Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOEMARSONO seperti belum bisa berdamai dengan masa lalu. Dia terlihat emosional jika teringat kiprah Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada pertengahan Oktober 1945 di Surabaya.
"Sutomo mendirikan badan perjuangan baru. Dia punya massa dan mau menyaingi PRI," kata pria 94 tahun itu kepada Tempo, akhir September lalu, di Jakarta.
Soemarsono punya ganjalan dengan Bung Tomo. Kader militan Partai Komunis Indonesia ini salah satu pendiri sekaligus Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terbesar penghimpun pemuda berskala nasional menjelang pertempuran bersejarah 10 November 1945. Lahir di Surabaya, 21 September 1945, seusai pengumuman kekalahan Jepang pada 24 Agustus, menurut Soemarsono, PRI menaungi 60 ribu anggota resmi dari 17 organisasi lokal dan etnis di seluruh Nusantara.
Itu sebabnya dia tak rela muncul organisasi serupa. Apalagi ketika itu Bung Tomo masih anak buah Soemarsono, sebagai Ketua Bidang Penerangan PRI. Ketidaksukaan Soemarsono terekam dalam bukunya, Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, yang terbit 2008. Menurut dia, Bung Tomo belum punya pengikut signifikan di kalangan pemuda Surabaya waktu itu, tapi merasa pengaruhnya besar. "Akhirnya Sutomo mendirikan organisasi baru, BPRI."
Bung Tomo, yang setahun lebih tua ketimbang Soemarsono, diam-diam berembuk dengan sejumlah teman dekatnya. Rapat pematangan digelar di sebuah rumah di Jalan Biliton 7 pada 12 Oktober. Hadir Bung Tomo, Sumarno, Asmanu, Abdullah, Amiadji, Sudjarwo, dan Suluh Hangsono. Rapat hingga larut malam itu melahirkan BPRI. Pembentukannya diumumkan lewat koran Soeara Rakjat edisi esok harinya, 13 Oktober.
Para pendiri berpikir bahwa perlu organ perjuangan rakyat di Surabaya untuk menyokong diplomasi pemimpin Republik, Sukarno-Hatta, dengan pihak Sekutu. Dalam buku Bung Tomo: Dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (1982), BPRI disokong para tukang becak, penjual makanan, dan orang-orang kampung.
Pemilahan pendukung ini rupanya sengaja dimunculkan sebagai pembeda dengan PRI. Soemarsono pun bercerita bahwa Bung Tomo pernah menjelaskan kepada para pucuk pimpinan PRI bahwa BPRI tak akan mengkanibal PRI.
PRI dihuni laskar pemuda di bawah 30 tahun, terutama yang pernah melawan Jepang dalam masa pendudukan 1942-Agustus 1945. Soemarsono berusia 24 tahun waktu itu. Sedangkan BPRI mengambil ceruk lain: tukang becak, penjual makanan, pedagang kecil, buruh bangunan, dan orang-orang kampung kebanyakan tanpa ada embel-embel batasan usia. "Saya biarkan. Jadi dia Ketua Penerangan PRI juga Ketua BPRI," ujar Soemarsono.
Namun anak kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo, punya cerita lain. Dia menuturkan, ayahnya dan rekan-rekannya sengaja mendirikan BPRI agar memiliki organisasi yang menjadi alat perjuangan sekaligus mengorganisasi kekuatan massa. "Bapak tak suka dengan perundingan, tidak suka diplomasi," kata Bambang kepada Tempo, medio Oktober lalu.
Bahkan, Bambang meneruskan, menurut ibunya, Bung Tomo dan teman-temannya menganggap PRI dan pemerintah di bawah Sukarno-Hatta kurang revolusioner dalam menyikapi penjajah yang ingin berkuasa lagi di Indonesia. "Belanda mau datang kok kurang cepat menanggapi."
William H. Frederick dalam bukunya, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946) terbitan 1989, menuturkan hal serupa. Menurut dia, kelahiran BPRI dipicu anggapan bahwa pemimpin PRI kurang peka dalam menanggapi meningkatnya gelegak warga kampung untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Mereka pun dinilai kurang menaruh perhatian pada "perpecahan" berupa terbentuknya beraneka kelompok berdasarkan golongan di kampung-kampung. Ada kelompok pemuda, orang tua, pedagang asongan, atau tukang becak.
Menjelang pertengahan Oktober 1945, PRI justru mengendurkan rangkulan terhadap massa kota. PRI dituding takut melangkah dan tak lincah lagi. Itu sebabnya Bung Tomo mengumpulkan segelintir kawannya yang sebagian pernah bertempur melawan Jepang, lalu mendirikan BPRI.
Kelompok Bung Tomo pun sengaja memberi nama organ baru itu mirip dengan PRI tapi dengan napas yang baru dan lebih garang. "Pemberontakan" dipilih untuk menggantikan "Pemuda", lalu "Rakyat" menggantikan "Republik". Bung Tomo juga mendeklarasikan BPRI sebagai kelompok ekstremis yang haus darah penjajah. Dengan cepat BPRI mendulang simpati dari kaum muda, apalagi dengan munculnya Radio Pemberontakan besutan Bung Tomo, yang bermarkas di Jalan Mawar.
Belakangan, BPRI merambah ke seluruh Indonesia dengan anggota mencapai 3,3 juta orang—begitu berdasarkan buku Pertempuran Surabaya (1985). Namun Soemarsono memperkirakan jumlah anggota BPRI jauh lebih sedikit. "Yah, 1 batalion 500 orang," ucapnya. Berbeda dengan penjelasan Soemarsono, Frederick menyebutkan bahwa Bung Tomo tak lagi bernaung di bawah PRI setelah mendirikan BPRI.
Laskar PRI jelas berang terhadap manuver Bung Tomo. PRI sudah memiliki posisi emosional dan politis yang tinggi di kalangan rakyat Surabaya. PRI adalah satu-satunya organisasi laskar pemuda yang menaungi semua organisasi pemuda yang muncul sebelumnya.
Dua hari setelah PRI berdiri, Soemarsono didapuk memimpin Angkatan Muda Indonesia (AMI), yang sebelumnya dipimpin Roeslan Abdulgani, tokoh pemuda nasionalis senior yang sudah memiliki lobi nasional. AMI bentukan Jepang yang tugasnya membuat organisasi pemuda yang solid untuk menyongsong kemerdekaan. Nah, kelahiran PRI yang begitu gegap-gempita dan memperoleh dukungan rakyat menjadi alasan para pemimpin AMI untuk menuntaskan pekerjaan sekaligus membubarkan organisasi.
Dalam acara pertemuan sekitar 300 pemuda di Gedung Nasional Indonesia, Jalan Blauran, Roeslan menyerahkan kursi ketua kepada Soemarsono. Secara aklamasi para peserta setuju mengangkat pemimpin baru. "Alasannya karena Roeslan sudah tua. Waktu itu dia umurnya 31 tahun," kata Soemarsono.
Tak tanggung-tanggung, para pemimpin teras AMI, termasuk Bung Tomo yang menjabat Ketua Bidang Penerangan, dan sekretaris Bambang Kaslan, masuk ke pengurus pusat PRI dengan jabatan yang sama. "Mereka menyatakan bersedia menjadi pengurus PRI," ucap Soemarsono. Tapi, belum genap satu bulan, Bung Tomo sudah mendeklarasikan BPRI.
Rupanya, ada alasan ideologis di balik manuver Bung Tomo membentuk BPRI, ketimbang sekadar dugaan adanya urusan eksistensi pejuang. Menurut Soemarsono, Bung Tomo berideologi nasionalis yang antikomunis. "Sutomo bukan PKI. Bahkan dia enggak suka sama PKI," ujar Soemarsono. "Bung Karno nasionalis, tapi pemikirannya kiri." Itulah sebabnya Bung Tomo mendirikan BPRI lantaran PRI dikuasai kaum komunis.
PRI bukan satu-satunya organ pemuda yang dipimpin komunis. Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dibentuk pada 1 September 1945 di Menteng 31, Jakarta, juga dipimpin kader PKI semacam Wikana dan D.N. Aidit. API memainkan peran penting dalam berbagai aksi perebutan perusahaan Belanda, di antaranya Perusahaan Jawatan Kereta Api.
PKI juga yang mengirim Soemarsono dari Jakarta untuk menggalang kekuatan rakyat di Surabaya pada akhir Agustus, setelah proklamasi kemerdekaan. Tapi gerakan Soemarsono dan kawan-kawan sengaja dikaburkan dari kaitan dengan PKI, agar jika terjadi sesuatu tak berimbas pada partai. "Sutomo kurang suka sama saya karena saya dilihat sebagai PKI," kata Soemarsono.
Bambang Sulistomo membenarkan jika ayahnya disebut berhaluan nasionalis sejak remaja. Bung Tomo dekat dengan Roeslan Abdulgani, lalu ikut bergabung dengan AMI. Dalam aksi-aksi politik, Roeslan juga kerap berseberangan dengan kelompok komunis yang dipimpin Soemarsono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo