Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

DKI Ajukan Banding atas Putusan Pengadilan

Prosedur penerbitan surat peringatan dianggap melanggar aturan dan merugikan masyarakat.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengajukan permohonan banding atas putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang mengabulkan sebagian gugatan warga Bukit Duri, Jakarta Selatan. Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi mengatakan saat ini Biro Hukum DKI tengah menyiapkan materi banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. "Kami memiliki waktu 14 hari untuk mengajukannya (banding)," tutur dia, kepada Tempo, kemarin.

Tri mengklaim penerbitan surat peringatan pertama (SP1) hingga SP3 sebelum merelokasi warga Bukit Duri tak menyalahi aturan. Pemerintah Kota Jakarta Selatan telah berkali-kali melakukan sosialisasi kepada penduduk sebelum menggusur dan merelokasi mereka ke rumah susun sewa tahun lalu. Bahkan, pemerintah telah menginventarisasi kepemilikan tanah yang digunakan untuk proyek normalisasi Sungai Ciliwung itu.

Kamis pekan lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan sebagian gugatan warga Bukit Duri atas penerbitan SP1 hingga SP3 oleh Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Selatan. Majelis hakim, yang diketuai oleh Baiq Yuliani, menyatakan penerbitan surat peringatan tersebut tidak sah dan meminta Pemerintah Kota Jakarta Selatan mencabutnya. Namun pemerintah DKI sudah telanjur menggusur rumah warga Bukit Duri dan merelokasi mereka ke rumah susun sewa.

Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, menuturkan, dalam pertimbangannya, hakim juga meminta pemerintah DKI memberikan ganti rugi kepada warga Bukit Duri. Pemberian ganti rugi itu tertera pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. "Meski kami tak mengajukan permintaan ganti rugi dalam gugatan, hakim berpandangan kami berhak menerima ganti rugi," katanya.

Bahkan, ucap Vera, dasar hukum penerbitan SP1 sampai SP3 yang digunakan oleh pemerintah, yaitu Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 163 Tahun 2012 dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2181 Tahun 2014, yang menjadi dasar hukum normalisasi Ciliwung, telah habis masa berlakunya pada 5 Oktober 2015. Apalagi, saat warga Bukit Duri tengah mengajukan gugatan, pemerintah DKI tetap nekat melanjutkan proyek normalisasi dan merelokasi penduduk. "Ada prosedur yang dilanggar dan itu berdampak kerugian masyarakat," ujarnya.

Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan Pengadilan Tata Usaha Negara tak bisa memerintahkan pemerintah DKI agar membayar ganti rugi. Sebab, hal itu di luar kewenangan pengadilan. "Kalau warga Bukit Duri menuntut ganti rugi, seharusnya mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri," ucap dia.

Salah seorang warga Bukit Duri yang digusur, Supriyono, berharap pemerintah DKI menaati putusan pengadilan. Pria 40 tahun ini menolak ganti rugi berupa rumah susun sewa. "Pemerintah seharusnya menghargai proses hukum," katanya.

Hingga kemarin, proyek normalisasi Ciliwung terus berjalan. Kontraktor terus memasang sheet pile (dinding turap) di pinggir Ciliwung. Beberapa alat berat, seperti ekskavator dan crane pancang, juga terlihat di bibir Ciliwung. "Sejauh ini, pemancangan (pemasangan sheet pile) dari Kampung Melayu sampai daerah Bukit Duri sudah hampir selesai," ujar seorang pekerja. NINIS CHAIRUNNISA | GANGSAR PARIKESIT


Kronologi Penerbitan Surat Peringatan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggusur rumah warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, yang berdiri di bibir Sungai Ciliwung, akhir September tahun lalu. Puluhan rumah di RT 06 dan RW 12 luluh lantak oleh alat-alat berat milik pemerintah DKI. Itu merupakan penggusuran tahap akhir di Bukit Duri. Sebelumnya, pemerintah telah menggusur ratusan rumah di RW 09, 10, dan 11 demi melebarkan kembali Sungai Ciliwung.

Warga Bukit Duri yang digusur, Supriyono, menyatakan penerbitan surat peringatan oleh Satuan Polisi Pamong Praja sebelum merelokasi warga RW 12 sangat ganjil. "Tiba-tiba saja anggota Satpol PP mengantarkan SP1 pada malam hari," ujarnya, kemarin. Berikut ini kronologi penerbitan surat peringatan itu.
>>30 Agustus 2016 - SP1 terbit.
>>1 September 2016 - Warga Bukit Duri mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
>>7 September 2016 - SP2 terbit.
>>20 September 2016 - SP3 terbit.
>>26 September 2016 - Sidang pertama PTUN Jakarta soal gugatan warga Bukit Duri.
>>28 September 2016 - Satpol PP membongkar rumah warga Bukit Duri.
>>5 Januari 2017 - PTUN Jakarta menyatakan penerbitan SP1, SP2, dan SP3 tidak sah.
GANGSAR PARIKESIT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus