Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Abdur Arsyad, Bintang Emon, Fedi Nuril, dan selebritas lain ikut bersuara saat unjuk rasa Peringatan Darurat 22 Agustus 2024.
Fedi Nuril, aktor yang dikenal lewat peran santun dan kalem, ikut menyuarakan kritik politik di media sosial.
Akar keresahan mereka sama, yaitu situasi politik yang kian rusak akibat oligarki dan dinasti.
CUITAN itu menampilkan wajah lain Fedi Nuril. “Gue masih belum menentukan pilihan capres, tapi gue udah pasti gak bakal pilih 02 #AsalBukan02,” tulis Fedi di akun media sosial X pada 1 Februari 2024. Pernyataan itu muncul dua pekan sebelum hari pencoblosan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Tagar #AsalBukan02 merupakan gerakan untuk tidak memilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, calon terkuat dalam kontestasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak hampir dari dua dekade silam, kebanyakan orang Indonesia mengenal Fedi sebagai pria alim dan santun seperti karakter Fahri bin Abdullah Shiddiq dalam Ayat-Ayat Cinta karya Hanung Bramantyo pada 2008. Sebelumnya, dia tidak pernah bicara politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya niat Fedi menyuarakan penolakannya muncul pada2022, ketika Prabowo mengumumkan akan ikut pemilihan presiden atau pilpres 2024. Alasannya, mantan pemimpin Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat itu masih punya rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia yang belum dipertanggungjawabkan.
Fedi Nuril saat jumpa pers film Bila Esok Ibu Tiada di Plaza Indonesia XXI, Jakarta, 30 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra
Apalagi, setelah Prabowo gagal dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019, Fedi menilai Ketua Umum Partai Gerindra itu semestinya sadar diri. “Mayoritas masyarakat Indonesia tuh enggak mau beliau jadi presiden,” katanya kepada Tempo.
Kekhawatiran Fedi kian menumpuk ketika Presiden Joko Widodo ikut mendukung Prabowo. Fedi kadung kecewa terhadap Jokowi sejak mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, dan Gubernur DKI Jakarta serta presiden ketujuh itu mengajak Prabowo bergabung dengan pemerintahan seusai pilpres 2019.
Lewat keputusan presiden, Jokowi juga mengangkat sejumlah mantan anggota Tim Mawar sebagai pejabat di Kementerian Pertahanan. Tim Mawar merupakan sebutan bagi Grup IV Kopassus di masa kepemimpinan Prabowo. Mahkamah Militer menghukum mereka sebagai pelaku penculikan dan penghilangan paksa para aktivis di pengujung era Orde Baru. “Buat saya, Pak Jokowi enggak ada empati sama sekali terhadap para korban,” tutur Fedi.
Kegeraman dia memuncak karena sebelumnya berlangsung pelemahan pemberantasan korupsi lewat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian muncul putusan Mahkamah Konstitusi tentang perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang membuka jalan bagi Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai calon wakil presiden meski usianya belum memenuhi syarat minimal 40 tahun.
Sederet alasan itu yang membulatkan tekad Fedi menyatakan tidak akan memilih Prabowo-Gibran. Cuitan aktor yang dikenal kalem dan santun lewat film-film drama religi itu menghebohkan jagat media sosial. Sejak itu, dia konsisten mengkritik penguasa lewat media sosial. Dia memilih X karena dinilai luwes dan instan.
Menurut analisis Drone Emprit, perangkat pemantau media sosial, akun X Fedi Nuril mendapat atensi tertinggi ketika melontarkan kritik penolakan pasangan Prabowo-Gibran. Per 20 Desember 2024, cuitan itu memiliki total interaksi sebanyak 8.657.100, yang terdiri atas 8,5 juta penayangan, 6.400 komentar, dibagikan kembali 31 ribu kali, disukai 118 ribu akun, dan disimpan 1.700 akun.
Selain perkara pemilu, kritik lain dari Fedi ramai ditanggapi. Di antaranya program makan bergizi gratis dengan pagu Rp 10 ribu, kasus judi online Kementerian Komunikasi dan Informatika di era Menteri Budi Arie Setiadi, pemindahan ibu kota negara, konsesi tambang Nahdlatul Ulama, serta ketidakhadiran Jokowi dalam demonstrasi Peringatan Darurat pada 22 Agustus 2024. Tujuannya bawel di media sosial hanya satu, yakni membuat penguasa tidak nyaman. “Biar mereka resah, gitu,” ujar Fedi.
Ketertarikan Fedi, 42 tahun, terhadap isu kebijakan publik terpupuk sejak ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hingga kini dia rutin meluangkan waktu minimal 30 menit per hari untuk membaca atau menonton siniar berita. Bukan hanya kebernasan Fedi dalam mengkritik pemerintah yang menarik atensi publik, melainkan juga caranya meladeni serangan akun-akun pendengung atau buzzer.
