Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAX Nur Alam pernah berpikir mengganti kepalanya. Lo, apa mungkin? Dan lagi pula, apa pasal? Ini gara-gara dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah ini sering diserang sakit kepala yang akut. Saking tak tahannya, ia sering meninju-ninju kepalanya sendiri.
Untuk menyembuhkannya, Max pun berganti-ganti dokter. Percuma. Dukun dan pengobat alternatif pun tak menghentikan senat-senut di kepalanya.
Akhirnya, Max menjajal berbagai merek obat sakit kepala yang dijual bebas, sampai akhirnya merasa cocok dengan Paramex. Beberapa jam kemudian kambuh kembali memang, tapi karena tak ada pilihan lain, ia bertahan pada merek tersebut—sampai kini. Memulainya sejak 1973, pada usia 21 tahun, sang dosen menenggak 28 butir pil putih itu sehari, atau sekitar 300 ribu pil dalam masa 30 tahun—lebih separuh dari usianya sekarang yang 51 tahun. "Kalau terlambat minum, rasanya kepala ini mau pecah," guman Max.
Alhasil, tiada hari tanpa Paramex—dan rokok dan kopi—baginya. Bangun tidur, dia menelan enam butir. Sehabis mandi dan gosok gigi, Max meng-glek empat butir lagi. Di kantor, selepas tengah hari, ia telan empat butir tambahan.
Tak adakah efek samping dari penggunaan obat yang overdosis itu? Max menggeleng. Malah, tanpa menenggak pil penyembuh nyeri kepala itu, "Kegiatan saya terganggu," katanya. Saking tergantungnya pada merek tersebut, ia sering mendoakan kelanggengan pabriknya. Konsumen paling setia ini tampaknya perlu mendapat diskon khusus.
"Dosen Paramex," begitu para mahasiswanya menjuluki dosen penyandang gelar insinyur itu.
Ada Judi, Ada Semut
MAT Sunar, 43 tahun, adalah penarik becak yang tak pede dengan masa depan profesinya. Maka, ia menjajal nasibnya dengan berjudi. Tapi, di lapak judi pun, putaran nasib warga Kota Solo, Jawa Tengah, ini juga tak selancar gerak roda becaknya. Setiap kali berjudi, setiap kali pula kalah. Penjudi ngototan ini betah berhari-hari mengadu nasib dengan menahan lapar, tubuh berbau dan berdaki, dan anti-rindu anak-bininya.
Kelakuan Sunar itu membuat istrinya, Warni, 37 tahun, kesal sampai ter-mewek-mewek. Sudah duitnya ludes, utangnya juga bertumpuk. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Warni harus ngebon di warung di dekat rumahnya.
Sunar malah pernah berhari-hari tidak pulang. Warni berkali-kali berusaha menghentikan aksi gila suaminya, tapi sia-sia. "Nanggung, Say..., lagi asyik nih," katanya. Warni kesal dan menangis.
Pada hari ketiga, Sunar masih bertahan di lapak judinya tak jauh dari rumahnya. Warni, yang baru mengutang gula pasir di warung terdekat, datang mengajaknya pulang. Lelaki itu malah mencak-mencak, mungkin karena sudah kalah banyak. Dipermalukan di depan orang-orang, si istri mengkelap. Seperti aksi artis opera sabun, ia melemparkan bungkusan gula ke arah Sunar dan pecah bertaburan di tubuhnya. Ia lalu berlari pulang tersengguk-sengguk. "Dasar perempuan," umpat Sunar.
Ternyata, daki kulit Sunar yang berhari-hari tak mandi menyatu dengan gula yang meleleh di udara yang panas. Setengah jam kemudian, ia mulai merasa tak nyaman dan gatal-gatal. Berikutnya, semut mulai merubungi dan menggigiti tubuhnya yang manis. Karena sebentar-sebentar harus menepuk-nepuk dan mengibas-ngibaskan celananya, Sunar tak lagi konsen dengan permainannya. Apalagi setelah semut-semut nakal memburu gula yang masuk ke selangkangannya.
Krekeshhh, taring semut itu menikam bagian tubuh pentingnya. Sunar mulai panik. Bak-buk tangannya memukuli sambil membidas makhluk kecil pemburu gula itu, tapi hasilnya nihil. Semut-semut itu terlindung aman di balik celana Sunar, dan harus dilakukan operasi khusus ala Opsus buat menghentikannya. Ketika tak tahan lagi oleh rasa gatal dan panas pada tubuhnya, ia angkat kaki dan memburu ke kamar mandi. "Yaaah..., kalahnya cuma sama semut," celetuk satu lawan mainnya, terkekeh.
Entah Sunar kapok atau tidak, yang penting senyum Warni mengembang kembali. Kini giliran sang istri menggantikan peran semut-semut merah yang nakal itu.
Darlis Muhammad (Palu), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo