Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebuah karya maestro film keluarga, Hirokazu Kore-eda, yang mengadopsi gaya penceritaan Akira Kurosawa.
Lapis-lapis kebenaran terungkap oleh tiga pencerita dari sudut pandang berbeda.
Realita dan imajinasi para tokoh film Monster menyatu.
DIMULAI dari kebakaran besar yang meluluhlantakkan sebuah bar di pojok kota. Sang ibu, Saori Mugino (Sakura Ando), dan putra semata wayangnya, Minato Mugino (Soya Kurokawa), menyaksikan kebakaran itu dari teras apartemen sederhana mereka sembari berbincang. Sepintas mereka seperti berdialog santai ketika Minato bertanya apakah mungkin otak manusia diganti dengan otak babi, apakah ia tetap manusia atau binatang. Saori tak terlalu menanggapi pertanyaan ganjil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan mulai menyingsing ketika ibu tunggal itu memperhatikan luka di telinga kiri Minato. Dia curiga karena mendadak sang anak memotong rambutnya sendiri. Syak wasangka menebal karena Saori mendengar kabar angin dari ibu lain bahwa wali kelas anaknya, Michitoshi Hori (Eita Nagayama), berada di bar yang terbakar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saori menuntaskan kegalauannya dengan mengunjungi sekolah dan menemui kepala sekolah. Yang terjadi kemudian adalah serangkaian tanggapan ganjil: dari wali kelas yang agak defensif serta kepala sekolah yang bersikap dingin dan menjawab dengan kalimat normatif, juga permintaan maaf beramai-ramai sembari membungkuk sopan yang terasa tidak tulus.
Ini semua dikisahkan dari sudut pandang Saori, sang ibu tunggal yang protektif. Tapi tentu saja, bagi Hirokazu Kore-eda, itu tak cukup. Kore-eda adalah sutradara yang gemar mengungkap cerita selapis demi selapis. Seperti dalam film-film sebelumnya, misalnya Broker (2022), Shoplifters (2018), dan Our Little Sister (2015), Kore-eda selalu tertarik melukis jiwa kanak-kanak dan peran anak dalam keluarga. Kali ini Kore-eda bekerja sama dengan penulis skenario Yûji Sakamoto dengan gaya Akira Kurosawa dalam film klasik Rashomon (1950) meski untuk tujuan yang berbeda.
Monster karya sutradara Hirokazu Koreeda/TOHO Co.Ltd
Sementara film Kurosawa itu menggunakan berbagai sudut pandang dalam sebuah tragedi pemerkosaan hingga kebenaran nyaris dianggap sebagai sesuatu yang subyektif, Kore-eda memakai tiga sudut pandang tokoh yang kelak mengungkap dan mengelupas lapis kebenaran satu per satu.
Penonton menjadi makin ragu terhadap kesimpulan sang ibu ketika sudut pandang berpindah kepada wali kelas, Michitoshi Hori. Kore-eda menggambarkan sisi kesehariannya: sebagai kekasih dari pacar yang setia mendengarkan keluh-kesahnya; sebagai kolega guru-guru tempatnya bekerja; dan sebagai guru yang memperhatikan muridnya. Pada saat inilah perlahan terungkap bahwa problem Minato bukan persoalan tunggal antara guru dan murid. Pak Hori ternyata menyaksikan buntut perkelahian dua murid mungil di kelasnya: Minato dan Yori Hoshikawa (Hinata Hiiragi). Pak Hori, seperti manusia biasa pada umumnya, dengan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa Yori kecil dirundung oleh Minato. Problem makin pelik ketika Pak Hori menemukan jejak yang mengungkap bahwa dugaannya salah besar.
Seperti film-film sebelumnya, Monster mampu membuat kita menanti dengan berharap-harap cemas tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam lingkungan sekolah itu. Benarkah ada perundungan? Siapa yang sebetulnya melakukan kekerasan? Ada apa dengan kelakuan ibu kepala sekolah yang ganjil? Dan bagaimana sesungguhnya hubungan Minato dengan Yori, dua anak lelaki yang sungguh peka dan penuh imajinasi itu? Apakah mereka musuh bebuyutan seperti yang diduga Pak Guru Hori?
Hanya pada babak ketiga, ketika Kore-eda berkisah dari sudut pandang Minato, segalanya terjawab. Semua potongan puzzle yang hilang—karena baik sang ibu maupun Pak Guru Hori hanya menyaksikan dan mendengar sepotong demi sepotong peristiwa—akhirnya bersatu di atas kanvas Kore-eda. Perlahan-lahan kita memahami bahwa Kore-eda tak hanya menceritakan kisah keluarga, tapi juga kisah cinta. Antara kenyataan yang dihadapi anak-anak tatkala perundungan nyaris tak terdeteksi dan imajinasi anak-anak tentang masa depan serta para orang dewasa yang sering menyimpulkan segalanya berdasarkan purbasangka adalah ramuan kedahsyatan Kore-eda (yang tak hanya menyutradarai, tapi juga menyunting filmnya sendiri) dan Yûji Sakamoto yang diganjar sebagai Penulis Skenario Terbaik Festival Film Cannes di Prancis tahun lalu.
“Monster” dan “Otak Babi” adalah dua kosakata yang diperkenalkan di dalam film ini sebagai serangkaian penghinaan dan penyangkalan bahwa setiap anak bisa terlahir dengan berbagai perbedaan. Film Monster menggambarkan keperihan itu dengan cara yang menyentuh sekaligus penuh daya sihir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cerita tentang Minato dan Yori"