran panjang selama tiga minggu. Dia meninggal pada 1852. Semula Diponegoro meminta jasadnya dipindahkan ke Jawa jika ia meninggal nanti. Kemudian Diponegoro juga meminta Residen Surabaya menguburkannya di dekat makam putranya yang kedua yang telah meninggal pada usia remaja, 14 tahun.
Wasiat lain Diponegoro, Carey menambahkan, adalah menguburkan keris Kiai Bondoyudo di Makassar saja setelah ia meninggal. “Beliau menganggap keris tidak layak diwariskan kepada mereka yang tidak mempunyai kekuatan batin,” ujarnya. Selain itu, Diponegoro meminta, setelah dia wafat, keluarganya (anak dan istrinya) diperbolehkan tinggal di luar benteng dan dibangunkan vila atau pondok. Permintaan ini dikabulkan pemerintah Belanda.
Carey menjelaskan bahwa temuannya didapatkan dari arsip tunjangan yang dikeluarkan Belanda hingga 1849. Ia belum mendapatkan arsip yang lebih detail mengungkapkan hari-hari terakhir Diponegoro menjelang wafatnya. “Mungkin ada, jika ditelusuri dari para petinggi Belanda. Yang ada baru sampai pada 1849.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Didit Hariyadi dan Septhya Ryantie berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Memperingati 169 Tahun Wafatnya Diponegoro"