Ada beberapa sebutan yang sering Fedi lontarkan kepada mereka. Dari “taplak”, “tampah kerupuk”, “gorden warteg”, “cetakan tumpeng”, “kerokan blewah”, “tusuk cilok”, “tungku menyan”, sampai “tudung sajen”.
Istilah-istilah itu Fedi pakai sebagai kata ganti celaan. Aktor yang juga gitaris grup rock Garasi ini mengaku ingin memaki dengan kata-kata kasar. Tapi dia menyadari hal itu hanya akan membuat orang lebih berfokus pada cacian ketimbang pesan dalam kritiknya. Banyak pengikut Fedi yang merasa terhibur oleh istilah-istilah tersebut. “Jadinya keterusan sampai sekarang,” ucapnya.
Fedi punya cara menghadapi penyebar ancaman dan ujaran kebencian. Misalnya saat ada akun anonim yang berharap Orde Baru hidup kembali supaya orang vokal seperti Fedi kena “petrus”. Petrus adalah akronim dari penembakan misterius, operasi rahasia membunuh para pengganggu keamanan tanpa pengadilan pada pertengahan 1980-an.
Dia menangkap tampilan layar berisi ancaman tersebut, lalu mengunggahnya di akun miliknya. “Saya tanya ke para pendukung 02 apakah mereka berpendapat sama dengan orang itu, pengin Orde Baru hidup lagi dan di-petrus-kan. Jadi saya adu domba,” kata Fedi, lalu tertawa.
Sebaliknya, ketakutan datang dari orang-orang sekitar Fedi. Menjelang promosi Bila Esok Ibu Tiada yang dirilis pada 14 November 2024, misalnya, ada kru yang memintanya menahan jari. Kru itu cemas kritik Fedi bakal mempengaruhi minat orang menonton film karya Rudi Soedjarwo tersebut. “Itu kekhawatiran dia pribadi,” tuturnya.
Fedi meyakini bahwa omongan politiknya tidak akan menghancurkan karier yang ia bangun lebih dari 20 tahun lalu. Dia membandingkan nasib rekan-rekannya di industri hiburan yang pernah bersinggungan dengan hukum, juga masuk penjara, tapi bisa tetap eksis. Fedi juga menyinggung mantan terpidana korupsi yang bisa kembali jadi pejabat. “Kalau omongan saya bikin produser enggak mau merekrut saya lagi, menurut saya konyol,” ucap Fedi. “Sampai itu terjadi, saya makin khawatir dengan keadaan negara ini.”
•••
ANALIS Drone Emprit, Nova Mujahid, mengatakan sebelumnya tak banyak aktor bersikap kritis terhadap isu pemerintahan. Baru pada tahun ini, terutama saat Pemilu 2024, muncul pesohor yang bersuara kritis seperti Fedi Nuril.
Kelompok figur publik yang konsisten menyuarakan masalah kebangsaan, hukum, dan hak asasi manusia adalah komika. Nova menyebutkan beberapa nama, di antaranya Bintang Emon dan Abdur Arsyad.
Dari pemantauan Drone Emprit, konten-konten Bintang Emon di TikTok tidak hanya banyak dikomentari, tapi juga di-stitch—fitur yang memungkinkan pengguna menggabungkan video buatannya dengan video dari kreator lain. Menurut Nova, kebanyakan video yang di-stitch itu berisi kritik atau serangan terhadap Bintang Emon.
Abdur Arsyad dalam aksi menolak RUU Pilkada di depan kompleks DPR, Jakarta, 22 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan banyaknya video yang “dijahit” berarti konten Bintang Emon menimbulkan gejolak pemikiran dan perdebatan orang-orang yang pro dan kontra. “Apa yang dia posting bisa membuat marah dan kesal banyak orang, tapi dia tetap konsisten,” ujar Fahmi.
Bintang Emon, 28 tahun, dikenal aktif mengkritik pemerintah dengan balutan komedi. Khas dengan gaya satire, komika ini mulai viral pada 2020 ketika menyindir kasus penyiraman air keras terhadap mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Saat itu jaksa menuntut dua pelaku dengan hukuman 1 tahun penjara dan menyatakan para terdakwa tidak sengaja melakukan penyiraman air keras tersebut.
Menukil dari pemberitaan Tempo pada 13 Juni 2020, Bintang menyampaikan kejanggalan dalam tuntutan itu dengan logika berpikir sederhana dan bahasa yang kocak. Dia mempertanyakan ketidaksengajaan penyiraman bisa membuat air keras mengenai muka seseorang padahal ada gaya gravitasi. “Kalau Pak Novel Baswedan jalannya handstand, baru lu (pelaku) bisa protes, bilang ‘Pak Hakim, saya niatnya nyiram badan. Cuma, gara-gara dia jalannya bertingkah, jadi kena muka’. Sekarang kita cek, yang enggak normal cara jalan Pak Novel Baswedan atau tuntutan buat kasusnya?” kata Bintang di Instagram TV.
Pemilik nama lengkap Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra itu mengungkapkan bahwa video tersebut memiliki interaksi paling besar. “Pas saya ngomong, kebetulan ada beberapa orang yang merasa terwakilkan, cukup jadi gelombang,” ucapnya kepada Tempo.
Bintang membuat konten tersebut karena saat itu belum banyak reaksi publik atas kasus Novel Baswedan. Tapi, setelah videonya meledak, Bintang bersyukur banyak yang menilai kritik tersebut sebagai hal yang lumrah.
Bintang Emon (memakai ikat kepala) dalam demo Peringatan Darurat di depan gedung DPR, 22 Agustus 2024. Dok. Tempo/Mochamad Firly Fajrian
Sepanjang 2024, Drone Emprit menangkap beberapa unggahan Bintang Emon yang memiliki banyak interaksi. Antara lain Bintang membuat sindiran di X tentang aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Cuitan itu memiliki total interaksi lebih dari 500 ribu. Sementara itu, di Instagram, dia menyinggung kebijakan ekspor pasir laut dengan menampilkan tulisan kritik Susi Pudjiastuti di X, yang mendulang lebih dari 300 ribu tanda suka. Ketika publik marah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang hendak mengesahkan revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau RUU Pilkada, Bintang turut mengunggah “Peringatan Darurat” di akun Instagram-nya. Perubahan undang-undang itu bisa membuka jalan bagi anak Presiden Joko Widodo menjadi wakil gubernur meski belum mencukupi batas umur minimal 30 tahun.
Meski berganti presiden, Bintang mengatakan tetap mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Dia menyebutkan sikap kritisnya tumbuh dari lingkungan tempat tinggalnya. Sejak kecil, pria yang lahir di Kalideres, Jakarta Barat, ini melihat banyak ketidakadilan di sekitarnya. Dari keterbatasan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan hingga penegakan hukum yang kurang maksimal.
Sejak bergabung dengan komunitas stand-up comedy pada 2013 dan bertemu dengan banyak orang, pikirannya jadi terbuka. Bintang mulai mendapati akar masalah yang terjadi di lingkungannya bertumbuh dan membuatnya tergerak untuk bersuara. “Ada beban moral karena saya punya kesempatan untuk sedikit berpartisipasi dalam penyelesaian masalah ini,” ujarnya.
Bintang mengatakan stand-up comedy kerap membenturkan berbagai pemikiran. Bila ingin bertahan, setiap komika harus terbuka dengan berbagai macam pemikiran. Di sinilah Bintang melihat masalah dengan berbagai sudut pandang.
Tokoh yang memotivasi Bintang menyuarakan masalah-masalah yang dekat dengan hidup masyarakat adalah Dave Chappelle. Komika asal Amerika Serikat itu sering menyoroti perjuangan kelompok kulit hitam di negaranya. Bintang menemukan kemiripan, yaitu sama-sama merasakan ketidakadilan dan melihat akar masalahnya. Formula itu yang menginspirasi Bintang dalam membuat materi lawakannya.
Menurut Bintang, panggung komedi tunggal masih menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial karena dekat dengan keseharian masyarakat banyak. Dibandingkan dengan film dan lagu, misalnya, dia melanjutkan, stand-up comedy lebih luwes dalam menyampaikan pesan. “Mediumnya sangat kuat dan besar untuk menampung banyak pesan tanpa perlu dikurangi, dipercantik, dan lainnya,” katanya.
Bintang sadar akan risikonya sebagai pengkritik penguasa. Dia mengatakan ada beberapa jenama yang menahan diri untuk bekerja sama ketika ia sedang membahas isu kebijakan publik yang sedang panas. Ada pula pemilik merek yang meminta Bintang tidak vokal untuk sementara. Tanggapannya? “Saya enggak bisa janji. Jangan minta ke saya. Minta ke pemerintah, jangan lucu-lucu,” tuturnya.
•••
BACOT. Demikian Abdur Arsyad membalas unggahan Presiden Joko Widodo yang mengajak pengikutnya di X untuk ikut mengawal pemilihan kepala daerah 2024. Abdur menuliskannya dengan huruf kapital semua. Komika 36 tahun itu mengaku kesal terhadap omongan Jokowi yang kerap kontradiktif dengan tindakannya. “Dia cuma pencitraan,” kata Abdur kepada Tempo.
Analisis Drone Emprit menunjukkan kicauan Abdur termasuk satu unggahan yang memiliki banyak interaksi. Selain mengkritik pernyataan Jokowi, Abdur menyindir orang-orang yang memuja-muja Jokowi tanpa melihat kondisi Indonesia secara keseluruhan.
“Jalan di kampungmu jadi bagus, lalu kau jadi penyambung lidah rezim. Koar-koar tentang pemerataan pembangunan. Sementara, kuliah jadi mahal, undang-undang dimainkan, korupsi membabi buta, tanah rakyat dirampas. Keras teriak NKRI Harga Mati, tapi pola pikirmu kedaerahan. VOC bangga padamu,” cuit Abdur pada 3 September 2024.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi di ruang kerjanya di Jakarta, 8 Oktober 2019. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Sindiran itu dia buat lantaran ia sering menemukan serangan akun-akun pendengung. Para buzzer itu menyebut Abdur sebagai contoh orang timur yang lupa kampung dan senang-senang di Jakarta, padahal wilayah Indonesia timur turut dibangun Jokowi.
Pria asal Nusa Tenggara Timur itu mengatakan, walaupun ada sebagian orang merasakan manfaat pembangunan di era Jokowi, mereka seharusnya juga melihat dari Sabang sampai Merauke. Abdur menyebutkan sejumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah. “Kamu lihat orang Wadas, lihat orang di Rempang, lihat Dago Elos,” ucapnya.
Pada awal 2024, misalnya, Abdur mengkritik kenaikan harga bahan kebutuhan pokok alias sembako dan tarif listrik. Seperti biasa, banyak warganet memintanya tidak sok berbicara politik dan fokus melawak saja. Ia tak pernah meladeni komentar-komentar tersebut. “Kalau saya ada waktu, saya cuma balas Mulyono,” ujarnya.
Abdur tak sekadar berkicau di media sosial. Dia beberapa kali menyuarakan keresahannya dengan ikut turun ke jalan. Pelawak yang juga aktor ini pernah mengikuti aksi “Reformasi Dikorupsi” yang menuntut pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Tahun ini, Abdur ikut berorasi dalam demo Peringatan Darurat di depan gedung DPR, Jakarta, pada 22 Agustus.
Abdur mengatakan unjuk rasa lebih berdampak ketimbang melakukan stand-up comedy. Sekalipun video lawakan tunggalnya bisa ditonton jutaan orang di YouTube, Abdur menilai massa yang berkerumun di jalan lebih didengar pemegang kekuasaan. Panggung stand-up comedy sebagai wadah kritik sosial, dia melanjutkan, hanya relevan apabila memiliki pemimpin yang mau mendengar.
Turun ke jalan sebetulnya Abdur lakukan sejak dia kuliah di Malang, Jawa Timur. Itu pertama kalinya ia merantau dan meninggalkan Nusa Tenggara Timur. Anak ketiga dari lima bersaudara ini melek politik setelah berkenalan dengan buku pemikiran tokoh-tokoh bangsa serta aktif berorganisasi.
Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang ini kerap memprotes rektornya saat itu, Muhadjir Effendy—Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2016-2019 serta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 2019-2024. Kebiasaan mengkritik di kampus itu Abdur bawa dalam materi komedi tunggalnya. Sejak mengikuti kompetisi Stand Up Comedy Indonesia 2014, Abdur dikenal vokal menyuarakan ketidakadilan yang dirasakannya sebagai orang Indonesia bagian timur.
Setelah meniti karier di Jakarta, Abdur berkenalan dengan banyak orang yang memperluas wawasannya terhadap isu pemerintahan. Akhirnya ia pun menggunakan media sosial sebagai wadah untuk bersuara. Menurut dia, media sosial membuatnya lebih bebas karena tidak dituntut untuk lucu seperti membuat materi stand-up comedy. “Di Twitter, bebas saja kita ngomel-ngomel,” kata lulusan magister pendidikan matematika di Universitas Negeri Malang itu.
Sebelum menuangkan kekesalannya di media sosial, Abdur cukup berhati-hati dalam memilih diksi. Melihat dari gaya mengkritiknya di media sosial, ia kerap menyindir secara halus. Ia mengatakan memang bermain di ruang abu-abu dan menghindari penyebutan nama secara gamblang. “Jadi biasanya main kiasan,” ujarnya.
Jika unggahannya terlalu keras, Arie Kriting, komika sekaligus sahabat Abdur, kerap menegurnya. Lengkap dengan tangkapan layar cuitan tersebut. “Saudara, santai dulu. Main pelan,” tutur Abdur menirukan pesan Arie.
Sikap kritis Abdur sedianya didapat karena ia mencontoh Arsyad Mahrun, ayahnya yang mantan pegawai negeri. Abdur sering menemani ayahnya saat rapat dan menyaksikannya memprotes hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan. Dia melihat ayahnya sebagai pamong praja ideal yang kerap membantu banyak orang di luar jam kerjanya. “Kalau semua abdi negara punya waktu untuk melayani rakyat seperti itu, kayaknya kita jadi keren banget.” ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo