Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta menjajaki opsi pembatalan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras demi menjalankan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan. "Kalau tidak bisa dikembalikan (kelebihan uangnya), tentunya pembatalan itu opsi pertama," kata Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno di Balai Kota, kemarin.
Sandiaga kemarin mengadakan pertemuan tertutup dengan pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras selaku pemilik lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Selepas pertemuan, ia mengatakan pemerintah DKI berharap masalah lahan dengan Sumber Waras bisa diselesaikan secara kekeluargaan, se-hingga tak perlu berujung di pengadilan.
Pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, pemerintah DKI membeli lahan Sumber Waras dengan harga Rp 755,689 miliar. Saat itu, pemerintah DKI mengacu pada nilai jual obyek pajak (NJOP) terbaru, yakni Rp 20 juta per meter persegi.
Pada 2015, BPK me-nyatakan pembelian lahan Sumber Waras bermasalah. BPK antara lain menilai harga lahan seluas 3,7 hektare di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, itu terlalu mahal sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 191 miliar. Lembaga tersebut meminta pemerintah DKI menagih kelebihan uang pembayaran atau membatalkan pembelian lahan.
Tak lama setelah dilantik, Sandiaga meminta Sumber Waras mengembalikan sebagian dana pembelian lahan. Menurut dia, penyelesaian kasus lahan Sumber Waras sangat penting agar pemerintah Jakarta mendapat status wajar tanpa pengecualian dalam audit BPK pada tahun-tahun mendatang.
Pengurus Yayasan Sumber Waras, S. Noerdin, me-ngatakan sepakat menyelesaikan masalah lahan Sumber Waras secara kekeluargaan. "Kami oke-oke saja, kalau dibatalkan juga enggak masalah," kata dia. Meski begitu, Noerdin menegaskan, pertemuan belum mencapai keputusan final. "Intinya supaya persoalannya selesai, tidak berlarut-larut."
Noerdin mengaku me-mahami keinginan pemerintah Jakarta agar pembelian lahan Sumber Waras dianggap wajar oleh BPK. Apalagi, menurut dia, setelah selesai urusan de-ngan BPK, pemerintah DKI tak menutup kemungkinan untuk membeli lagi lahan Sumber Waras. Sebab, kepada pengurus Yayasan, Sandiaga mengatakan lahan tersebut masih dibutuhkan untuk memba-ngun rumah sakit spesialis kanker.
Penyelesaian kasus lahan Sumber Waras, menurut Sandiaga, juga merupakan bagian dari upaya penyisiran aset milik pemerintah Jakarta. Sandiaga menargetkan kasus Sumber Waras bisa selesai bulan ini, sebelum BPK memulai audit keuangan Jakarta awal tahun depan.
Kepala Badan Pengelola Aset Daerah DKI, Achmad Firdaus, mengatakan lembaganya telah mendata 98,3 persen aset milik daerah. Dari aset total DKI senilai Rp 450 triliun, saat ini masih ada sejumlah aset senilai Rp 4 triliun yang belum didata.
Kepala Kantor Perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta, Bambang Utoyo, mengatakan Sandiaga juga meminta instansinya mengawal pendataan aset tersebut. "Kami meyakinkan apa yang dilakukan Badan Pengelola Aset sudah berada di jalur yang benar," ujar Bambang. AVIT HIDAYAT
Antara Tuduhan dan Fakta
Badan Pemeriksa Keuangan, pada Juni dan Desember 2015, menerbitkan hasil audit yang mempermasalahkan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta di masa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Majalah Tempo kemudian menelusuri proses jual-beli lahan tersebut dan menurunkan laporannya pada edisi 28 Maret 2016.
Berikut ini beberapa poin tuduhan BPK, tangkisan Gubernur Basuki, dan hasil penelusuran Tempo.
BPK | FAKTA LAPANGAN | BASUKI |
Lokasi Lahan | ||
Jalan Tomang Utara | Sertifikat HGB nomor 2878 tahun 1998 dan faktur pajak menyebutkan lahan Sumber Waras terletak di Jalan Kyai Tapa. | Jalan Kyai Tapa |
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP): | ||
Karena fisik bangunan ada di Tomang Utara, NJOP pada 2014 seharusnya Rp 7,445 juta per meter persegi. | Peta Zona Nilai Tanah Direktorat Pajak menunjukkan lahanSumber Waras ada dalam satu kawasan berkode "AB" Pada 2014, NJOP lahan dengan kode "AB" adalah Rp 20,755 juta per meter persegi. | Lokasi lahan masuk Kyai Tapa, sehingga NJOP 2014 adalah Rp 20,755 juta per meter persegi. |
Proses Pengadaan: | ||
Tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71/ 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Isinya: pembelian tanah di atas 1 hektare harus melalui studi kelayakan dan tidak boleh lewat penunjukan langsung. | Perpres 71/ 2012 sudah direvisi oleh Perpres 40/2014. Revisi aturan ini diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 April 2014, sebelum ada kesepakatan antara pemerintah DKI danSumber Waras. | Mengacu pada Perpres Nomor 40/2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Isinya: pembelian tanah di bawah 5 hektare tidak memerlukan kajian panjang dan bisa lewat penunjukan langsung. |
Kerugian Negara: | ||
Pemerintah DKI kemahalan membayar lahanSumber Waras. Ada kerugian sekitar Rp 191,3 miliar karena lahan itu hendak dibeli PT Ciputra Karya Unggul seharga Rp 564,4 miliar pada 2013. | Meski membeli lahan sesuai dengan NJOP 2014, pemerintah DKI pada dasarnya membayar lebih murah karena: Pajak dan bea balik nama sekitar Rp 57,49 miliar ditanggungSumber Waras. Biaya jasa notaris sekitar Rp 32,49 miliar ditanggungSumber Waras. Pemerintah DKI tak membayar bangunan yang semula dihargaiSumber WarasRp 25 miliar. | Harga pembelian pemerintah DKI pada 2014 dengan nilai total Rp 755,689 miliar tak bisa dibandingkan dengan harga penawaran Ciputra pada 2013, sebelum kenaikan NJOP. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo