Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan harian seorang saksi

Pengarang: h. rosihan anwar jakarta: sinar harapan, 1981 resensi oleh: goenawan mohamad. (bk)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM PRAHARA, Pergolakan Politik Indonesia 1961 - 1965, oleh H. Posihan Anwar Penerbit Sinar Harapan, 556 halaman, Jakarta, 1981. TAK banyak orang bisa jadi wartawan. Lebih banyak yang bisa jadi menteri. Itulah kata-kata Heikal, wartawan Mesir terkenal ketika ditanya kenapa ia tak ikut dalam pemerintahan Presiden Sadat. Harap para menteri jangan tersinggung. Sebab satu hal pasti: menteri bisa duduk atau jatuh, tapi wartawan--bukan jabatan --tetap saja di sana. Contohnya: tentu saja Heikal sendiri. Ia lepas dari koran terkemuka Al-Aram, tapi ia tetap menulis--dengan pembaca yang lebih banyak. Dan tak kurang dari Heikal adalah Rosihan Anwar. Buku ini, serangkaian catatan harian, membuktikan bahwa memang tak banyak orang bisa jadi wartawan, terutama bila ukuran seorang wartawan adalah Rosihan Anwar. Ketika Pedoman, harian yang dipimpinnya--sebuah penerbitan terkemuka dalam mutu maupun dalam pemasaran--ditutup pemerintah dizaman Bung Karno di awal 1961, Rosihan tak melipat diri. Ia membuktikan ia tak seperti selembar koran bekas. Ia membuat catatan harian. Dengan keistimewaan: tulisannya adalah buah ketekunan seorang yang memang punya semangat reporter ulung. Ia mengutamakan kecermatan, ia peka akan detail dan angka, ia pandai menangkap pokok soal. Rosihan juga menulis dengan sikap menulis-untuk-orang-lain. "Supaya jangan monoton berbicara tentang soal Irian Barat melulu . . . " demikianlah catatannya 12 Januari 1962, setahun persis setelah Pedoman hilang. Adakah ia sadar, bahwa suatu masa kelak, kalimat-kalimat itu akan dibaca oleh umum? Ataukah ini semua karena naluri jurnalistiknya, yang mendorongnya menulis sebagai penyampai pesan kepada orang lain, tentang peristiwa-peristiwa? Dengan kata lain, bukan catatan harian yang merekam dunia subyektif si penulis tentang cinta, kemarahan dan penyesalannya? Di satu pihak mungkin catatan harian ini akhirnya terasa kurang lepas, terjaga benar dalam bagian yang rata-rata terdiri sekitar 400 kata. Di lain pihak, ia merupakan dokumen sejarah Indonesia modern yang penting--yang bisa dipergunakan sebagai suatu sumber kelak. Kita toh selalu kekurangan sumber semacam ini. Menyimpan Harapan Tak kalah penting, Sebelum Prabara juga adalah sebuah dokumen kemanusiaan. Karena ternyata, di masa yang sulit bagi orang seperti dia, Rosihan menyimpan harapan dengan cara yang bersahaja: menjadi saksi diam-diam, yang dengan diam-diam pula berbicara kepada suatu pikiran yang lebih bebas. Indonesia akan mendapat banyak bila kesaksian seperti ini tak henti-hentinya ditulis dan diterbitkan. Tak peduli adakah itu dari zaman Bung Karno atau pun dari masa Orde Baru. Tak peduli adakah itu dari tangan seorang bekas PSI atau bekas PKI, bekas Masyumi atau bekas ABRI. Sebab seperti Catatan Subversif-nya Mochtar Lubis, yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama, buku Rosihan mencatat dengan baik bagaimana perilaku orang Indonesia di dalam kekuasaan ataupun di dalam ketidak-berdayaan. Tentu saja harus ditambahkan: Rosihan lebih seorang wartawan ketimbang Mochtar, novelis itu. Dan ia tak menulis di dalam sel. Pedoman-nya memang dibrangus, dan gerak-gerik Rosihan pasti terjepit. Tapi ia masih bisa cukup leluasa. Ia bisa mengunjungi jamuan koktail, dan bisa bersua dengan Dutabesar AS Jones (yang dekat dengan Bung Karno), maupun dengan Ketua PKI Aidit (yang dekat dengan prahara). Ia punya kontak di markas besar Angkatan Darat. Ia bisa mengikuti majalah luar negeri yang waktu itu sulit masuk. Ia mendengar dengan cepat pelbagai info, gosip, dan ucapan yang tak disiarkan dari pelbagai pusat kekuasaan. Dengan cekatan Rosihan merekam semua itu, meskipun bukan tanpa seleksi, dan bukan tanpa kekurangan. Seleksinya tentu saja ditentukan oleh sikapnya terhadap pemerintahan masa itu. Kekurangannya disebabkan oleh geraknya yang terbatas di Jakarta, dengan sedikit sekali informasi dari kampung dan pedesaan. Tapi harap selalu diingat bahwa betapa pun catatan harian ini adalah rekaman dunia intelektual seorang wartawan Indonesia yang tak punya sarana buat mendengar ke segala sudut. Haryono Dan Teman Namun sepanjang kita menyimak sudut yang jadi wilayah Rosihan, kita mendapatkan banyak intan yang menampilkan sesuatu yang baru tentang tokoh-tokoh. Kita tersentak, misalnya, membaca bahwa Sutan Sjahrir--yang ditahan pemerintah waktu itu--beberapa lama sebelum meninggal, telah jadi bisu. Kita juga baru tahu bahwa Jenderal M.T. Haryono almarhum, yang dibunuh dalam peristiwa Gestapu itu, cukup dekat dengan "teman-teman " Rosihan. Siapa "teman-teman" itu tak dijelaskan, namun mungkin sekali kalangan cendekiawan PSI. Tentu terdapat hal-hal yang ringan. Misalnya bagaimana Bung Karno "menitipkan" bintang film Nurbani Yusuf -kini pengacara--kepada sutradara Usmar Ismail, ipar Rosihan. Sayang sekali humor hampir tak ada dalam catatan harian ini. Bisa dimaklumi. Keadaan di sekitar Rosihan waktu itu penuh dengan suasana permusuhan, bahkan tekanan, di samping kepalsuan dan kepongahan orang yang berkuasa. Bila ada yang kurang bisa dimaklumi dari buku ini adalah tidak adanya indeks di akhir buku. Penerbit Sinar Harapan rupanya cenderung mengabaikan soal penting ini, seperti nampak dari buku-buku lain yang diterbitkannya. Tapi betapa pun, penerbit telah ikut berjasa mengedarkan naskah yang penting ini, dari suatu masa yang tak dikenal oleh sejumlah besar bangsa Indonesia yang kini berumur sekitar 25 sampai 30 tahun. Sayang sedikit, keautentikan catatan Rosihan agak terganggu karena diubahnya kata seperti "kebijaksanaan" (policy, atau beleid) jadi "kebijakan". Yang terakhir ini pasti pengaruh Menteri Daoed Joesoef satu hal yang baru beberapa tahun umurnya dan belum tentu pula benar. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus