SEBELUM PRAHARA,
Pergolakan Politik Indonesia 1961 - 1965,
oleh H. Posihan Anwar
Penerbit Sinar Harapan, 556 halaman, Jakarta, 1981.
TAK banyak orang bisa jadi wartawan. Lebih banyak yang bisa jadi
menteri. Itulah kata-kata Heikal, wartawan Mesir terkenal ketika
ditanya kenapa ia tak ikut dalam pemerintahan Presiden Sadat.
Harap para menteri jangan tersinggung. Sebab satu hal pasti:
menteri bisa duduk atau jatuh, tapi wartawan--bukan jabatan
--tetap saja di sana. Contohnya: tentu saja Heikal sendiri. Ia
lepas dari koran terkemuka Al-Aram, tapi ia tetap
menulis--dengan pembaca yang lebih banyak. Dan tak kurang dari
Heikal adalah Rosihan Anwar.
Buku ini, serangkaian catatan harian, membuktikan bahwa memang
tak banyak orang bisa jadi wartawan, terutama bila ukuran
seorang wartawan adalah Rosihan Anwar. Ketika Pedoman, harian
yang dipimpinnya--sebuah penerbitan terkemuka dalam mutu maupun
dalam pemasaran--ditutup pemerintah dizaman Bung Karno di awal
1961, Rosihan tak melipat diri. Ia membuktikan ia tak seperti
selembar koran bekas. Ia membuat catatan harian. Dengan
keistimewaan: tulisannya adalah buah ketekunan seorang yang
memang punya semangat reporter ulung. Ia mengutamakan
kecermatan, ia peka akan detail dan angka, ia pandai menangkap
pokok soal.
Rosihan juga menulis dengan sikap menulis-untuk-orang-lain.
"Supaya jangan monoton berbicara tentang soal Irian Barat melulu
. . . " demikianlah catatannya 12 Januari 1962, setahun persis
setelah Pedoman hilang. Adakah ia sadar, bahwa suatu masa kelak,
kalimat-kalimat itu akan dibaca oleh umum? Ataukah ini semua
karena naluri jurnalistiknya, yang mendorongnya menulis sebagai
penyampai pesan kepada orang lain, tentang peristiwa-peristiwa?
Dengan kata lain, bukan catatan harian yang merekam dunia
subyektif si penulis tentang cinta, kemarahan dan penyesalannya?
Di satu pihak mungkin catatan harian ini akhirnya terasa kurang
lepas, terjaga benar dalam bagian yang rata-rata terdiri sekitar
400 kata. Di lain pihak, ia merupakan dokumen sejarah Indonesia
modern yang penting--yang bisa dipergunakan sebagai suatu sumber
kelak. Kita toh selalu kekurangan sumber semacam ini.
Menyimpan Harapan
Tak kalah penting, Sebelum Prabara juga adalah sebuah dokumen
kemanusiaan. Karena ternyata, di masa yang sulit bagi orang
seperti dia, Rosihan menyimpan harapan dengan cara yang
bersahaja: menjadi saksi diam-diam, yang dengan diam-diam pula
berbicara kepada suatu pikiran yang lebih bebas.
Indonesia akan mendapat banyak bila kesaksian seperti ini tak
henti-hentinya ditulis dan diterbitkan. Tak peduli adakah itu
dari zaman Bung Karno atau pun dari masa Orde Baru. Tak peduli
adakah itu dari tangan seorang bekas PSI atau bekas PKI, bekas
Masyumi atau bekas ABRI.
Sebab seperti Catatan Subversif-nya Mochtar Lubis, yang juga
diterbitkan oleh penerbit yang sama, buku Rosihan mencatat
dengan baik bagaimana perilaku orang Indonesia di dalam
kekuasaan ataupun di dalam ketidak-berdayaan. Tentu saja harus
ditambahkan: Rosihan lebih seorang wartawan ketimbang Mochtar,
novelis itu. Dan ia tak menulis di dalam sel.
Pedoman-nya memang dibrangus, dan gerak-gerik Rosihan pasti
terjepit. Tapi ia masih bisa cukup leluasa. Ia bisa mengunjungi
jamuan koktail, dan bisa bersua dengan Dutabesar AS Jones (yang
dekat dengan Bung Karno), maupun dengan Ketua PKI Aidit (yang
dekat dengan prahara). Ia punya kontak di markas besar Angkatan
Darat. Ia bisa mengikuti majalah luar negeri yang waktu itu
sulit masuk. Ia mendengar dengan cepat pelbagai info, gosip, dan
ucapan yang tak disiarkan dari pelbagai pusat kekuasaan.
Dengan cekatan Rosihan merekam semua itu, meskipun bukan tanpa
seleksi, dan bukan tanpa kekurangan. Seleksinya tentu saja
ditentukan oleh sikapnya terhadap pemerintahan masa itu.
Kekurangannya disebabkan oleh geraknya yang terbatas di Jakarta,
dengan sedikit sekali informasi dari kampung dan pedesaan. Tapi
harap selalu diingat bahwa betapa pun catatan harian ini adalah
rekaman dunia intelektual seorang wartawan Indonesia yang tak
punya sarana buat mendengar ke segala sudut.
Haryono Dan Teman
Namun sepanjang kita menyimak sudut yang jadi wilayah Rosihan,
kita mendapatkan banyak intan yang menampilkan sesuatu yang baru
tentang tokoh-tokoh.
Kita tersentak, misalnya, membaca bahwa Sutan Sjahrir--yang
ditahan pemerintah waktu itu--beberapa lama sebelum meninggal,
telah jadi bisu.
Kita juga baru tahu bahwa Jenderal M.T. Haryono almarhum, yang
dibunuh dalam peristiwa Gestapu itu, cukup dekat dengan
"teman-teman " Rosihan. Siapa "teman-teman" itu tak dijelaskan,
namun mungkin sekali kalangan cendekiawan PSI.
Tentu terdapat hal-hal yang ringan. Misalnya bagaimana Bung
Karno "menitipkan" bintang film Nurbani Yusuf -kini
pengacara--kepada sutradara Usmar Ismail, ipar Rosihan. Sayang
sekali humor hampir tak ada dalam catatan harian ini. Bisa
dimaklumi. Keadaan di sekitar Rosihan waktu itu penuh dengan
suasana permusuhan, bahkan tekanan, di samping kepalsuan dan
kepongahan orang yang berkuasa.
Bila ada yang kurang bisa dimaklumi dari buku ini adalah tidak
adanya indeks di akhir buku. Penerbit Sinar Harapan rupanya
cenderung mengabaikan soal penting ini, seperti nampak dari
buku-buku lain yang diterbitkannya.
Tapi betapa pun, penerbit telah ikut berjasa mengedarkan naskah
yang penting ini, dari suatu masa yang tak dikenal oleh sejumlah
besar bangsa Indonesia yang kini berumur sekitar 25 sampai 30
tahun.
Sayang sedikit, keautentikan catatan Rosihan agak terganggu
karena diubahnya kata seperti "kebijaksanaan" (policy, atau
beleid) jadi "kebijakan". Yang terakhir ini pasti pengaruh
Menteri Daoed Joesoef satu hal yang baru beberapa tahun umurnya
dan belum tentu pula benar.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini