Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEBRAKAN Sutomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) berbuntut panjang. Siang itu, pertengahan Oktober 1945, sekelompok pemuda bersenjata laras panjang mengepung rumah Bung Tomo di Tembok Dukuh, Surabaya. Hilmi, pemimpin kelompok itu, menyelonong masuk ke rumah. Ia salah satu pentolan Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Sutomo saat itu sedang makan siang. Mereka meminta Bung Tomo ikut ke markas Pemuda Republik Indonesia. Tuan rumah menolak dengan alasan harus memimpin pertemuan Barisan Pemberontakan petang harinya. Hilmi mengancam. "Kalau dengan cara halus Saudara tidak suka, saya terpaksa akan mengambil jalan kekerasan!" ujar Hilmi. Tak lama kemudian, truk membawa Bung Tomo menuju Simpang, Tunjungan.
Dengan todongan bayonet, Bung Tomo masuk ke ruang tahanan. Di dekatnya ada seorang dokter yang diinterogasi dengan tuduhan mata-mata. Dari jendela, dia melihat puluhan tawanan Belanda disiksa. Bayangan maut melintas di pikirannya. "Mungkin aku sendiri akan mendapatkan giliranku," katanya seperti dikutip dalam buku Bung Tomo: Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru.
Di titik ini sejarah terbagi dua: versi Bung Tomo dan pengakuan Soemarsono, pemimpin Pemuda Republik Indonesia. Menurut Soemarsono, mundurnya Sutomo dari PRI, lalu mendirikan BPRI pada 12 Oktober 1945, menimbulkan keresahan di kalangan pemuda. "Sebagian dari kami menganggap dia memecah belah kekuatan pemuda," ujar Soemarsono di kediaman putrinya di Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhir September lalu.
Tapi Soemarsono mengaku terkejut atas tindakan Hilmi dan kawan-kawan. "Tahu-tahu Sutomo digelandang masuk ke ruangan saya," ujarnya. Menurut Soemarsono, penangkapan itu murni inisiatif anak buahnya.
Biasanya, kata gubernur militer Partai Komunis Indonesia saat geger Madiun 1948 ini, laskar akan menghabisi orang yang dianggap bertentangan dengan pemikiran mereka. Namun, karena Bung Tomo bekas teman seperjuangan, mereka membawanya ke Soemarsono. "Dia jongkok di depan saya, minta tolong supaya dibiarkan hidup," ujar pria yang kini 94 tahun itu.
Di depan pasukannya, Soemarsono meminta Sutomo dibebaskan. "Dia tidak menyalahi apa-apa," ucapnya. Aksi Sutomo mendirikan BPRI, kata Soemarsono, bukan untuk memecah belah pemuda, melainkan buat mengorganisasi kelompok lain, seperti tukang becak.
PRI saat itu adalah laskar terbesar di Surabaya. Kekuatannya 3.500-an orang dengan lebih dari 2.000 senjata. Soemarsono salah satu aktor pertempuran Surabaya.
Bung Tomo berkata lain. Dalam bukunya, Sutomo mengatakan Soemarsono tidak ada di sana. "Saya dibiarkan sendirian lebih dari tiga jam," katanya. Untuk menghibur diri, dia memakan cokelat yang ia peroleh dari tumpukan makanan hasil rampasan milik Sekutu.
Beberapa menit menjelang magrib, datang panggilan telepon dari markas tentara Jawa Timur. Roestam Zein, Kepala Bagian Penyelidikan BPRI, menanyakan status penahanan Bung Tomo. Sejurus kemudian, dia menutup telepon sembari tertawa. "Ada salah paham," kata Roestam.
Ternyata dokter Moestopo, penguasa militer Jawa Timur, meminta PRI mengawal Bung Tomo. Sebab, pidato-pidatonya membuat kuping Sekutu merah. Perintah Moestopo: lindungi Sutomo. Namun laskar pemuda salah tafsir. Saat itu kata "melindungi" banyak ditujukan untuk orang Belanda atau mereka yang dicurigai kaki tangan Belanda. Istilah itu bentuk halus dari menangkap.
Menurut Bambang Sulistomo—putra kedua Bung Tomo—rivalitas antara Soemarsono dan ayahnya sesuatu yang tak terelakkan. Bambang mengaku kerap sowan ke Soemarsono saat sesepuh itu pulang ke Indonesia. Soemarsono saat ini lebih sering menetap di Australia. "Dia adalah pejuang seperti Bapak, sehingga saya menganggapnya bapak sendiri," kata Bambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo